Beranda Budaya Literasi Budaya Lebaran dalam Sastra Indonesia

Literasi Budaya Lebaran dalam Sastra Indonesia

Ahmad Supena Kajur PBI FKIP Untirta.

Oleh: Ahmad Supena
Kajur PBI FKIP Untirta

Lebaran Idul Fitri dalam masyarakat kita bukan saja peristiwa keagamaan, namun juga peristiwa budaya, bahkan peristiwa sosial-politik.

Dari hiruk-pikuk mudik jelang Idul Fitri hingga momen silaturahmi dan peristiwa perjumpaan dengan keluarga atau orang-orang yang kita kasihi yang lama kita tinggalkan atau tidak kita jumpai.

Sebagai peristiwa sosial-politik, kerapkali terjadi urbanisasi atau migrasi orang dari satu tempat (kota/wilayah) ke tempat atau wilayah lainnya paska lebaran Idul Fitri.

Peristiwa-peristiwa sosial politik budaya itu pun pada akhirnya menjadi lalu-lintas distribusi atau perputaran uang (ekonomi). Semisal melalui pembayaran jasa transportasi hingga belanja konsumsi oleh banyak orang jelang lebaran (arus mudik) di saat lebaran, dan paska lebaran (arus balik).

Dan hal demikian menjadi rutinitas yang terus berulang setiap tahunnya, sehingga menjadi peristiwa-peristiwa yang senantiasa hadir secara berkala.

Pengalaman atau pun pandangan seputar atau pun tentang lebaran Idul Fitri kerapkali pula diekspressikan melalui karya seni, terutama sekali karya-karya sastra puisi.

Tak jarang para penulis mengekspresikan pandangan dan pengalaman mereka seputar makna dan arti Idul Fitri secara kritis, tak jarang satiris dan instrospektif, semisal puisi KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) yang berjudul ‘Selamat Idul Fitri’ ini:

Selamat idul fitri, bumi
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak semena-mena
Kami memperkosamu

Selamat idul fitri, langit
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak henti-hentinya
Kami mengelabukanmu

Selamat idul fitri, mentari
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak bosan-bosan
Kami mengaburkanmu

Selamat idul fitri, laut
Maafkanlah kami
Selama ini
Kami mengeruhkanmu

Selamat idul fitri, burung-burung
Maafkanlah kami
Selama ini
Memberangusmu

Selamat idul fitri, tetumbuhan
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak puas-puas
Kami menebasmu

Baca Juga :  Lebak Siap Menjadi Kabupaten Literasi

Selamat idul fitri, para pemimpin
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak habis-habis
Kami membiarkanmu

Selamat idul fitri, rakyat
Maafkanlah kami
Selama ini
Tidak sudah-sudah
Kami mempergunakanmu.”

Puisi itu mengajak kita untuk melakukan instrospeksi: apakah kita selama ini telah menjalankan laku hidup manusia yang sejalan dengan etos dan nilai Idul Fitri, kembali kepada kebersihan dan kesucian, atau malah sebaliknya.

Masih sering menjalankan laku hidup destruktif terhadap lingkungan hidup dan sesama kita? Begitu juga, secara sosial-politik, apakah para pemegang kebijakan atau para pejabat berlaku amanah dan menjalankan kebajikan dengan posisi dan jabatan mereka, ataukah malah sebaliknya?

Ada perspektif menarik tentang mudik dan makna Idul Fitri yang diulas oleh Sulaiman Djaya dalam tulisannya yang berjudul ‘Puasa Jalan Kembali Ke Fitrah Manusia’ (https://www.akurat.co/hikmah/1302410804/Puasa-Jalan-Kembali-Ke-Fitrah-Manusia-):

“Dapat kita lihat, kata dan istilah ‘mudik’ dan ‘Idul Fitri sama-sama memiliki pengertian kembali dan ‘pulang’, meski konteks keduanya tak sama atau berbeda. Hanya saja, arti dan pengertian kembali dan pulang itu sendiri mencerminkan bahwa kita senantiasa ingin balik ke asal di mana kita berasal. Bila dalam terminologi spiritual dan religius, maka asal kita adalah manusia-manusia yang tanpa cela dan noda (saat kita dilahirkan), yaitu dalam keadaan fitri, maka ‘mudik’ adalah kembali ‘mengunjungi’ tempat di mana kita dilahirkan, yaitu tanah kelahiran atau kampung halaman kita, yaitu kebersihan dan kejujuran kita sebagai manusia.”

Perspektif itu senada dan selaras dengan pesan yang ingin disampaikan puisinya KH. Mustofa Bisri yang berjudul ‘Selamat Idul Fitri’ yang kita baca di atas: apakah kita sesungguhnya menjadi wisudawan-wisudawan madrasah Ramadan yang keluar dengan nilai bagus sehingga meraih kemenangan dan kembali ke fitrah kita yang terlahir bersih dan suci, ataukah sebaliknya?.

Baca Juga :  Untirta dan Perpusnas Luncurkan KKM Literasi 2025, Mahasiswa Jadi Agen Perubahan di Desa

Sebab semestinya, bila kita selaras dengan etos dan nilai bulan puasa Ramadan dan Idul Fitri, maka spirit religius dan spiritualnya tidak terletak pada laku konsumerisme dan seremonial belaka. Namun justru menjadi lebih arif dan welas-asih sebagai manusia, serta semakin mengurangi praktik destruktif kita secara sosial-politis dan ekologis.

Tak hanya KH. Mustofa Bisri yang mengekspressikan pendapat dan pandangannya tentang Idul Fitri melalui puisi, penyair besar Indonesia lainnya tak ketinggalan memaknakan Idul Fitri secara puitis dan melalui medium puisi, semisal penyair Sutardji Calzoum Bachri lewat puisinya berjudul ‘Idul Fitri’:

“Lihat
Pedang tobat ini menebas-nebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia
Telah kulaksanakan puasa ramadanku,
telah kutegakkan salat malam
telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang
Telah kuhamparkan sajadah
Yang tak hanya nuju Ka’bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu
Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya
Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:
Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
Namun si bandel Tardji ini sekali merindu
Takkan pernah melupa
Takkan kulupa janji-Nya
Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta
Maka walau tak jumpa dengan-Nya
Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
Semakin mendekatkan aku pada-Nya
Dan semakin dekat
semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini
ngebut
di jalan lurus
Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
Kini biarkan aku menegak marak Cahaya-Mu
di ujung sisa usia
O usia lalai yang berkepanjangan
Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir
tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Baca Juga :  Makna Sajian Ikan Bandeng dalam Perayaan Imlek

Maka pagi ini
Kukenakan zirah la ilaha illallah
aku pakai sepatu sirathal mustaqim
aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id
Aku bawa masjid dalam diriku
Kuhamparkan di lapangan
Kutegakkan salat
Dan kurayakan kelahiran kembali
di sana.”

Sebuah puisi yang merenungkan proses pertobatan dan kebangkitan spiritual seorang individu selama bulan Ramadan.

Dengan diksi yang terjaga dan dipilih secara cermat, puisi itu menggambarkan proses perjuangan pertobatan yang mendalam selama bulan Ramadan: ‘Pedang tobat ini menebas-nebas hati’, menggambarkan penghapusan dosa-dosa dan lalu kita melakukan keberpihakan untuk menjalani hidup yang lebih bermakna secara spiritual.

Semoga setelah menjalani madrasah Ramada dan momen Idul Fitri, kita tak hanya sekadar menjadi manusia konsumeris dan seremonial belaka yang sesungguhnya tak mendapatkan apa-apa dari bulan Ramadan dan tidak mengalami kemenangan saat Idul Fitri.

Tim Redaksi

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News