Beranda Peristiwa Kebijakan Tanpa Etika Sosial Akibatkan Kerusakan Lingkungan dan Ketimpangan Ekonomi

Kebijakan Tanpa Etika Sosial Akibatkan Kerusakan Lingkungan dan Ketimpangan Ekonomi

Diskusi publik bertajuk “Krisis Lingkungan dalam Perspektif Ekonomi, Sosial, Ekologi, dan Budaya” di Hotel Ambhara, Melawai, Jakarta Selatan pada Rabu (12/2/2025).

SERANG – Paramadina Institute of Ethics and Civilization menggelar diskusi publik bertajuk “Krisis Lingkungan dalam Perspektif Ekonomi, Sosial, Ekologi, dan Budaya” di Hotel Ambhara, Melawai, Jakarta Selatan pada Rabu (12/2/2025). Diskusi ini menghadirkan Guru Besar Universitas Paramadina, Prof. Didin S Damanhuri, Parid Ridwanuddin, MA, dan dimoderatori oleh Alfikalia.

Prof. Didin S. Damanhuri mengingatkan pentingnya etika sosial dalam kehidupan publik dan kebijakan. Menurutnya, kerusakan lingkungan di Indonesia merupakan akibat dari lemahnya penerapan etika sosial dalam kebijakan dan legislasi.

Ia mengungkapkan bahwa selama ini, etika yang lebih ditekankan di Indonesia bersifat personal, bukan sosial. Hal ini berdampak pada kebijakan yang tidak memperhitungkan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat secara luas.

“Kebijakan yang tidak memiliki visi etika sosial berakibat pada kerusakan lingkungan dan ketimpangan ekonomi. Deforestasi dan reklamasi pantai yang marak terjadi di Indonesia adalah contoh nyata dari kebijakan yang kurang berpihak pada lingkungan dan masyarakat kecil, seperti petani dan nelayan,” ujar Prof. Didin.

Ia juga menyoroti dominasi sektor swasta dalam ekonomi Indonesia yang semakin ekstrim, sementara negara yang akhirnya harus menanggung biaya rehabilitasi akibat kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, ia mendorong model pembangunan berbasis UMKM sebagai alternatif yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

“Jika pembangunan ekonomi kita lebih bertumpu pada sektor UMKM, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi akan lebih besar dibandingkan dengan ketergantungan pada konglomerasi swasta besar,” tambahnya.

Sementara itu, Parid Ridwanuddin (Manajer Program Green Faith Indonesia) dalam presentasinya menegaskan bahwa kondisi lingkungan Indonesia telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Ia mengungkapkan bahwa berbagai bencana alam yang terjadi, termasuk banjir dan tanah longsor, merupakan dampak langsung dari degradasi lingkungan akibat aktivitas industri, khususnya di sektor pertambangan.

Baca Juga :  Belasan Kamar Santri di Kopo Kabupaten Serang Terbakar

“Indonesia telah menjadi sumber utama eksploitasi sumber daya alam global, namun dampaknya justru dirasakan oleh masyarakat lokal yang harus mengungsi akibat kerusakan lingkungan,” ungkap Parid.

Ia juga mengkritisi Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai mengabaikan aspek pelestarian lingkungan dengan membatasi partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL hanya kepada kelompok yang terdampak langsung.

Lebih lanjut, Parid mendorong agar kejahatan lingkungan, atau yang ia sebut sebagai ekosida, diakui sebagai kejahatan berat yang harus mendapatkan sanksi hukum yang tegas.

“Ekosida adalah bentuk pemusnahan ekosistem yang dilakukan baik oleh perusahaan maupun pembuat kebijakan. Pelakunya harus diberikan hukuman yang setimpal,” tegasnya.

Dalam konteks perlindungan lingkungan, ia juga menyoroti lemahnya integrasi pendidikan lingkungan dalam sistem pendidikan nasional. “Pendidikan merupakan ruang strategis untuk menanamkan nilai keberlanjutan kepada generasi mendatang. Sayangnya, sistem pendidikan kita belum memiliki orientasi yang kuat terhadap isu lingkungan,” pungkasnya.

Tim Redaksi

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News