Sejak hari pertama Ramadan ini Athar mau belajar puasa. Saya dan Sidqi sama-sama menyampaikan kalau Athar puasalah sekuatnya, ngga usah sampai full seperti puasa orang dewasa. Tapi anak itu sendiri yang kemudian bilang, “Abang mau puasa kayak Ayah, dari Subuh sampai Maghrib. Abang kuat kok”.
Saya sendiri agak khawatir, sebab di Swiss saat ini sudah masuk summer time. Itu artinya untuk berpuasa full seperti orang aqil baligh, puasa dimulai dari pukul 4 pagi dan baru berbuka pukul 9 malam. Semakin menuju Syawal, waktu puasa semakin panjang lagi. Di hari ke 16 Ramadan ini misalnya, Subuh sudah jatuh pada pukul 3.38 sementara Maghrib pada pukul 21.18 malam. Betapa durasi puasa yang panjang untuk anak sekolah umur 8 tahun, bukan? Belum lagi waktu tidur yang amat pendek di malam harinya, hal yang juga menjadi perhatian para orang tua dengan anak usia sekolah. Baru tidur kurang dari 5 jam, Athar sudah terbangun lagi untuk sahur.
Athar rupanya konsisten dengan ucapannya di awal Ramadan itu. Ia betul-betul berpuasa penuh, termasuk saat ia dan ayahnya menempuh perjalanan umroh di awal Ramadan kemarin. Athar menikmati buka puasa di bandara dalam perjalanan ke sana, juga tahan tidak berbuka saat ikut seluruh rangkaian umroh, tawaf, sai, dan tahalul.
Sekembalinya ke Swiss dan Athar mulai kembali sekolah setelah izin umroh lalu, semuanya juga berjalan lancar. Ia tetap berpuasa meskipun hanya beberapa orang saja di sekolahnya yang juga sama-sama berpuasa. Terus begitu sampai di hari ke 14 Ramadan lalu.
Hari itu, ketika pulang sekolah, sekitar pukul 12 siang, Athar pulang tampak lesu.
“Abang lemes, Bu,”katanya.
Oh rupanya hari itu di sekolah pelajaran olahraga dan ulangan harian pula.
“Kalau gitu Abang buka puasa aja. Mau puasa lagi boleh, atau kalau masih lemes juga ya sudah berhenti puasanya. Besok lagi”. Saya pikir ya kan Athar belum wajib puasa, jadi santai saja lah, Nak…
Alih-alih menyambut gembira, Athar malah keukeuh puasa, “Ngga mau. Abang mau puasa aja. Abang tidur aja deh”. Lalu dia berbaring di sofa bed, dan menonton cartoon. “Bubu jangan masak apa-apa dulu nanti abang tambah lapar. Jangan makan cookies atau apa aja. Nanti abang ngiler”.
Oke deeh.
Ya sudah, saya biarkan Athar dengan keputusannya.
Sampai waktu Ashar, sekitar pukul 5, anak ini mulai bertanya-tanya lagi, berapa lama lagi waktu buka puasa, dan ditambah ia bilang juga kalau kepalanya agak pusing.
Subhanallah… ada-ada aja kan, saya mulai makin khawatir. Jangan sampai ia sakit karena belajar puasa ini.
“Abang buka aja sekarang kalau gitu, Nak. Ga apa kok kalau ngga kuat, jangan dipaksain. Abang jangan sampai sakit karena puasa. Yuk buka aja deh yuk?”. Athar duduk diam menyender di sofa.
“Kalau sampe pusing gitu kan ga baik. Abang kecapean kali hari ini ya? Buka aja ngga apa-apa kok bang”. Lanjut saya, keukeuh ngajak buka puasa.
Lalu saya lihat matanya mulai berkaca-kaca. Dan raut wajahnya mulai berubah jadi sedih. Saya bingung bukan main, lha ditawarin buka kok nangis? Bukannya senang.
“Lho, abang sedih? Abang kesel sama Bubu?” Tanya saya mendekatinya.
Lalu pecah lah tangisnya. Kemudian dengan suara berat dan mencoba berhenti menangis, Athar bilang,
“Abang cuma mau dapet pahala! Abang pengen puasa,” ucapnya di tengah isakan.
Ya Allah..
gantian habis itu saya yang nangis.
Ya habis bagaimana, ada rasa haru yg menyeruak di dada usai Athar mengutarakan perasaannya.
Saya menghela napas dan mencoba menyampaikan dengan hati-hati, bahwa ia belum wajib berpuasa. Namun dengan ia belajar berpuasa saja, tidak harus sampai penuh pun insyaaAllah sudah dapat pahala.
“Abang udah hebat banget lho bisa puasa penuh dari kemarin. Bubu bangga banget. Tapi, Nak.. kita juga perlu jaga kesehatan,” Athar mulai berhenti menangis
“Allah juga ngga memberatkan kita semua haruuus banget puasa. Kayak Bubu sekarang, karena Bubu harus minum obat, Bubu mual kalau lapar, dan Bubu harus makan sedikit-sedikit, kalau Bubu puasa, ngga baik buat kesehatan Bubu dan adik baby sekarang”. Athar mulai mau pelukan.
“Love you, Bubu”
Saya usap rambutnya sambil berpelukan, “Abang insyaaAllah udah dapat pahala lho dengan belajar puasa. Apalagi dari kemarin abang full terus puasanya. Jadi abang mau buka puasa sekarang? Bubu siapin makan dan minumnya ya?”
Ia lalu melepaskan pelukan, “Ngga usah. Abang bisa sampai maghrib kok”.
Katanya sambil berlalu ke kamar, “Abang lupa belum kerjain PR. Bubu nanti cek yah”.
Ealaaah… kirain mau buka.
“Kamu deh yg ngomong, Be.. kasihan nanti Athar kurus lagi. Kalau sakit gimana?”, kata saya pada Sidqi seusai ia pulang kantor menyampaikan kejadian beberapa jam sebelumnya. Berharap kalau kompakan ayahnya yang ngomong juga, Athar akan bisa lebih lunak pada dirinya sendiri.
“Beres”, Seperti biasa, jawabannya gitu doang. Singkat padat jelas yang ngga jarang bikin senewen istri.
Tibalah saatnya kemarin pagi. Saat waktu sahur tiba, Athar tidak dibangunkan. Benar saja, waktu bangun dan dia tahu hari sudah pagi, Athar agak marah “Abang ngga dibangunin sahur!”.
Lalu si Ayah mencoba menenangkan, “Bang, abang ini masih anak-anak, jadi belum wajib puasa penuh. Kalau abang lemes dan pusing, artinya puasanya terlalu berat buat abang. Sekarang ayah kasih pilihan, mau dibangunkan sahur tapi buka puasa di waktu Ashar, sampai jam 6. Atau abang makan pagi aja sarapan sebelum berangkat sekolah, tapi buka puasa jam 9 sama kayak ayah buka puasanya”
“Buka puasa sama Ayah”, katanya
“Berarti jangan marah kalau ngga dibangunkan sahur ya? Abang harus tidur cukup juga biar sehat”, saya menambahkan. Dan Athar setuju. Yeeess.. alhamdulillah…
Dan begitulah kemarin hari berlangsung dengan damai. Sarapan lancar, belajar puasa aman, ngga ada keluhan pusing, ngga ada nanya-nanya buka berapa jam lagi, dan juga ngga ada perasaan bersalah yang ngga perlu dari anak yang belum wajib puasa.
Biarlah perasaan bersalah itu hadir di sanubari para orang dewasa yg sudah wajib, mampu dan sehat wal afiat, tapi ngga mau puasa, Bang. Abang mah ngga perlu.
Separuh Ramadan tahun ini sudah berlalu. Hari ini Bubu tulis cerita ini, kenang-kenangan pertama kalinya Athar berpuasa 18 jam di Eropa selama separuh Ramadan. Bubu dan ayah ingin Athar mengerti bahwa Ramadan ini perlu kita sambut dengan senang dan gembira. Ibadahnya pun tidak pernah memberatkan kita semua. Islam itu mudah, namun tidak untuk dimudah-mudahkan. Semangat Abang di Ramadan kali ini, juga berarti refleksi untuk Bubu, dan penyemangat agar Bubu dan Ayah tak lupa berdoa Rabbi hablii minasshalihin. Aamiin yaa mujibassaailiin.
Ramadan separuh lagi.
Bern, 16 Ramadan 1439 H
1 Juni 2018
• Kisah ini ditulis Mia Saadah, warga Kota Serang, Banten. Mia bersama suaminya AM Sidqi bekerja di Kedubes Indonesia di Bern, Swiss.