SERANG – Besarnya anggaran penanganan Covid-19 rawan menjadi bancakan korupsi. Celah korupsi penanganan pandemi Covid-19 sangat mungkin terjadi karena tiga hal.
Situasi kedaruratan merupakan salah satu celah praktik korupsi dalam pengelolaan dana Covid-19. “Jangankan dalam kondisi darurat, dalam situasi normal saja yang namanya potensi penyelewengan itu selalu terbuka. Apalagi dalam kondisi darurat menjadi salah satu faktor yang membuka ruang bagi para pihak oknum yang ingin melakukan korupsi,” kata Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP) Uday Suhada, Minggu (26/7/2020).
Dalam situasi darurat seperti itu, adanya konsekuensi pada proses pengadaan baik alat kesehatan maupun sembako dan sebagainya melalui penunjukan langsung. “Kepala Daerah atau siapa yang punya kewenangan tidak harus melakukan proses tender atau lelang tapi dilakukan dengan penunjukan langsung. Ini juga punya potensi terjadinya penyalahgunaan,” kata Uday.
Ketiga, ia menyebutkan masalah pendataan berpotensi penyelewengan bantuan sosial. “Saya mencatat setidaknya ada tujuh program yang digelontorkan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, kabupaten kota hingga desa. Data ganda atau klaim bantuan sosial dari pemerintah pusat terjadi di depan mata,” katanya.
Direktur Visi Integritas Ade Irawan mengatakan, transparansi pengelolaan dana Covid-19 di Banten masih jauh panggang dari api. Hal itu terlihat jelas dari update informasi pengelolaan dana yang tak segencar informasi kesehatan.
“Saya coba berselancar di website milik provinsi maupun kabupaten dan kota. Informasi soal kesehatan lumayan, tapi informasi soal uang hampir nggak ada. Anggaran besar dan data base yang buruk. Dua kondisi ini membuat bantuan dana Covid-19 rentan diselewengkan,” katanya saat menjadi narasumber di diskusi Penanganan Dana Covid-19 di Provinsi Banten, Minggu (26/7/2020).
Menurutnya, solusi untuk mengatasi penyelewengan anggaran itu dengan sikap transparansi atau keterbukaan terhadap publik.
Maka, pihaknya meminta Pemprov Banten untuk melaporkan dana penanganan virus Corona melalui website. Hal itu dilakukan agar masyarakat mudah dalam mengakses informasi.
“Solusinya di zaman sekarang cuma keterbukaan. Website tentang kesehatan sudah bagus, tinggal ditambahkan realisasi anggaran dana refocusing di website. Paling tidak ada pengadaan apa saja sih gitu. Itu akan menjadi keren, Banten bisa jadi pelopor untuk provinsi lainnya,” tutur mantan Koordinator ICW ini.
Selain itu, Pemprov juga diminta untuk membuat mekanisme pengaduan. Karena berdasarkan temuan di lapangan, selama ini masyarakat masih bingung untuk mengadukan perkara bantuan sosial kepada pemerintah.
“Harus juga buat mekanisme kompleks, kalau ada permasalahan masyarakat ngadunya ke siapa? Ini bagian dari sosialisasi yang baik menurut saya. Korupsi soal bencana itu bisa hukuman mati,” ungkapnya.
Wakil Ketua DPRD Banten M Nawa Said Dimyati alias Cak Nawa menyampaikan bahwa proses penganggaran Covid-19 di Banten bermula pada refocusing pertama 20 Maret 2020 melalui BTT sebesar Rp162 miliar kemudian 9 April 2020 refocusing kedua sebesar Rp1,2 triliun.
“Ada kenaikan signifikan karena saya kritisi di media Pemprov tidak serius menangani Covid dengan ukuran alokasi anggaran yang minim BTT. Pada refocusing ketiga naik lagi Rp 1,6 triliun anggaran paling banyak untuk JPS jaring pengaman sosial menjadi sampai Desember 2020.”
Sedangkan hasil rapat terakhir proses penyusunan RAPBD-P 2020 BTT hanya Rp770 miliar dengan skema jaring pengaman sosial Rp472,811 miliar dan yang sudah terealisasi Rp177 miliar atau 37,47 persen.
Untuk penanganan Covid-19 terbagi dua yakni pencegahan melalui BPBD yang sudah terealisasi Rp7,368 miliar sedangkan untuk Dinas Kesehatan sebesar Rp218 miliar. “Tapi untuk Dinkes perlu saya sampaikan Rp93 miliar nya karena tertahan di Bank Banten, oleh DPPKAD disampaikan sudah keluar karena DPPKAD melakukan SP2D yang mereka keluarkan.”
Total keseluruhan untuk penanganan kesehatan adalah Rp251,954 miliar dan untuk dampak ekonomi lewat Disperindag Provinsi Banten Rp20 miliar belum terserap. (You/Red)