Korupsi Demokrasi
oleh :Try Adhi Bangsawan
Pegiat Politik Sanggabuana Institute Dan Dosen Administrasi Publik Universitas Bina Bangsa
Akhir-akhir ini, kita disuguhkan dengan beragam praktik politik (praktis) yang menyentuh titik koreksi. 25 tahun reformasi tidak membawa perbaikan demokrasi yang memungkinkan untuk mencapai hal-hal yang substansial dalam praktik demokrasi kita. Kita telah menyangsikan praktik demokrasi tanpa tanggungjawab, politik tanpa prinsip.
Kita sudah terlampau jauh memilih jalan demokrasi sebagai praktik hidup, berbangsa dan bernegara. Penegasan itu berlangsung sejak pemilu 1955, kemudian meredup selama orde baru dan kembali bergairah di era reformasi. Keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya dan sebebas-bebasnya, hingga ‘bablas’ pada praktiknya.
Menjelang Pemilu 2024 suasana politik kita semakin tidak karuan. Kita dipertontonkan ‘praktik politik’ yang sangat tidak baik bagi kesehatan mental, dan kesemuanya terakumulasi pada sistem yang kita sebut demokrasi. Sistem politik yang seharusnya mampu menegakkan kedaulatan rakyat, namun sayang, bak diikat tali sehasta. Rasa-rasanya kesulitan mengharapkan perbaikan, kemajuan, kesejahteraan rakyat yang hanya bertumpu pada hasil pemilu, soal itung-itungan angka belaka.
Salahdua Masalah Demokrasi Kita
Belakangan ini kita melihat perubahan konstitusi yang memuluskan jalan anak presiden Jokowi di gelanggang pemilihan Capres dan Wapres, setelahnya kita disajikan penetapan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka kasus pemerasan Menteri tersangkut korupsi. Pada saat yang sama, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sejak 2020-2023 sebanyak 660 konflik agraria meletus, dan 105 diantaranya akibat Proyek Strategis Nasional (PSN) proyek ambisi ‘mensejahterkan rakyat’ versi Negara. Dan 29 manusia tewas akibat memperjuangkan Hak Atas Tanah.
Belum lagi kasus yang menyeret Haris dan Fathia ke meja hijau, ini adalah bentuk kriminalisasi akitivis yang bergerak di jalan kemanusiaan, dipaksa diam dan tidak mengkritik praktik elit politik kita. Ini membahayakan bagi demokrasi, sebab demokrasi menjamin betapa pentingnya masyarakat sipil untuk memberikan komentar/kritik pada beragam fenomena sosial-politik yang ada. ‘Kebebasan’ berpendapat inilah yang lenyap selama masa orde baru. Sekarang, mulai rutin disiram.
Setidaknya terdapat lima tanda kemunduran demokrasi Indonesia menurut Public Virtue Research Institute (PVRI). Pertama, penyempitan ruang publik Masyarakat sipil untuk melakukan kritik. Kedua, melemahnya oposisi politik yang menjamin adanya check and balance. Ketiga, perongrongan terhadap proses pemilu yang berintegritas untuk mempertahankan puncak kekuasan. Keempat, kerusakan lingkungan sebagai akibat dari pengambilan keputusan yang tidak demokratis. Dan terakhir pelemahan perspektif gender dalam tata kebijakan dan praktik demokrasi (Tempo, 2022).
Kelima masalah diatas, sedang kita saksikan hari ini. Kita seolah merangkak maju dengan sistem demokrasi, tapi tutup mata pada hal yang lebih penting, yaitu kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, perjalanan demokrasi kita tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja, memerlukan banyak tenaga dan turut serta untuk bersama-sama mengikis praktik kekuasaan yang menghilangkan nilai-nilai yang termaktub dalam demokrasi.
Inilah yang oleh penulis disebut sebagai fenomena korupsi demokrasi. Korupsi tidak saja disandarkan pada urusan duit, namun juga penyelewengan kekuasaan oleh elit politik yang menjadi hidangan tiap pagi di media sosial dan televisi. Korupsi demokrasi bermaksud untuk menjabarkan bagaimana Pemilu dijalankan sebagai titah demokrasi, dan pada sisi yang lain, marak terjadi perampasan ruang hidup, konflik agraria, kriminalisasi aktivis, serta komodifikasi kekuasaan politik dan ekonomi oleh segelintir kelompok orang (oligarki) melalui pemilu. Padahal, soal ini merupakan bagian paling fundamental dari demokrasi yang seringkali diabaikan dan luput dari perhatian.
Duduk Perkara Demokrasi
Secara konseptual, diskursus demokrasi setidaknya terbagi ke dalam dua sudut pandang. Pertama demokrasi prosedural, pandangan ini menitikberatkan pada persoalan pemilihan umum (election) di mana pejebat dan kehidupan bernegara pada akhirnya ditentukan oleh pemilu. Oleh karenanya, praktik politik kita seringkali kelupaan bertumpu pada proses konsolidasi politik yang berkualitas, selalu fokus pada hasil pemilu, bagaimanapun bentuk proses yang dilaluinya.
Salahsatu yang tidak bisa dihindari menjelang pemilu adalah koalisi partai politik. Sebab, partai politik bersiap menyongsong putaran kekuasaan yang berlangsung pasca pemilu. Sependek penglihatan penulis, koalisi partai politik di Indonesia tidak didasarkan pada diskursus kesamaan ide dan gagasan. Kesemuanya berlangsung dalam hitungan untung dan rugi, bias ideologi parpol sangat nampak menjelang pemilu 2024, belum lagi dibenturkan dengan Presidential Threshold 20% menjadi salahsekian masalah koalisi partai politik yang mengedepankan kalkulasi merebut kekuasaan. Pada tataran prosedural saja, demokrasi Indonesia masih terdapat beberapa persoalan yang musti diperbaiki, dikoreksi.
Sudut pandang kedua, demokrasi substansial. Dalam pandangan ini demokrasi tidak dilihat hanya sebatas pemilihan umum (Pemilu), akan tetapi budaya ideologi yang menyemaikan nilai persamaan, partisipasi, kebebasan, toleransi, keadilan, hak-hak universal, dan kesepakatan banyak orang (Noor, 2016). Bagi Dahl (1971), partisipasi dan koreksi terhadap pemerintah lebih utama ketimbang pemilu.
Dengan mempraktikan demokrasi substansial, Indonesia akan sampai pada inti paling sunyi dari demokrasi. Terdapat distribusi politik ekonomi, politik, dan sosial secara beradilan, dan penghormatan terhadap kebebasan Masyarakat sipil terlibat mengomentari penyelenggaraan negara. Barulah kita dapat menginsyafi demokrasi sebagai jalan mensejahterakan rakyat–sampai kita menemukan sistem yang lebih baik ketimbang demokrasi yang kadung kita jalani sekarang.
Simpulan
Demokrasi kita telah banyak di korupsi oleh praktik elit politik yang berlebihan, tidak karuan, penyelewengan kekuasaan berlangsung begitu hebat, massif dan sistematis. Semua bungkus pembungkaman atas kebebasan Masyarakat sipil contohnya, selalu menggunakan instrumen hukum yang rentan digunakan untuk menjerat Masyarakat sipil yang mengkritik.
Korupsi demokrasi amatlah berbahaya bagi keberlangsungan hidup demokrasi kita. Kalau kekuasaan sudah menjadi permainan para elit politik, dampaknya akan semakin hebat menimbulkan kesenjangan ekonomi, politik, dan sosial. Dan hal ini tidak saja berlangsung di pemerintahan pusat akan tetapi, praktik serupa terjadi di daerah.
Kaitan dengan ini, peran Masyarakat sipil amatlah penting. Sekalipun ancaman Bui didepan mata, tetapi kita tidak bisa berkelindan dari titah demokrasi yang sesungguhnya. Upaya perbaikan demokrasi Indonesia mustilah dihayati dengan hati lapang, sebab ternyata membangun bangsa dan negara sulitnya minta ampun. Oleh karena kita didalamnya, hal yang paling mungkin dilakukan adalah memobilisasi kekesalan lingkungan terdekat selanjutnya diakumulasi menjadi kekuatan politik yang memungkinkan menjadi kontra-hegemoni bagi praktik korupsi demokrasi. (*)