KAB. SERANG – Sudah sejak November 2023, kapal-kapal pengangkut pasir laut berdatangan ke Taman Wisata Pulau Tunda, Desa Wargasara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten. Penambangan ini pun akhirnya memunculkan sejumlah polemik di masyarakat.
Para nelayan dan masyarakat Pulau Tunda tidak bisa berbuat banyak dengan adanya proyek yang akan berdampak pada kerusakan lingkungan tersebut. Pengerukan pasir laut diduga dilakukan perusahaan asal Jakarta yang akan berjalan selama 3 bulan.
Pasir yang diambil itu rencananya digunakan untuk kebutuhan reklamasi yang berada di utara Provinsi DKI Jakarta.
“Menurut tim (Tim Perusahaan) untuk kebutuhan reklamasi yang di Jakarta untuk pengedaman Utara Jakarta,” ujar Ari-bukan nama sebenarnya kepada BantenNews.co.id, Jumat (26/1/2024).
Perusahaan pun telah menjanjikan solusi dengan memberikan kompensasi bagi masyarakat, nelayan maupun lembaga yang terdampak. Pemberian kompensasi yakni dibagi menjadi 80% untuk masyarakat dan 20% untuk pemberdayaan yang dibagikan ke sejumlah lembaga di Pulau Tunda.
Kesepakatan kompensasi tersebut telah disepakati antara tim perusahaan penambang pasir laut dengan masyarakat serta sejumlah lembaga.
Menurut Ari, sudah terjadi dua kali pencairan kompensasi dan yang terbaru pada 25 November 2023. Kompensasi untuk masyarakat Pulau Tunda yang terdampak yaitu dibagi menjadi dua kategori, untuk warga berusia di atas 17 tahun mendapatkan kompenasi Rp600 ribu dan usia 0-16 tahun mendapat Rp230 ribu.
Akan tetapi, kompensasi yang cair juga tergantung dari jumlah hari kerja kapal pengeruk pasir. “Tapi tidak menentu dapatnya tergantung invoice. Kapal bekerja berapa hari kiranya dapat berapa itu yang dibagikan,” ucapnya.
Sementara, kompensasi 20% untuk lembaga pemberdayaan di Pulau Tunda rencananya akan dibagikan untuk kelompok nelayan, karang taruna, Pokdarwis, PKK, Posyandu, LPM, Pokwasmas, pendidikan, masjid dan musala, insentif untuk guru ngaji, disabilitas, serta anak yatim.
“Namun persentasenya lebih besar kelompok nelayan yang dapat dikarenakan sebagai area yang terdampak langsung yang perencanaan untuk pembuatan rumpon atau rumah ikan,” jelasnya.
Solusi ganti rugi yang dijanjikan perusahaan itu pun akhirnya menimbulkan masalah yang terjadi pada diskusi soal pembagian kompensasi oleh perusahaan pengerukan pasir bawah laut pada Rabu (24/1/2024). Diskusi yang cukup alot itu juga dihadiri oleh perusahaan, Kepala Desa Wargasara dan masyarakat.
Konflik terjadi ketika sejumlah nelayan yang tergabung dalam kelompok yang mengatasnamakan MK itu melakukan protes terkait pembagian uang kompensasi 20% untuk lembaga. Mereka menilai pembagian dana kompensasi tidak transparan dan tidak adil.
Oleh karenanya, dalam diskusi itu Kelompok MK meminta kompensasi 20% untuk lembaga dihapuskan dan digantikan dengan langsung pembagian sepenuhnya kepada masyarakat. Sebab pembagian kompensasi itu dinilai tidak efektif dan dikhawatirkan banyak lembaga yang tidak menjalankan program pemberdayaan seperti yang telah disepakati dan berujung tumpang tindihnya pembagian uang ganti rugi.
“Jadi ricuhnya setiap lembaga sudah punya programnya masing-masing dan sudah ada yang dijalani, di lain sisi kelompok MK protes yang 20% itu harus sepenuhnya dibagikan ke masyarakat tanpa dibagikan ke lembaga,” katanya.
Diskusi yang berujung kericuhan itu pun tidak membuahkan hasil apapun dan rencananya pertemuan akan digelar kembali pada Jumat (26/1/2024).
(Nin/Red)