SERANG – Menjelang pembacaan pledoi para terdakwa kasus dugaan korupsi hibah ponpes Provinsi Banten tahun 2018 dan 2020 senilai Rp183 miliar. Kuasa hukum Terdakwa Irvan Santoso, Alloys Ferdinand angkat bicara.
Ferdinand Alloys berharap, agar Jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Banten lebih objektif melihat fakta persidangan terkait pemberian hibah pondok pesantren.
“Dari fakta yang terungkap di persidangan, berkaitan dengan penempatan Pasal 2 dan 3 terhadap terdakwa 1 (Irvan Santoso) dan 2 (Toton Suriawinata) tidak bisa terbukti. Karena tidak ada kewenangan yang diperbuat oleh terdakwa 1 dan 2 yang melawan hukum,” tuturnya, Kamis (30/12/2021).
Menurut Alloys, terkait hibah pondok pesantren tahun 2018, kedua terdakwa tidak memenuhi unsur kesalahan melanggar hukum. Hal itu dapat dibuktikan dengan surat rekomendasi yang diberikan tanggal 22 November 2017.
Dalam surat tersebut, mencantumkan nama Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) dalam program pemberdayaan pesantren. “itu sebenarnya sudah lewat waktu dan tidak masuk lagi dalam penyusunan anggaran,” tuturnya.
Pihaknya juga menemukan beberapa kejanggalan, diantaranya sudah terbitnya nota anggaran sebelum FSPP mengajukan proposal. “Dan yang menjadi pertanyaan, sebelum tanggal 22 itu, ternyata anggaran yang berkaitan dengan pemberdayaan pondok pesantren itu sudah ada di nota anggarannya. Jadi kita juga tidak tahu itu datang dari mana. Yang pasti, sebelum FSPP mengajukan proposal, nota anggaran itu sudah ada,” jelasnya.
Sedangkan terkait hibah pondok pesantren tahun 2020, Alloy mengatakan, pemohon hibah itu bukan pondok pesantren melainkan FSPP. Sedangkan FSPP belum memberikan laporan pertanggungjawaban hibah tahun 2018.
“Nah 2020 pemohon hibahnya bukan pondok pesantren melainkan FSPP. Hal itu tidak bisa dilakukan jika belum memberikan laporan pertanggungjawaban hibah tahun 2018,” katanya.
Selain itu ia juga menyebut kehadiran FSPP bertentangan dengan Pergub Banten nomor 10 dan 15 yang menyebutkan pemberian bansos langsung ke pengguna, dalam hal ini pondok pesantren, bukan FSPP sebagai perantara.
Alloy menambahkan, pada tahun 2020 ada peraturan baru. Di mana para calon penerima diharuskan mendaftarkan diri terlebih dahulu sebagai penerima hibah melalui e-hibah Bansos.
“Oleh karena itu Birokesra memberikan rekomendasi, hingga akhirnya melakukan telaah hokum terkait penerima hibah. Dari telaah ini, yang bisa diberikan hibah hanya organisasi mandatori, seperti MUI dan Baznas,” paparnya.
Ia menjelaskan, jika FSPP bukan termasuk organisasi mandatori, jadi sampai detik terakhir tidak dapat diberikan. Namun dalam nota dinas Biro Kesra kepada Gubernur Banten disalah artikan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
“Dalam nota itu ada kalimat dapat diberikan rekomendasi. Yang disalah artikan TAPD sebagai rekomendasi. Padahal jika itu dijadikan rekomendasi itu melanggar Pergub Banten nomor 10,” tuturnya.
Berkaitan dengan kerugian negara Rp65 miliar lebih yang diakibatkan oleh rekomendasi Irvan Santoso dianggap tidak tepat. Sebab, ada mekanisme penganggaran yang berjalan di eksekutif dan legislatif.
“Berdasarkan surat dakwaan yang menjerat Irvan Santoso dapat disimpulkan bahwa atas rekomendasi yang dikeluarkan terdakwa maka timbulah suatu kerugian negara tanpa menguraikan apakah rekomendasi tersebut bersifat final untuk dapat dianggarkan,” tutur Alloys.
Diketahui sebelumya, terdakwa di kasus hibah pondok pesantren Irvan Santoso mengajukan nota keberatan atas dakwaan jaksa. Jaksa dinilai tidak cermat dan tidak lengkap dalam menyusun dakwaan khususnya soal tanggung jawab Sekda Banten dan mempertanyakan kenapa mereka tidak menjerat Forum Pondok Pesantren (FSPP) sebagai penerima dan penyalur hibah.
Kuasa hukum terdakwa, Alloys Ferdinand mengatakan mengacu pada Pergub Banten 49 tahun 2017 dan Pergub 10 tahun 2019 bahwa hibah pondok pesantren adalah tanggung jawab Sekda. Di aturan-aturan itu tertuang pedoman hibah yang bersumber dari APBD Banten dan tanggung jawab Sekda.
“Maka Sekda Provinsi Banten merupakan pihak yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukum sehubungan dengan kegiatan pemberian bantuan dana hibah uang pondok pesantren tahun 2018 dan 2020 yang diduga merugikan negara,” kata Alloys.
Mereka juga keberatan kenapa Jaksa tidak memasukkan FSPP sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas penerimaan dana hibah ponpes tahun 2018. Padahal, katanya organisasi ini sering disebut-sebut jaksa di dakwaan sebagai bukan pesantren tapi ormas yang menerima hibah dan menyalurkan ke pondok pesantren.
“JPU tidak berani untuk memasukkan FSPP Banten sebagai pihak yang dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum, meskipun JPU telah menguraikan secara rinci dan jelas dana hibah ponpes diterima FSPP melalui rekening atas nama FSPP senilai Rp 66,2 miliar,” ujarnya.
Maka katanya, dengan tidak dimasukkannya FSPP sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kerugian negara maka dakwaan jaksa bisa dinilai sebagai dakwaan yang tidak lengkap.
Hingga berita ini diturunkan, wartawan masih berupaya menghubungi pihak FSPP. (You/Red)