PALU – Sudah setahun lebih berlalu pasca musibah gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menerjang kota Palu dan sekitarnya. Berdasarkan informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan sedikitnya ada 384 orang meninggal akibat gempa bumi dan tsunami yang terjadi di kota ini. Selain itu, jumlah orang yang mengalami luka berat sebanyak 540 orang dan tercatat 29 orang hilang. Kerugian dan kerusakan akibat bencana ini pun sebesar Rp18,48 triliun per 27 Oktober 2018.
Hingga kini, pasca musibah tersebut masyarakat Palu masih berusaha untuk terus bangkit dari keterpurukan. LAZ Harapan Dhuafa (Harfa) Banten pun sampai saat ini masih bersama mereka membantu dengan kembali menyalurkan bantuan untuk memulihkan perekonomian korban bencana.
LAZ Harfa menyampaikan amanah dari masyarakat Banten untuk membantu membangkitkan kembali ekonomi masyarakat Palu. “Walaupun Harapan Dhuafa adalah Lembaga Amil Zakat (LAZ) skala provinsi di Banten, namun hingga hari ini kami masih berkomitmen untuk berkontribusi di seluruh wilayah di Indonesia, termasuk di Palu. Tidak hanya ketika penyelesaian pada kondisi tanggap darurat, tapi juga masih berlanjut dengan pendampingan pemberdayaan ekonomi bagi penyintas. Pola ini dilakukan Harapan Dhuafa di semua wilayah bencana yang diintervensi,” ungkap Indah Prihanande, Direktur LAZ Harfa, Sabtu (23/11/2019).
Pada Kamis (21/11/19) lalu, kata Indah, LAZ Harfa telah menyalurkan bantuan ke beberapa tempat di Palu untuk membantu kekeringan yang terjadi. Bantuan dalam bentuk pompa air yang diperuntukkan bagi para petani di Desa Kotarindau, Kecamatan Dolo, Palu. Dimana bantuan sarana air ini akan digunakan untuk mengaliri sebanyak 2 hektare lahan pertanian. Tidak hanya untuk petani, LAZ Harfa juga menyalurkan sarana pompa air untuk para pengrajin batu bata di Desa Kabobona, Kecamatan Dolo, Palu. Bantuan sarana pompa air ini untuk membantu masyarakat karena dapat memangkas biaya sewa pompa air.
Sebelumnya, LAZ Harfa juga telah memberikan bantuan Hunian Sementara Tiada Tara (Huntara) dan kincir air untuk mengaliri tanaman seledri masyarakat seluas setengah hektare yang dipanen setiap 8 bulan sekali.
Amak Dahisah, salah satu penerima bantuan mengatakan, selama 6 bulan lamanya sebelum adanya huntara tersebut, ia dan anak-anaknya enggan untuk pulang ke rumah serta lebih memilih tinggal di tenda karena kekhawatiran dan rasa takut yang masih terus menghantui. “Dengan adanya huntara ini Amak merasa tenang bisa beristirahat dengan nyaman, tidak memikirkan tempat tinggal lagi,” ujarnya. (Ink/red)