Beranda Opini Ketidakadilan di Mekarsari: Jeritan Desa yang Terkepung Hukum

Ketidakadilan di Mekarsari: Jeritan Desa yang Terkepung Hukum

Kawasan galian C di Desa Mekarsari, Kabupaten Lebak. (Sandi/bantennews)

Oleh

Wadde, Jurnalis dan Pegiat Lingkungan

Desa Mekarsari, sebuah Desa kecil di Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, tampaknya tengah bergulat dengan takdir yang terasa pilu. Menuntut keadilan malah justru nyaris diadili oleh pemilik hukum di negeri ini.

Kisah warga Desa Mekarsari ini bermula di awal musim penghujan di penghujung tahun 2024, saat petani bersiap menyambut benih kehidupan.

Namun, harapan mereka pupus oleh roda-roda berat truk tambang ilegal yang terus merangsek, melumat jalan desa, mencemari persawahan, dan menumbangkan keharmonisan sosial yang mereka jaga erat.

Permohonan yang Tak Diindahkan

Awal November 2024 lalu, dengan hati penuh harap, para warga mengetuk pintu dialog. Mereka meminta sang pemilik galian untuk menghentikan sementara aktivitas mereka, setidaknya hingga musim hujan reda.

Namun, jawaban yang mereka dapat hanyalah sunyi yang dingin, diikuti debu dan lumpur yang terus menggerogoti desa mereka.

3 Desember 2024, sebuah langkah formal diambil. Warga melayangkan Surat Pengaduan (Lapdu) ke Polres Lebak, memohon keadilan atas kerusakan yang melumpuhkan jalan hingga sawah. Tapi surat itu menghilang tanpa gema.

Dua minggu berselang, tepatnya pada 16 Desember 2024, mereka kembali mengadu ke Polres, membawa harapan yang lebih besar. Namun, jawaban yang mereka temukan masih sama, sebuah tembok bisu yang tak bergeming.

Aksi yang Meledak dari Hati

Esok harinya, rasa frustrasi yang terpendam pecah seperti bendungan yang tak mampu lagi menahan air. Ribuan warga turun ke lokasi tambang, membawa suara mereka yang selama ini terabaikan.

Dengan tekad yang menggelora, mereka berhasil mengusir alat berat, truk, dan manusia-manusia yang mereka anggap sebagai biang kerusakan atas desanya.

Dalam satu hari, mereka merebut kembali desanya. Namun, kemenangan itu ternyata singkat. Beberapa hari kemudian, tujuh warga menerima surat undangan klarifikasi dari Ditreskrimum Polda Banten.

Tuduhan yang dilayangkan bak lelucon pahit. Pasal 160 dan 170 tentang penghasutan dan pengrusakan dijeratkan hanya karena sebuah ban mobil bekas yang terbakar dan pintu toilet yang rusak saat aksi protes berlangsung.

Baca Juga :  Luncurkan Poliran, Polda Banten Bidik Pengangguran di Lebak

Kerugian itu tentu tidak sebanding dengan luka yang diderita masyarakat. Mulai dari jalan berlumpur, sawah yang tergenang limbah, dan hati yang dirampas oleh tambang yang tak tahu malu.

“Apakah ini harga yang harus kami bayar karena mencintai desa kami?” bisik Apang seorang warga dengan nada sinis.

Warga Mekarsari: Taat Hukum di Tengah Ketidakpastian

Meskipun diliputi ketakutan dan keresahan, tujuh warga Desa Mekarsari yang mendapat undangan pemeriksaan tetap hadir memenuhi panggilan hukum sesuai dengan yang dijadwalkan.

Langkah ini mereka tempuh sebagai bentuk kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum, meski bayang-bayang kriminalisasi terus menghantuinya.

Proses pemeriksaan dimulai dengan Tarmidi Irawan, Ketua RT Kampung Papanggo, dan diikuti oleh Muntadir. Keduanya diperiksa selama hampir tujuh jam.

Sementara Lima warga lainnya yakni Erick, Sutisna, Wati, Melawati, dan Suandi menjalani pemeriksaan secara bergiliran di hari berikutnya.

Solidaritas Masyarakat yang Mengalir

Saat proses pemeriksaan berlangsung, dukungan solidaritas dari berbagai lapisan masyarakat terus mengalir. Organisasi masyarakat, mahasiswa, hingga tokoh masyarakat hadir di membawa semangat perjuangan dan dukungan moral bagi warga Mekarsari.

Namun, kekecewaan warga membuncah terhadap sikap kepala desa mereka, Iwan Sopiana, yang memilih bungkam. Ketika warganya menghadapi ancaman kriminalisasi oleh pengusaha tambang ilegal, sang kepala desa justru tak memberikan pembelaan.

“Kami butuh pemimpin yang berani berdiri bersama masyarakatnya, bukan yang hanya diam melihat kami dihancurkan,” ujar Sardi, salah seorang warga, dengan nada kesal.

Merasa semakin terpojok, warga Mekarsari merencanakan aksi unjuk rasa besar-besaran di Polda Banten pada Senin, 6 Januari 2025. Namun, rencana itu berhasil digagalkan dengan tawaran audiensi yang diajukan pihak berwenang.

Audiensi tersebut dipimpin oleh Wadirkrimum Polda Banten, AKBP Muhammad Fauzan Syahrir, Dalam pertemuan itu, Fauzan menyampaikan pesan yang cukup menyejukkan hati masyarakat.

“Percuma hukum ditegakkan jika negara ini runtuh,” ungkap Fauzan, memberi harapan baru bagi warga yang selama ini merasa dipinggirkan oleh hukum.

Selain mendapat pembelaan dari orang nomor dua di Ditreskrimum Polda Banten. Masyarakat juga digemberikan dengan kabar penyegelan lokasi tambang oleh Dinas ESDM Provinsi Banten dihari yang sama.

Baca Juga :  Antara Anyer atau Anyar, Ternyata Boten Kompak

Dengan hati yang lebih tenang, warga Mekarsari pulang dari audiensi membawa harapan baru. Namun, harapan itu hanya bertahan sekejap.

Beberapa hari kemudian, surat panggilan baru muncul, kali ini untuk enam warga lainnya, yakni Matin, Fajar Arif, Yeye, Irfan, dan Rohman.

Kabar ini menyulut kembali kemarahan warga yang merasa diperlakukan tidak adil.

“Sampai kapan kami akan terus dipanggil? Kami yang melindungi desa justru dihukum, sedangkan pelaku tambang ilegal dibiarkan bebas,” ujar Matin dengan nada kecewa.

Warga Desa Mekarsari kini berada di ambang keputusasaan. Meski berulang kali menunjukkan sikap patuh terhadap hukum, mereka merasa justru menjadi korban dalam permainan yang dianggap berat sebelah.

Mereka marah, kecewa, sekaligus tidak habis pikir dengan situasi ini.

“Jika hukum hanya berpihak pada mereka yang punya kuasa, lalu ke mana lagi kami harus mengadu?” tutur Muntadir dengan mata yang menatap tajam.

Harapan Warga Mekarsari yang Tertunda

Senin 13 Januari 2025, mereka kembali melangkah dengan penuh harap, kali ini menuju Polres Lebak. Tujuannya satu. Yakni menuntut kejelasan atas dua laporan pengaduan yang selama ini seolah terkubur dalam sunyi.

Pertemuan itu, kata orang, hasil dari intervensi Polda Banten. Namun bagi warga Mekarsari, ini lebih dari sekadar audiensi. Ini adalah perjuangan untuk mendapatkan kembali hak mereka, hak untuk didengar, dan hak untuk diperlakukan adil.

Di ruang audiensi, mereka berhadapan dengan sosok baru: AKBP Herfio Zaki, Kapolres Lebak yang baru saja dilantik menggantikan AKBP Suyono.

Dengan senyuman yang mencoba mengikis kegelisahan, Zaki membuka pertemuan dengan permohonan maaf.

“Saya atas nama Polres Lebak memohon maaf atas keterlambatan kami dalam merespon laporan bapak-bapak sekalian. Ini menjadi evaluasi besar bagi kami,” katanya dengan nada rendah, mencoba merangkul hati warga yang sudah terlalu lama diabaikan.

Kata-kata itu, meski terdengar tulus, tak sepenuhnya mampu menghapus luka yang telah mengakar. Bagi warga Mekarsari, kata maaf hanyalah awal. Yang mereka inginkan adalah tindakan nyata. Yaitu keadilan yang selama ini terasa begitu jauh.

Baca Juga :  Terkendala Anggaran, Pemkab Lebak Belum Bisa Perbaiki Jembatan Gantung Nangklak 

Kapolres yang baru menjabat kurang dari sepekan itu kemudian berjanji untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

“Saya akan memastikan laporan ini kami tindaklanjuti dengan serius. Saya ingin Polres Lebak menjadi rumah bagi keadilan, bukan tempat bagi rasa kecewa,” ujarnya, menatap lurus ke arah warga.

Bagi warga Mekarsari, audiensi ini adalah secercah harapan. Namun harapan itu masih menggantung, belum menyentuh tanah, belum berakar dalam keyakinan.

“Kami menghargai permintaan maaf dan janjinya. Tapi apa gunanya kata-kata jika tidak diimbangi tindakan?” ujar Muntadir, seusai pertemuan.

Segel Dibongkar, Harapan Keadilan Warga Kembali Terkoyak

Hujan gerimis yang turun pada selasa pagi, satu hari setelah audiensi, seakan menjadi pertanda baru akan kisah getir yang menanti warga Desa Mekarsari.

Plang segel tambang ilegal, yang sebelumnya dipasang oleh Dinas ESDM Provinsi Banten sebagai respons atas perjuangan warga, ditemukan telah dibongkar oleh orang tak dikenal.

Berita tentang pembongkaran segel menyebar cepat. Dalam waktu singkat, polisi langsung turun tangan untuk melakukan penyelidikan.

Beberapa warga setempat diinterogasi demi mencari petunjuk terkait pelaku pembongkaran. Namun, hampir satu pekan berlalu, bayangan pelaku masih belum juga terungkap.

Kasat Reskrim Polres Lebak, AKP Wahyu Adicahya, melalui pesan WhatsApp menyatakan bahwa kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan.

“Masih dalam proses penyelidikan,” ungkapnya singkat, tanpa memberikan detail lebih lanjut.

Bagi warga Mekarsari, insiden ini adalah tamparan baru di tengah harapan yang baru saja muncul usai audiensi.

“Kami sudah berjuang keras untuk menutup tambang itu. Tapi kenapa hukum selalu lambat saat menyentuh mereka yang punya kuasa?” ujar Apang, salah seorang warga, dengan nada penuh amarah.

Kemarahan ini bukan hanya karena pembongkaran segel, tetapi juga karena lambannya pengungkapan kasus tersebut. Warga merasa, perjuangan mereka untuk mendapatkan keadilan terus-menerus dipatahkan oleh pihak-pihak yang lebih kuat.

Tim Redaksi

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News