Beranda Opini Kultur Pertanian dan Ketahanan Pangan Keluarga

Kultur Pertanian dan Ketahanan Pangan Keluarga

Ilustrasi - foto istimewa tagar.id

Oleh: Mahpudin, Alumni Ilmu Pemerintahan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Pertanian menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat karena sangat terkait dengan kebutuhan primer yaitu pangan. Kelangsungan kehidupan manusia akan sangat bergantung pada eksistensi pertanian. Namun problem yang dihadapi banyak negara hari ini adalah terjadi krisis pangan yang dipicu oleh banyak faktor: menurunnya jumlah lahan pertanian akibat industrialisasi besar-besaran, perubahan iklim, dan jumlah petani yang semakin kecil karena dianggap tidak profitable. Indonesia, negara yang notabene-nya sebagai negara agraris masih mengalami segudang hambatan terkait masalah pertanian.

Di lain sisi, pertanian sebagai ruang penghidupan kerap kali hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam proses produksi yaitu pemilik lahan dan pekerja (buruh tani). Kondisi ini terkesan merugikan masyakat lain yang pada dasarnya tidak memiliki lahan pertanian sehingga untuk memenuhi kebutuhan pokok (beras) harus membeli ke pasar. Hal tersebut diperparah ketika masyarakat memiliki daya beli rendah karena termasuk dalam kategori masyarakat kelas ekonomi bawah sehingga sangat sulit dalam berjuang menyambung kehidupan.

Struktur kelas pada masyarakat pertanian pada umumnya sering menciptakan ketergantungan petani kepada pemilik lahan. Artinya boleh dikatakan kelangsungan hidup petani sangat ditentukan oleh tuan tanah. Problemnya, petani yang bekerja pada pemilik lahan kerap kali tidak mendapatkan kehidupan yang layak karena upah yang diterima rendah dan tidak diberi jatah hasil penen. Sehingga untuk makan, petani tetap harus membeli ke pasar. Selain itu, sistem ekonomi kapitalis yang telah menjalar pada sistem pertanian sehingga pertanian dijadikan sebagai lahan subur untuk tujuan mengakumulasi keuntungan materil yang ujungnya hanya menguntungkan pemilk lahan dan pemodal. Sementara buruh tani tetap berada pada bayang-bayang kemiskinan dan kelaparan. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk beralih ke profesi lain yang lebih menguntungkan. Sebagian besar memilih untuk bermigrasi ke kota menjadi buruh di pabrik dengan mimpi perubahan penghidupan yang lebih baik.

Namun paparan diatas nyaris tidak ditemukan pada masyarakat di Kelurahan Sukalaksana Kecamatan Curug Kota Serang, Banten. Sistem pertanian yang ada diikat oleh nilai-nilai kultural yang mengedepankan kesetaraan, keadilan, dan gotong royong. Masyarakat yang memiliki dan tidak memiliki lahan pertanian dapat mempertahankan kehidupan melalui ketersediaan sumber pangan berupa padi. Menariknya, nilai kultural ini tetap lestari ditengah himpitan tata ruang kota yang sangat mengedepankan industrialisasi, rasionalitas dan akumulasi modal. Nilai kultural dalam sistem pertanian ini kemudian berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan teruma memangkas masalah kemiskinan dan kelaparan dan mendorong masyarakat yang berkeadilan dan inklusif.

Sistem dan Kultur Pertanian
Kelurahan Sukalasana merupakan salah satu daerah yang berada di wilayah Kecamatan Curug Kota Serang Provinsi Banten. Awalnya Sukalaksana berstatus sebagai desa, namun sejak Provinsi Banten memekarkan diri dari Jawa Barat dan menjadikan Serang sebagai ibu kota provinsi, status Sukalaksana berbuah menjadi kelurahan. Perubahan status ini kemudian diikuti oleh perubahan pada bidang lainnya termasuk sosial, ekonomi dan budaya. Perubahan yang sangat nampak terlihat adalah menjamurnya toko-toko modern dan industri perumahan (real estate). Hal ini sering kali berkaitan dengan menurunnya luas lahan pertanian karena disulap menjadi toko dan perumahan.

Meskipun demikian, pertanian masih menjadi bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Perubahan status dari desa ke kota tidak serta merta mengikis institusi dan norma sosial masyarakat terutama dalam hal pertanian. Sistem pertanian dibangun atas dasar kerjasama dan gotong royong. Hal ini dapat dilihat dari mulai proses menanam padai hingga penen. Pada masa menanam, pemilik lahan sawah mengundang masyarakat sekitar untuk ikut membantu menanam bibit padi.

Hal ini dilakukan tidak hanya oleh masyarakat yang tidak memiliki lahan sawah, pemilik lahan sawah lainnya juga ikut membantu. Setelah bibit padi berusia sekitar satu hingga dua bulan, pemilik lahan sawah mengajak masyarakat untuk membantu membersihkan hama padi seperti rumput dan keong sawah yang dapat mengahalangi pertumbuhan padi.
Proses tersebut terus dilakukan secara bergantian dari satu sawah ke sawah lain, dari pemilik tanah satu ke pemilik tanah yang lain. Artinya pemilik lahan tidak menempatkan diri sebagai struktur kelas sosial atas yang memerintah petani untuk bekerja di sawah mereka sebagaimana yang sering terjadi pada pola pertanian pada umumnya. Pada masyarakat Desa Sukalaksana, justru pemilik sawah di samping sebagai tuan tanah, pada saat yang bersamaan mereka ikut membantu pemilik sawah lainnya dalam setiap rangkaian proses produksi pertanian. Singkatnya, tidak ada perbedaan peran dan posisi antara pemilik lahan dan masyarakat yang tidak memiliki lahan.

Memasuki masa panen, pemilik lahan akan mengundang masyarakat baik yang memiliki atau tidak memiliki sawah untuk ikut membantu memetik padi yang sudah menguning. Bantuan masyarakat tersebut tidak dikonversi dalam bentuk uang melainkan dalam bentuk padi. Jumlah padi yang didapatkan bergantung pada sebarapa banyak padi yang dipanen dan kemudian diserahkan kepada pemilih sawah. Menariknya, pemilik sawah yang sedang panen juga ikut turun ke sawah untuk memanen padi. Rata-rata dalam satu hari, masyarakat yang membantu penen mendapatkan satu bakul hingga satu karung padi dari satu pemilik lahan sawah. Masa penen seringkali berbarengan antara pemilik lahan sawah yang satu dengan yang lain, sehingga masyarakat bisa secara bergantian berpindah dari satu sawah ke sawah yang lain dengan pemilik yang berbeda.Jika dikalkulasikan, masyarakat yang tidak memiliki lahan sawah dengan membantu memaneni sawah-sawah pemilik lahan, perolehan padi yang diterima bisa sama banyaknya dengan pemilik satu petak sawah.

Pola pertanian seperti inilah yang kemudian membuat mengapa keluarga-keluarga di kelurahan Sukalaksana dapat bertahan hidup meski tidak mempunyai lahan pertanian. Kendati masih banyak keluarga dalam kategori kelas menengah ke bawah, tetapi paling tidak, untuk makan mereka tidak menemukan kesulitan karena dapat dengan mudah mendapatkan padi dari para pemilik lahan dengan ikut membantu proses produksi pertanian tanpa harus berada dalam posisi subordinasi dan tekanan dari tuan tanah. Mayoritas masyarakat di Kelurahan Sukalaksana mengutamakan aspek ketahanan pangan dibandingkan pencarian keuntungan. Maksudnya, padi yang sudah dipanen hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jika masih belebih maka akan disimpan di rumah mereka untuk mengantisipasi terjadinya gagal panen. Mereka tidak tertarik untuk menjual padi atau beras yang mereka miliki ke tengkulak atau pasar. Kecuali dalam keadaan tertentu seperti keperluan yang mendesak, mereka akan menjual beras ke warung klontong terdekat dengan harga jual dibawah harga pasar. Selain itu, masyarakat terbiasa untuk melakukan barter dengan beras sebagai komoditi utama yang dipertukarkan untuk mendapatkan barang lain seperti gula, ikan, dan sayuran. Meskipun prioritas utama masyarakat adalah menyimpan padi di rumah mereka.

Point yang ingin disampaikan pada kesempatan ini adalah bahwa nilai kultural dalam sistem pertanian pada masyarakat Kelurahan Sukalaksana yang mengedepankan gotong royong dan kerjasama, berkorelasi positif pada tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yaitu masyarakat tanpa kelaparan lewat ketahanan pangan keluarga. Selama ini nyaris tidak pernah terdengar kasus warga kelaparan di Kelurahan Sukalaksana. Selain itu, masyarakat terlibat dalam menggalakan pertanian yang berkelanjutan dengan tidak mengeksploitasi pemanfaatan terhadap tanah untuk memproduksi pertanian atau tergiur untuk menjual lahan mereka kepada investor dan pengembang. Penting untuk diketahui bahwa tidak mudah untuk mempertahankan keberadaan lahan pertanian yang kian menyempit dan berada di wilayah perkotaan. Petani kerap kali didatangi oleh orang tertentu untuk membeli lahan sawah mereka dengan iming-iming akan dibeli dengan harga tinggi. Tidak sedikit masyarakat yang tidak kuasa menahan godaan untuk menjual tanah mereka.

Selain berkorelasi terhadap pengentasan masalah kelaparan, sistem pertanian yang terbentuk pada masyarakat Kelurahan Sukalaksana juga mencerminkan adanya distribusi sumber daya (resources) yang setara dan berkeadilan. Dimana, struktur kelas terhadap proses produksi pertanian tidak membentuk kehidupan masyarakat berada pada jenjang yang hirarkis antara masyarakat pemilik lahan dan non pemilik lahan. Keduanya tidak terdikotomi secara jelas. Baik pemilik lahan maupun non pemilik lahan sama-sama terlibat dalam melakukan proses pertanian dari hulu hingga hilir. Masyarakat yang tidak memiliki lahan tetap bisa menikmati hasil pertanian berupa padi. Artinya, punya atau tidak punya lahan bukanlah jaminan dalam menjaga ketahanan pangan. Justru ikatan kultural yang terbentuk yang memberikan jaminan kepada msayarakat setara setara dan adil untuk sama-sama dapat menjaga kelangsungan hidup lewat pertanian.

(Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News