Beranda Opini Konsep Diri Pada Anak Jalanan

Konsep Diri Pada Anak Jalanan

Ilustrasi anak jalanan - foto istimewa tempo.co

Oleh : Deta Septiana, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Anak jalanan ialah seorang anak yang kebanyakan menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan. Studi menyatakan bahwa anak jalanan ialah anak usia antara 7 sampai 15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat menganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya atau anak berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah dan bekerja di tempat-tempat umum ( Jamaludin, 2015: 301-302).

Indonesia ialah negara yang masih memiliki banyak kasus anak jalanan terutama di kota-kota besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, menyebutkan terdapat sekitar 154.861 jiwa anak jalanan di Indonesia. Kemudian pada tahun 2009 jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 230.000 anak jalanan (Tommy, 2010).

Tentunya, terdapat faktor faktor yang membuat mereka terpaksa atau sukarela terjun kejalan, namun sebagian besar faktor dari adanya anak jalanan ialah kemiskinan. Menurut Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa (2007), faktor penyebab remaja berada di jalanan yaitu faktor kemiskinan dengan alasan untuk mendapatkan uang bagi dirinya dan membantu keluarga, serta untuk mendapatkan tempat tinggal.

Dari jumlah 26 remaja anak jalanan, yang menjawab faktor kemiskinan sebagai penyebab mereka menjadi anak jalanan hampir seluruhnya sebanyak 92.3% (24 remaja) adalah untuk mendapatkan uang bagi dirinya dan membantu orang tua (Sri Mugianti, Dkk: 2018). Artinya, ada faktor pendorong internal yang membuat mereka memilih untuk hidup dijalanan. Terdapat stimulus yang menyebabkan mereka merespon hal tersebut.

Menurut pandangan penganut fungsionalisme, kemiskinan timbul sebagai akibat dari tidak berfungsinya salah satu elemen sistem sosial yang ada dalam masyarakat. kemiskinan memberikan dampak lain yang jelas terlihat, yaitu timbulnya anak-anak jalanan yang seharusnya masih mengenyam pendidikan dan menikmati masa anak-anak dan remajanya. Umumnya, kemiskinan yang dialami anak jalanan ialah miskin kultural dimana kemiskinan tersebut ditimbulkan karena turun temurun.

Sumber daya yang minim memaksa anak jalanan ikut andil dalam ekonomi keluarga, meskipun mereka bukan merupakan angkatan kerja. Representasi kehidupan orang tua merupakan alasan utama mengapa mereka perlu untuk berusaha mandiri dan merasa menjadi beban keluarga. Anak jalanan ialah anak yang mencoba keluar dari lingkaran kemiskinan yang tidak didukung dengan sumber daya yang memadai.

Anak jalanan kerap kali mendapatkan perlakuan represif dari masyarakat, paling sering mereka mendapatkan kekerasan simbolik berupa teguran seperti “nakal”, “ngeganggu ketertiban banget”, atau pun perlakuan-perlakuan non verbal berupa tatapan sinis dan perilaku menghindar. Mereka kerap kali di usir pada saat mereka mengamen karena di anggap mengganggu. Karena kemiskinan ialah faktor utama anak jalanan untuk hidup di jalanan menjadikan mereka tak punya pilihan lain untuk tetap bertahan dikehidupan jalanan.

Masyarakat umum melabeli anak jalanan sebagai ‘sampah masyarakat’ karena mereka sebagian besar berpakaian tidak rapih dan banyak berlalu lalang di jalan. Anak jalanan juga kerap kali dihindari oleh masyarakat, karena ketakutan masyarakat akan mereka yang mencuri, menodong, dan sebagainya.

Pengalaman-pengalaman yang dialami anak jalanan, baik dalam kehidupan keluarga ataupun kehidupan di jalanan membentuk konsep diri anak jalanan itu sendiri, karena terdapat interaksi dalam proses nya. Menurut George Herbert Mead, ia mengenali empat dasar dan saling berhubungan didalam tindakan, yaitu : impuls, persepsi, manipulasi, penyelesaian. Dalam kasus anak jalanan anak jalanan diberi stimulus dan respons dari kehidupan jalanan yang mana stimulus itu berasal dari masyarakat. Pada saat mereka menerima impuls berupa teguran, perlakuan represif, dan labelling mereka tidak selalu langsung menerima impuls tersebut.

Kemudian selanjutnya persepsi, stimulus tersebut dipahami dan tidak langsung bertindak terhadap stimulus itu, hal itu juga berkaitan dengan pandangan anak jalanan itu sendiri, kondisi mental anak jalanan dan faktor internal yang ada dalam anak jalanan. Setelah itu melalui tahap manipulasi, yang mana anak jalanan memutuskan perilaku seperti apa yang akan ditunjukan kepada masyarakat. Hasil akhir dari stimulus-stimulus itulah yang kemudian menjadi consummation atau penyelesaian, artinya itu merupakan hasil akhir atau respons dari stimulus yang diberikan oleh masyarakat kepada anak jalanan.

Konsep diri yang dibangun oleh anak jalanan, tidak selalu negatif. Apabila dikaji lebih dalam mereka memiliki visi yang baik, misalnya mereka ingin bekerja kantoran, atau mendapatkan pekerjaan yang layak. Tujuan itu berlandaskan kondisi orang tua yang merupakan rumah tangga miskin sehingga mendorong anak jalanan untuk lebih optimis dalam hidup. Selanjutnya, adapula konsep diri yang ditunjukan oleh anak jalanan, yaitu berupa insecurity dalam mengungkapkan tujuan hidupnya. Karena, mereka merasa bahwa mereka terlalu sulit untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan begitu, ketidakpercayaan diri pada anak jalanan lebih tinggi darimana kepercayaan diri pada anak pada umumnya.

Itulah yang disebut consummation dalam teori Mead, yang mana hasil akhirnya ialah anak jalanan memberikan konsep diri yang negatif berupa ketidakpercayaan diri. Oleh karena, pandangan masyarakat mengenai mereka, anak jalanan pun kerap kali sinis terhadap orang baru atau lebih waspada karena memiliki pandangan tersendiri tentang masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh mead bahwa gerak isyarat adalah gerakan-gerakan dari organisme pertama yang bertindak sebagai stimulli spesifik yang membangkitkan (secara sosial) respon-respon yang tepat pada organisme kedua. Selain itu, mereka terkadang memunculkan sifat tidak bersaing antara satu dan lainnya, mereka cenderung mengutamakan teman sesama yang juga berada di kehidupan jalanan.

Oleh karena itu, permasalahan anak jalanan bukanlah hanya masalah negara ataupun individu. Hal ini merupakan masalah kita bersama yang harus dinetralisir, sehingga tidak lagi ada anak yang kurang percaya diri, menganggap remeh dirinya sendiri, berperilaku menyimpang dari nilai dan norma masyarakat. Bagaimanapun, konsep diri ataupun perilaku sosial yang dimunculkan oleh anak jalanan kepada masyarakat merupakan respon dari stimulus yang ditunjukan pada kehidupan anak jalanan tersebut. Untuk mengentaskan hal tersebut masyarakat perlu saling bahu membahu, bantu membantu guna mengentaskan anak jalanan.

(***)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News