Penulis : Fauzi Sanusi, Akademisi Untirta
Di tahun pertama memegang tampuk kekuasaan sebagai Walikota dan Wakil Walikota Cilegon, Helldy Agustian dan Sanuji Pentamarta telah mencatat kegagalan untuk kali pertama. Pasalnya program unggulan menyediakan 25.000 lapangan kerja yang dijanjikan di masa kampanye sangat sulit untuk direalisasi.
Bendera putih telah dikibarkan melalui sebuah usulan perubahan APBD 2021 dimana Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) naik menjadi 12,15% dari target semula di bawah 10%. Padahal jika program itu berhasil, niscaya tingkat pengangguran dapat ditekan.
Seperti biasanya menjelang penghujung tahun, pemerintah mengusulkan perubahan anggaran tahun berjalan. Kali ini alasan perubahan itu karena melesetnya asumsi-asumsi makro saat perencanaan, sebagai akibat pandemi Covid-19 pada pertengahan tahun ini yang semakin mengkhawatirkan karena masuk zona merah.
Bencana kesehatan tersebut telah merubah tatanan sosial termasuk metode kerja Aparatur Sipil Negara (ASN). Mobilitas fisik berkurang digantikan dengan work from home sehingga ada penghematan biaya operasional, pembangunan konstruksi dialihkan pada perencanaan. Intinya sebagian besar anggaran dialihkan (refocusing) untuk penanganan Covid-19.
Pada sisi lain, indikator makro ekonomi seperti Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) terkoreksi cukup signifikan. Semula Pemkot berasumsi bahwa pertumbuhan ekonomi Kota Cilegon tahun 2021 berkisar antara 5,6% sampai dengan 6%. Dengan pertumbuhan tersebut diharapkan TPT dapat ditekan di bawah 10% apalagi dengan janji politik di masa kampanye akan menyediakan lapangan kerja hingga 25.000 atau 5.000 lapangan kerja per tahun. Janji itu sudah dapat dipastikan tidak akan terealisir di tahun ini. Di pertengahan tahun 2021 ini saja jumlah pengangguran sudah lebih dari 25.000 orang. Alih-alih menekan pengangguran, mendatangkan investor saja sulit dilakukan.
Pengangguran dan kemiskinan merupakan indikator kesejahteraan yang tidak bisa dipisahkan. Jika pengangguran naik, maka dalam waktu yang sama kemiskinan akan naik. Tahun 2020 BPS melaporkan kemiskinan Kota Cilegon mencapai 3,69% atau sebanyak 16.310 orang sedangkan asumsi tingkat kemiskinan yang dipakai dalam menyusun APBD 2021 adalah sebesar 2,91%. Sebuah kajian yang perlu dipertanyakan kredibilitasnya. Saya pesimis jika Pemkot dapat menurunkan angka kemiskinan ini menjadi 2,91% mengingat perekonomian masih belum pulih.
Kemudian bagaimana skenario awal Helldy-Sanuji sampai berani menggulirkan program tentang lapangan kerja tersebut. Logika seperti apa yang dibangun untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak itu, sementara semua industri di Cilegon adalah padat modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja karena sudah digantikan oleh teknologi. Seandainya pun ada kajiannya, apakah sudah mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Misalnya pertumbuhan investasi, jenis investasi, kesiapan dan kompetensi pencari kerja, pertambahan angkatan kerja, lembaga-lembaga ekonomi yang terkait dengan penciptaan iklim yang kondusif untuk berusaha sampai dengan kajian estimasi pertumbuhan ekonomi.
Jadi kalau boleh saya menduga-duga, program gagal tersebut memang tidak dirancang secara cermat dan mengabaikan faktor-faktor di atas. Kalau pun pandemi Covid dijadikan alasan utama melesetnya asumsi makro, seorang pemimpin yang ngaku profesional itu mestinya memiliki kemampuan adaptabilitas dan fleksibilitas dalam merespon perubahan. Kemampuan berimprovisasi dan berkreasi mencari jalan alternatif dalam menghindari badai. Bukan dengan cara menurunkan target, tapi melakukan inovasi dengan menyodorkan proposal baru, metode baru dan strategi baru.
Janji sudah terlanjur tercatat dalam jejak digital, sementara rakyat menanti untuk ditunaikan. Tidak elok mencari alibi dengan bernyanyi dan menari poco-poco atau mengumbar kemesraan. Lebih baik menggalang potensi dan memadukan berbagai sumberdaya yang masih berserakan, daripada jumawa dan mengumbar kecurigaan. (*)