Oleh : Firman Venayaksa
Pantaskah Kota Serang menjadi ibu kota Provinsi Banten? Pertanyaan itu sering muncul ke permukaan. Bahkan tahun lalu (30/1/2020), Gubernur Banten, Wahidin Halim, pernah mengakui rasa malunya. “Saya sebagai Gubernur malu kalau ada pengunjung ke Kota Serang bilang Kota Serang sebagai ibu kota provinsi kalah sama ibu kota Papua.” Hal itu diungkapkan ketika membahas mengenai ekspose hasil kajian identifikasi potensi wilayah kerja II dalam mendukung ibu kota provinsi yang dipresentasikan oleh Tim dari ITB. Artinya, rasa malu itu menjadi sebuah lecutan agar Kota Serang sebagai wajah dari provinsi Banten harus bisa bersolek.
Wajah Provinsi Banten
Di manapun, ibu kota provinsi memang diklaim menjadi wajah dari provinsi tersebut. Ia harus menjadi magnet bagi kabupaten/kota lainnya. Pertanyaannya, semagnet apa Kota Serang?
Ketika Banten lepas dari Jawa Barat, salah satu alasan yang muncul setidaknya ada dua hal. Pertama persoalan disparitas, kedua persoalan historis-kultural. Disparitas berhubungan dengan anggapan bahwa warga Banten sering dianaktirikan bahkan cenderung ditinggalkan dalam urusan pembangunan oleh Jawa Barat. Banten merasa dipunggungi. Sementara, untuk urusan historis-kultural, Banten memiliki diferensiasi. Dengan segala problematika dan drama dalam memperjuangkan Banten menjadi provinsi, dari situlah kemudian Banten dianggap pantas menjadi provinsi yang mandiri, lepas dari Jawa Barat. Serang yang di dalamnya memiliki latar belakang Kesultanan Banten sebagai magnum opus, diamanatkan melalui UU No 23 tahun 2000 menjadi ibu kota provinsi Banten. Maka pembangunan demi pembangunan mulai terlihat. Paling tidak, kemegahan KP3B yang menjadi sentral administrasi Provinsi Banten begitu kentara. Tujuh tahun setelah itu, pembentukan Kota Serang diresmikan melalui UU No 32 Tahun 2007. Kota Serang resmi secara de jure dan de facto sebagai wajah provinsi Banten.
Lantas apa yang terjadi setelah Kota Serang terbentuk? Setelah 13 tahun lebih, urusan administrasi antara Pemkot Serang dan Pemkab Serang sebagai wilayah induknya saja masih belum tertata dengan baik. Padahal menurut regulasi, harusnya maksimal lima tahun karut-marut aset itu diselesaikan. Bagaimana mungkin bicara tata kelola kota yang inovatif dan modern, sementara jarak antara Pemkot Serang dan Pemkab Serang hanya 2,8 KM. Berada di satu kecamatan yang sama! Kantor Bupati Serang belum berkenan pindah, pun kantor-kantor instansi pemerintajannya. Lalu Kalau Anda mau cari kantor Walikota Serang, silakan datang ke Kompleks Perumahan Kota Serang Baru (KSB). Kok ngantor di perumahan? Ya, inilah wajah Kota Serang yang menjadi wajah ibu kota provinsi Banten. Di Indonesia, sepertinya hanya Kota Serang yang ngantornya di perumahan. Pak Gubernur malu? Sudah semestiya. Pak Walikota? Aje kendor.
Menuju Kota Sampah
Maka, tak usah bingung apakah alun-alun itu aset Pemkot Serang atau Pemkab Serang? Sebagai warga Serang, nikmati saja. Begitupun dengan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA). Walaupun konon asetnya dimiliki Pemkot Serang, tetapi sampah dari Kabupaten Serang juga dibuang di tempat yang sama, Cilowong.
Sebagai sebuah tempat yang tak lazim, TPSA Cilowong, mudah saja dikenali. Jika Anda memakai jalan alternatif ke arah Anyer melalui Taktakan, Anda akan melihat gundukan sampah. Bahkan 500 meter sebelum melihat lokasi, bau menyengatnya sudah mendatangi hidung Anda 500 meter jangkauannya. Kadang saya membayangkan bagaimana masyarakat begitu kuat dengan sengatan bau sampah itu setiap harinya? Bagaimana dengan kesehatan warga dan anak-anak di sekeliling tempat itu?
Setiap hari, produksi sampah di wilayah Kota Serang menxapai 300-350 ton sampah/hari. Menurut pengakuan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Serang, Ipyanto, dari 360 ton setiap harinya, Pemkot Serang hanya sanggup mengangkut 75-80 ton saja ke TPSA Cilowong (Republika, 19 Juni 2019). Artinya alih-alih mengolah sampah, hingga saat ini Pemkot masih memiliki PR besar untuk mengangkut sampah. Pemkot Serang hingga saat ini tidak memiliki teknologi mengurusi sampah. Maka ketika Ipyanto baru-baru ini memberikan pernyataan kepada media ingin membantu musibah yang dihadapi Tangsel karena TPA Tangsel terjadi longsor, sehingga 400 ton sampah masuk ke TPSA Cilowong, jelas tidak memakai nalar logis dan hanya mementingkan PAD 48 miliar/tahun, artinya hanya mendapatkan 3,75 milyar/ bulan. Jika kita dedahkan, uang itu tidak akan pernah cukup untuk mengurusi problematika sosial baru, lalu lintas sampah, dan image tambahan Kota Serang sebagai Kota Sampah.
Dan jika skema ini terrealisasi, yang harus bertanggung jawab dan akan selalu dikenang menjadikan wajah ibu kota Provinsi Banten menjadi Kota Sampah adalah Walikota Syafrudin dan Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany yang telah menandatangani MoU dan anggota dewan yang memberikan persetujuan atas kerja sama tersebut.
Sedari awal pendirian Kota Serang, kesangsian itu selalu datang mengendap dalam pikiran warga Banten. Namun pikiran itu kita tekan sedemikian rupa dengan memunculkan optimisme dan rasa bangga. Suatu saat, ada waktunya kelak, Kota Serang bersolek dan menjadi sebuah kota yang tidak kalah dengan kota lain di Indonesia. Tapi baru-baru ini, begitu cepat optimisme itu memudar. Selamat datang Kota Sampah. (*)
Firman Venayaksa, warga Kota Serang, dosen Untirta