SERANG – Fasilitas pelayanan kesehatan di masyarakat adat Kanekes atau yang akrab dengan masyarakat Baduy di Lebak, Banten menjadi sorotan belakangan ini. Hal itu setelah mencuat informasi enam warga Baduy meninggal dunia dalam kurun satu bulan terakhir.
Data terakhir yang diterima BantenNews.co.id, jumlah warga Baduy yang meninggal dunia sebanyak delapan orang. Delapan warga yang meninggal tiga orang di Kampung Cikeusik, dan masing-masing satu orang di Cisadabe, Pamoean, dan Batubeulah. Dua warga lain berasal dari kampung Cibogo dan kampung Cisadane.
Letak geografis dan minimnya fasilitas kesehatan menjadi kendala bagi masyarakat adat teguh memegang tradisi leluhur ini. Kasus warga digigit ular, kematian ibu dan kematian bayi yang masih tinggi, hingga penyakit sistem pernapasan dan sistem pencernaan menjadi fatal ketika akses terhadap fasilitas kesehatan sulit dijangkau.
Keberadaan Puskesmas Cisimeut di Ciboleger tidak mampu melayani masyarakat Baduy yang berpenduduk 11.800 jiwa yang tersebar di 68 perkampungan tersebut.
“Persoalannya terlalu jauh masyarakat selatan kalau ke utara (Cisimeut). Itu yang menyebabkan masyarakat adat Baduy bikin Pustu (Puskesmas Pembantu) di Nangerang, namun 2 tahun terbengkalai akhirnya Jaro Saija kasih (pengelolaannya) ke kami (relawan),” kata Koordinator Sahabat Relawan Indonesia, Arif Kirdiat, Kamis (15/9/2022).
Sejak mengelola pustu di perbatasan Baduy, Arif menyebutkan data angka kematian ibu dan bayi di Baduy cukup tinggi. Angka kematian delapan masyarakat Baduy itu kemudian menyita perhatian Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Serang.
Kemudian relawan bersama tim dokter spesialis mengambil sampel darah untuk uji laboratorium di Rumah Sakit Umum dr. Dradjat Prawiranegara Serang pada Jumat (9/9/2022). Hasilnya suspect campak, TBC dan gejala tipes.
Relawan menilai peran pemerintah baik pusat maupun daerah perlu lebih memperhatikan kondisi pelayanan kesehatan di Baduy. Kurangnya tenaga medis menjadi salah satu kendala. Rekrutmen pemerintah Provinsi Banten untuk tenaga medis di pelosok justru tidak ditempatkan tugas di Baduy.
Relawan berharap untuk pemerintah pusat agar memberikan perhatian khusus terhadap masyarakat adat Baduy. Karakter masyarakat adat yang terpencil seperti Baduy tidak mudah menerima medis. “Makanya butuh treatment khusus,” ujar Arif.
Pemerintah Provinsi Banten juga diharapkan ambil peran untuk mengisi tenaga medis seperti bidan dan perawat yang ditempatkan di Baduy. “Pemerintah Kabupaten Lebak perlu koordinasi lintas sektoral, Baduy itu kan luas 5.500 hektare, itu sudah ada sebenarnya puskesmas-puskesmas di sekitar Baduy, seperti Cirinten, Bojongmanik, Muncang, Sobang, Gunung Kencana, yang jadi masalah warga Baduy diarahkan ke Puskesmas Cisimeut di Ciboleger.”
Selain kendala jarak yang jauh, Puskesmas kerap kali menolak BPJS Kesehatan karena berbeda Fasilitas Kesehatan (Faskes) tingkat 1. “Pasien yang mau melahirkan misalnya, puskesmas lain nggak mau terima kalau (warga Baduy) tidak bayar umum. Makanya banyak (ibu hamil) yang meninggal di jalan karena kejauhan,” ujar Arif.
Belum lagi banyaknya kasus warga Baduy digigit ular. Dalam kurun waktu dua bulan sebanyak 20 warga digigit ular dan dua meninggal dunia menambah panjang permasalahan pelayanan kesehatan di Baduy.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Ati Pramudji Hastuti mendeteksi sejumlah penyakit menular di Permukiman Suku Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Ati memastikan, penyebab kematian enam warga Baduy antara lain mengidap Tuberkulosis (TBC). Ati menuturkan, pihaknya terus melakukan pengobatan dan pemeriksaan untuk mengambil sampel darah ke sejumlah warga Suku Baduy untuk memutus mata rantai penyakit di permukiman suku adat yang berada di Pegunungan Kendeng tersebut.
“Kita masih melakukan pemeriksaan terus karena ada beberapa penyakit termasuk TBC kemudian stunting, kemungkinan malaria, campak rubela ini sedang di dalam menunggu hasil,” katanya.
Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Triatno Supiyono mengaku sudah melakukan kunjungan ke Baduy untuk mendapat informasi dari pihak keluarga mengenai apa saja keluhan yang dialami 6 orang tersebut.
“Hasilnya semua mengalami keluhan panas, batuk, pilek,” kata Pion sapaan akrabnya.
Ia menjelaskan, menurut ramai di pemberitaan bahwa keenam warga Baduy yang meninggal tersebut mengalami penyakit DBD. Tapi dirinya meyakini jika keenam warga yang meninggal bukan karena DBD.
“Saya yakin itu bukan DBD, dan memang belum pernah ditemukan kasus DBD di sana (Baduy). Pertama karena memang kondisi permukiman berada di dataran tinggi yang jarang ditemukan kasusnya, lalu mobilitas orang di sana tidak tinggi seperti di perkotaan,” papar Triatno.
Ia menambahkan, jika tim kesehatan juga telah melakukan pemeriksaan terhadap 6 orang warga Baduy lainnya yang mengalami keluhan yang hampir sama dengan 6 orang yang meninggal.
“Sampel darah sudah dibawa ke Lab, nanti hasilnya akan kami sampaikan ke rekan-rekan,” ujarnya.
(You/San/Red)