Beranda Peristiwa Kilas Balik Tsunami Selat Sunda 22 Desember 2018

Kilas Balik Tsunami Selat Sunda 22 Desember 2018

Sebuah kendaraan teronggok setelah tergerus gelombang tsunami di Kecamatan Sumur. (Foto : wahyu/bantennews)

Dua tahun yang lalu, tepatnya tanggal 22 Desember 2018, masyarakat di pantai barat Provinsi Banten dan selatan Provinsi Lampung dikejutkan dengan bencana tsunami yang terjadi sekitar pukul 21.47 WIB. Tidak diduga, tsunami datang tanpa didahului
guncangan gempabumi kuat seperti yang umumnya terjadi di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.

Melalui keterangan tertulis, Suwardi, Kepala BMKG Stasiun Geofisika Klas I Tangerang menyebutkan sehari sebelumnya, tanggal 21 Desember 2018 pukul 13.51 WIB terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK) dengan tinggi kolom abu teramati ± 400 m di atas puncak (± 738 m) di atas permukaan laut). Kolom abu teramati berwarna hitam dengan intensitas tebal condong ke arah Utara. Status GAK berada pada Level II (Waspada) dilansir oleh PVMBG, Badan Geologi, KESDM).

Di hari yang sama, pada pukul 07.00 BMKG memberikan peringatan dini gelombang tinggi yang berlaku tanggal 22 Desember 2018 pukul 07.00 WIB hingga tanggal 25 Desember 2018 pukul 07.00 WIB di wilayah perairan Selat Sunda dengan ketinggian 1,5 sampai dengan 2,5 meter.

Pada tanggal 22 Desember 2018 pukul 20.56 WIB terjadi erupsi GAK yang memicu longsornya lereng gunung tersebut. Estimasi luasan longsoran tersebut mencapai sekitar 64 hektar.

Pukul 21.03 WIB di tanggal yang sama, Sensor seismograph BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJI) dan beberapa sensor di wilayah Banten serta Lampung mencatat adanya getaran, namun sinyal yang tercatat tersebut bukan merupakan getaran gempabumi tektonik, sehingga sistem pendeteksi gempa BMKG tidak memproses secara otomatis. Sistem peringatan dini tsunami Indonesia (InaTEWS) dibangun untuk mendeteksi gempa-gempa tektonik.

Tiga puluh menit kemudian tepatnya pukul 21.30 WIB, petugas Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG mendapat laporan kepanikkan masyarakat di wilayah Banten dan Lampung karena air laut pasang yang tidak normal. Saat itu juga petugas melakukan pengecekkan perangkat monitoring pasang surut air laut (tide gauge) yang dioperasionalkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG). Dari perangkat tersebut tercatat perubahan muka air laut sebagai berikut:

– Tide gauge Serang di Pantai Jambu, Bulakan, Kecamatan Cinangka Kabupaten
Serang mencatat ketinggian 0,9 meter pada pukul 21.27 WIB

– Tide gauge Banten di Pelabuhan Ciwandan, Kecamatan Ciwandan mencatat
ketinggian 0.35 meter pada pukul 21.33 WIB

– Tide gauge Kota Agung, Kecamatan Kota Agung, Lampung mencatat
ketinggian 0.36 meter pada pukul 21.35 WIB

– Tide gauge Pelabuhan Panjang, Kecamatan Panjang, Bandar Lampung
mencatat 0.28 meter pada pukul 21.53 WIB

Pada tanggal 22 Desember pukul 22.30 WIB, BMKG mengeluarkan Press Release

Tsunami Telah Melanda Banten dan Lampung Tidak dipicu oleh gempabumi tektonik

Pada tanggal 23 Desember pukul 01.30 WIB, BMKG melakukan Press Conference bahwa benar telah terjadi tsunami bukan disebabkan oleh gempabumi tektonik. Menurut laporan dan data citra satelit, tsunami hampir pasti disebabkan oleh runtuhnya sisi gunung berapi Anak Krakatau di Selat Sunda (Robertson dkk. 2018; TDMRC 2018).

Citra satelit dari Otoritas Informasi Geospasial Jepang (2018)
membandingkan Anak Krakatau sebelum (2018/08/20) dan setelah (2018/12/24) tsunami, menunjukkan bahwa lereng Barat Daya jelas runtuh. Volume material yang hilang antara tanggal 24 dan 27 Desember 2018 diperkirakan 0,15-0,17 km3.

Survei Paska Tsunami Selat Sunda di Wilayah Banten dan Lampung Survei yang dilakukan pada hari ke-4 pasca tsunami mengungkapkan ketinggian tsunami di sepanjang pantai Sumatera dan Jawa dengan runup maksimum yang disurvei adalah 13,5 m dan jarak genangan maksimum 330 m masuk ke daratan (A. Muhari dkk, 2019).

Tim survei pasca tsunami melakukan pengukuran di 64 titik yang berada di pantai wilayah Lampung dan Banten dari 26 hingga 30 Desember 2018. Hasil pengukuran jejak tsunami pada 15 titik di Provinsi Lampung, diperoleh hasil kedalaman aliran (flow depth) mencapai 2,9 m dan jarak genangan tsunami maksimum mencapai hingga 150 m di Desa Kunjir, Kecamatan Rajabasa. Pengukuran di Lampung sebagian besar dilakukan di Kecamatan Rajabasa mengingat jejak tsunami kurang terlihat di tempat lain. Di wilayah ini, kedalaman aliran tsunami ratarata 1,5 m dan pantai rata-rata tergenang hingga sejauh 50 m.

Di pantai Banten (sisi timur hingga tenggara Gunung Anak Krakatau (GAK), hasil pengukurannya juga bervariasi baik kedalaman genangan tsunami maupun runup-nya. Di pantai barat Banten ke arah utara dari koordinat 6,1° Lintang Selatan didapati
minim kerusakkan, dimana warung-warung kecil dari kayu yang berada sangat dekat dengan garis pantai selamat tanpa ada kerusakkan yang berarti. Jejak tsunami tidak terlihat di lokasi ini, serta kondisi rerumputan dan pasir tidak menunjukkan bahwa
tsunami menggenangi wilayah tersebut. Kerusakkan dijumpai di bagian ke arah selatan.

Tinggi kenaikkan (runup) tsunami berkisar 3.29 meter hingga 13.49 meter, maksimum runup yaitu di wilayah Tanjung Jaya dan Banyuasih yang merupakan pantai bertebing. Kedalaman alirannya (flow depth) berkisar 0.10 hingga 5.4 meter.
Jarak landaan tsunaminya (inundasi) bervariasi dari 131.2 meter, 159 meter, hingga 330 meter masuk ke daratan.

Dampak Tsunami Selat Sunda di Wilayah Banten dan Lampung

Tsunami berdampak juga pada hutan pantai di pulau-pulau yang mengelilingi Gunung Anak Krakatau (GAK). Hasil survey udara (airborne survey) tanggal 27 Desember 2018 hingga 7 Januari 2019 nampak di Pulau Sertung, vegetasi lebat di bagian utaranya
menghilang dan hanya tersisa sebatang pohon pada area pasir sepanjang sekitar 200m. Di bagian selatan pulau, terdapat singkapan yang sangat besar dengan ketinggian hingga 40 m sebagai dampak tsunami. Hilangnya vegetasi juga terjadi di sisi dalam Pulau Rakata, dengan perkiraan ketinggian hingga 15 meter di atas permukaan laut.

Kerusakan ekstrim di pulau-pulau kecil yang dekat dengan GAK menunjukkan bahwa pulau-pulau tersebut kemungkinan telah mengurangi kekuatan dan tinggi tsunami sebelum tiba di pantai barat Banten dan selatan Lampung.

Hutan pantai berkontribusi terhadap penurunan ketinggian tsunami hingga 88% di bagian selatan pantai Banten (yang telah menyelamatkan pemukiman baik yang dibangun dengan kayu maupun batu bata dari tsunami 3,6 m), hal ini bersesuaian
dengan kondisi umum peran hutan pantai dalam mitigasi dampak tsunami (Shuto 1987; Harada dan Imamura 2005; Matsutomi dkk. 2012).

Shuto (1987) mengungkapkan bahwa pohon akan mulai tumbang karena gaya gelombang ketika ketinggian tsunami melebihi 4 m. Jika ketinggian tsunami melebihi 8 m, tidak akan ada efek reduksi (pengurangan) ketinggian tsunami sama sekali dari hutan pantai.

Per 14 Januari 2019, tsunami dilaporkan telah menyebabkan 437 korban jiwa, 31.943 luka-luka, 10 masih hilang dan lebih dari 16.000 orang mengungsi di sepanjang wilayah yang terkena dampak di Sumatera bagian timur dan pulau Jawa bagian barat
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP), 2019).

Perilaku dan Respon Masyarakat di Sekitar Selat Sunda pada 22 Desember 2018

Survei kuesioner dilakukan oleh Tomoyuki TAKABATAKE dkk, 2019 mengungkapkan persepsi penduduk tentang bahaya dan pola evakuasi saat terjadi tsunami selat Sunda. Kuisioner ini untuk memotret perilaku dan kesiapan masyarakat dalam evakuasi. Total ada 104 responden, 54 dari wilayah Lampung dan 50 dari wilayah Banten. Rekapitulasi hasil survey tersebut terangkum sebagai berikut :

a) Distribusi tanggapan responden mengenai apakah mereka pernah mengikuti
latihan evakuasi tsunami dalam 5 tahun terakhir
51 % : Tidak Pernah
30,8 % : Tidak ada Latihan apapun
16,3 % : Hanya satu kali
1 % : Setiap beberapa tahun sekali
1 % : Tidak respon

b) Tentang sumber informasi tsunami
60,8 % : TV, Radio
25,5 % : Kesimpulan sendiri (setelah melihat atau mendengar suara di laut)
16,7 % : Keluarga
11,8 % : Internet
10.8 % : Tetangga
2.0 % : Kesimpulan sendiri (setelah merasakan gempabumi)
1.0 % : Loadspeaker mobil

c) Distribusi responden tentang apa yang mereka lakukan ketika mereka
mengetahuinya ada tsunami
92.2 % : Persiapan segera evakuasi
29.4 % : Menghubungi keluarga dan tetangga
3.9 % : Mengumpulkan informasi lebih lanjut
2.9 % : Hanya menunggu

d) Alasan responden memutuskan untuk mengungsi
61.4 % : Melihat langsung air laut mendekati daratan
44.6 % : Mendengar suara keras dari laut
33.7 % : Melihat seseorang evakuasi
25.7 % : Melihat permukaan air laut tidak seperti biasa
21.8 % : Terkena gelombang air laut
9.9 % : Mendengar seseorang memanggil evakuasi
2 % : Merasakan guncangan

e) Waktu yang dibutuhkan bagi mereka yang dievakuasi untuk mencapai area
evakuasi
52.5 % : 15 – 30 menit
35.6 % : 5 – 15 menit
8.9 % : lebih dari 30 menit
3.0 % : 0 – 5 menit
f) Distribusi jawaban responden mengenai tempat evakuasi
84,1 % : Dataran tinggi terdekat
12.9 % : Fasilitas publik lainnya
3 % : Tempat keluarga atau kerabat lain

g) Kesulitan yang dihadapi responden saat melakukan evakuasi
50.7 % : Terlalu banyak orang di jalan untuk menyelamatkan diri
39.1 % : Saya harus mencari kerabat
36.2 % : Banyak orang mengungsi
17.4 % : Saya tidak tahu apa yang harus dibawa
7.2 % : Saya tidak tahu harus pergi kemana
7.2 % : Tidak ada kesulitan

Hasil penelitian mereka menunjukkan pentingnya memiliki sistem peringatan dini tsunami yang beroperasi di Selat Sunda dan penetapan rencana evakuasi yang tepat sehingga warga dapat segera melakukan evakuasi dan mencapai tempat yang aman
tanpa menghadapi kemacetan parah di sepanjang jalur evakuasi.
Tataan Tektonik di Selat Sunda dan Sekitarnya Berdasarkan catatan sejarah, peristiwa tsunami Selat Sunda di akhir tahun 2018 lalu bukanlah yang pertama terjadi, sejak tahun 416 sudah ada catatan tsunami akibat erupsi gunung api. Kondisi tektonik Selat Sunda sangat kompleks, seperti adanya cekungan busur muka (fore arc basin), palung sunda (Sunda Trench), busur gunung api aktif (volcanic arc) dan zona subduksi (subduction zone).

Peluang terbesar terjadinya gempabumi dengan kekuatan dahsyat adalah di zona megathrust. Adanya dugaan keberadaan zona kesenjangan terjadinya gempabumi besar (seismic gap) di selatan Selat Sunda mengindikasikan sedang berlangsungnya
proses akumulasi tegangan (stress) kulit bumi yang nantinya dapat dilepaskan suatu saat nanti sebagai gempabumi kuat yang berpotensi tsunami.

Di Selat Sunda, tsunami tidak hanya berpotensi disebabkan oleh gempabumi tektonik, namun dapat dipicu juga oleh terjadinya longsoran dan erupsi gunung api. Struktur geologi aktif yang membentuk graben serta adanya zona peregangan (stretching zone) menjadikan kondisi geologi dan tektonik Selat Sunda labil. Sangat berpotensi memicu longsoran bawah laut apabila terjadi guncangan kuat akibat gempabumi.

 

Mitigasi Tsunami

Serangkaian kejadian tsunami di Selat Sunda memberikan informasi kepada kita semua bahwa suatu saat tsunami dapat terjadi lagi di masa yang akan datang. Kapan waktu terjadinya, hingga saat ini belum ada teknologi yang mampu untuk
memprediksinya. Perlu keterlibatan, kesungguhan dan komitmen semua pihak, baik pemerintah, swasta, media, LSM, dan seluruh lapisan masyarakat untuk bahu membahu memperkuat mitigasi bencana tsunami di wilayah sekitar selat Sunda. Hal ini merupakan langkah terbaik untuk meminimalisir korban jiwa dan harta benda masyarakat pesisir apabila suatu saat tsunami terjadi.

Mitigasi merupakan “aksi yang mengurangi atau menghilangkan risiko jangka panjang bahaya bencana alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta-benda” (FEMA, 2000). Mitigasi dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mengurangi risiko bencana yang dilakukan oleh semua pihak baik tingkat negara, masyarakat, dan individu.

Mitigasi mencakup segala tindakan yang dapat mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Dalam melakukan mitigasi bahaya tsunami sangat diperlukan ketepatan dalam menilai kondisi alam yang terancam, merancang dan
menerapkan teknik peringatan bahaya, dan mempersiapkan daerah yang terancam untuk mengurangi dampak negatif dari bahaya tersebut. Langkah penting itu meliputi: penilaian bahaya (hazard assessment), peringatan dini (warning), dan persiapan (preparedness).

Mitigasi bencana tsunami untuk wilayah pesisir terutama di zona rawan tsunami wajib menjadi prioritas. Masyarakat pesisir, pelaku usaha pariwisata pantai, dan nelayan wajib memahami potensi bahaya serta langkah-langkah antisipasi menghadapi tsunami di wilayah mereka. Maka dari itu, pentingnya sosialisasi mitigasi
bencana tsunami agar menjadi perhatian semua pihak untuk mengurangi risikonya.

Pemerintah daerah yang wilayahnya rawan tsunami diharapkan untuk mengkaji dan menata kembali tata ruang pantai agar mempunyai zona yang aman dari tsunami. Masyarakat dan pebisnis yang tinggal dan memiliki usaha di tepi pantai perlu
mematuhi apa yang sudah dibuat oleh pemerintah. Pemerintah daerah wajib menentukan tempat evakuasi sementara (TES) maupun tempat evakuasi akhir (TEA) serta melengkapinya dengan rambu-rambu evakuasi. Hotel maupun tempat usaha di
pinggir pantai wajib melengkapi kawasannya dengan tempat dan rambu evakuasi.

Berdasarkan hasil survey lapangan, landaan tsunami Selat Sunda 2018 lalu di beberapa lokasi wilayah pesisir Banten mencapai hingga sekitar 330 meter masuk ke daratan. Untuk itu dalam membangun bangunan rumah dan tempat usaha hendaknya diupayakan tidak berada di tepi pantai, tetapi agak jauh lebih dari 500 meter dari garis pantai. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan instansi, lembaga terkait, maupun pihak perguruan tinggi untuk membuat peta rawan tsunami dan peta evakuasi secara detil berdasarkan hasil kajian-kajian yang ada.

Hutan pantai di bagian selatan pantai Banten berkontribusi terhadap penurunan ketinggian tsunami hingga 88% saat terjadi tsunami Selat Sunda 2018 (A. Muhari dkk, 2019). Dengan demikian hutan pantai (coastal forest) cukup efektif menjadi
penghalang terjangan tsunami hingga mampu mengurangi risiko bahaya tsunami. Manfaat dari hutan pantai sangatlah besar bagi masyarakat yang berada di sepanjang pantai rawan tsunami. Untuk itu, perlu segera dimulai program penghutanan pantai.

Edukasi tentang evakuasi mandiri sangat penting dilakukan agar masyarakat memahami dan tanggap terhadap bahaya tsunami. Tsunami yang terjadi di Indonesia mayoritas adalah tsunami lokal. Waktu tiba tsunaminya ke wilayah pesisir sekitar 20
hingga 30 menit, bahkan di beberapa wilayah waktu tiba tsunaminya sangat cepat seperti saat tsunami Mentawai 2010 mencapai sekitar 7 menit, tsunami Palu 2018 sekitar 3 menit. Masyarakat pesisir diharapkan menjadikan guncangan kuat
gempabumi hingga mereka sulit berdiri sebagai peringatan dini tsunami. Setelah guncangan mereda mereka diharapkan segera melakukan evakuasi menjauhi pantai menuju tempat yang tinggi dan aman, tanpa menunggu peringatan dini tsunami dari BMKG.

Komitmen bersama semua kalangan mulai dari level pemerintah, dunia usaha di Provinsi Banten, serta pemerintah pusat juga masyarakat sangatlah penting untuk mewujudkan kesiapsiagaan menghadapi bencana akibat gempabumi dan tsunami. Bencana terjadi tidak menunggu saat kita siap, maka persiapkan diri kita sekarang!

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News