Esai Otobiografis Sulaiman Djaya (pemerhati budaya di Kubah Budaya)
TIAP orang memiliki ‘pemaknaan’ versi mereka masing-masing tentang kampung halaman atau tanah kelahiran. Dan itu pun berlaku bagi saya yang juga memiliki pemahaman dan pemaknaan tersendiri tentang apa itu ‘dunia tempat saya hidup dengan kenangan dan ingatan saya sebagai seorang lelaki.
Kampung halaman bagi saya tak sekadar ruang meja baca di mana saya menyendiri, menulis, dan membaca, atau sebuah “rumah” tempat saya tidur dan makan. Lebih dari itu, kampung halaman atau tanah kelahiran bagi saya adalah ingatan dan kenangan, yang kemudian mengajari saya bahwa alam adalah juga bahasa.
Kampung halaman atau tanah kelahiran saya menyatu dengan batin saya, karena saya mengalami “kepedihan” dalam kesahajaan dan keterbatasan kami sebagai orang-orang desa yang sederhana.
Sebagai manusia-manusia yang akrab dengan apa yang hanya diberikan oleh alam yang belum disentuh oleh kecanggihan teknologi dan perangkat-perangkat informasi mutakhir ketika itu. Dari alam itulah saya belajar metafora dan keluguan, kesahajaan dan keindahan, yang memberi saya kata dan diksi.
Di belakang rumah, setidak-tidaknya saat saya masih kanak-kanak, dalam jarak beberapa meter melewati pematang-pematang sawah, mengalir sungai Ciujung yang di tepiannya berbaris pepohonan dan tanaman-tanaman lainnya.
Sementara di depan rumah, mengalir sungai irigasi, sungai yang dibuat demi mengalirkan limpahan air sungai Ciujung untuk mengairi sawah-sawah di zaman kolonial Hindia Belanda, dan kemudian diteruskan perawatan dan perbaikannya di zaman Orde Baru hingga saat ini.
Dua sungai tersebut merupakan “kehidupan” kami yang bekerja dan menggantungkan kebutuhan kesehariannya dari bertani.
Dari dua sungai itulah kami mengairi sawah-sawah kami, selain tentu saja dari anugerah hujan di musim hujan. Bersama dua sungai dan sawah-sawah di sekitarnya itulah saya akrab dan hidup bersama mereka. Bersama senja, langit, cakrawala dan makhluk-makhluk bersayap yang beterbangan di keriangan dan kegembiraan udaranya.
Sebelum kehadiran tiang-tiang beton dan baja seperti saat ini untuk menyalurkan kabel-kabel listrik di setiap kampung, jalan di depan rumah begitu sepi bila magrib tiba, lebih mirip terowongan gelap karena barisan pohon-pohon lebat yang tumbuh kokoh dan rimbun di tepi sungai dan sepanjang jalannya.
Kebetulan keluarga saya memiliki tanah yang cukup luas untuk menanam Rosella, atau tanaman apa saja yang dapat dijadikan komoditas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bila panen tiba, ibu saya akan menggoreng biji-biji Rosella tersebut dan anak-anaknya (termasuk saya) akan membantu menumbuknya hingga menjadi bubuk kopi yang kami kemas dalam plastik-plastik mungil yang kami beli dari pasar.
Bila kami selesai mengemas bubuk Rosella tersebut, ibu saya lah yang akan menjajakannya alias menjualnya, kadangkala ada saja orang-orang yang datang sendiri ke rumah untuk membelinya.
Seingat saya, selain menanam Rosella, keluarga kami juga menanam kacang panjang. Dari hasil penjualan bubuk kopi Rosella dan kacang panjang itulah keluarga kami memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari kami dan membiayai sekolah kami.
Saya, misalnya, bisa membeli buku tulis atau buku-buku yang diwajibkan di sekolah. Singkatnya, kami hidup dari hasil mengolah tanah dan menjual komoditas yang dihidupkan oleh tanah dan alam, sebab ketika itu belum ada sejumlah pabrik seperti sekarang.
Saya juga masih ingat ketika ibu saya membuat sambal dari kulit buah Rosella yang berwarna merah itu agar sambal yang dibuat ibu cukup untuk semua anggota keluarga, sebab cabe rawit yang kami tanam tidak sebanyak seperti kami menanam singkong, ubi jalar, kacang panjang, dan Rosella.
Di saat saya sudah kuat memegang cangkul, kalau tak salah ketika saya telah duduk di sekolah menengah pertama, sesekali saya lah yang mengolah tanah dan membuat gundukan batang-batang pematang di mana kami menanam kacang dan Rosella.
Tak jarang saya juga yang menyiraminya di waktu sore hari.
Itu adalah masa-masa di tahun 1980-an ketika kami menggunakan batang-batang kayu kering untuk menyalakan dapur dan memasak. Sebab kami hanya mampu membeli minyak tanah cuma untuk bahan bakar lampu-lampu damar kami.
Selepas magrib, saya akan membawa salah-satu damar (lampu minyak) tersebut ke langgar atau ke rumah seorang ustadz kami untuk belajar membaca dan mengeja Al-Qur’an. Itu saya lakukan setelah ibu saya sendiri yang mengajari saya tentang beberapa doa penting dan mengenalkan huruf-huruf hijaiyyah dan mengajarkan saya membaca dan mengeja Al-Qur’an sebelum saya duduk di sekolah dasar yang kebetulan ada di depan rumah.
Selain itu, ibu saya juga mengajarkan saya beberapa selawat-selawat pendek.
Aktivitas lain yang saya lakukan adalah menunggui padi-padi dari serbuan para burung di sore hari selepas sekolah, di saat biji-biji padi itu mulai menguning. Seingat saya, saya suka sekali duduk (mungkin dari situlah saya terbiasa merenung dalam kesendirian) di dekat serimbun pohon bambu yang tumbuh rindang dan asri di dekat sawah. Saya juga menarik ujung tali yang saya pegang, beberapa meter tali yang ujung lainnya yang terikat ke orang-orangan sawah yang dibuat oleh ibu saya. Kami menyebut orang-orangan sawah dari jerami, bilahan-bilahan bambu, dan kain-kain bekas itu, dengan nama jejodog.
Demikian, dalam rekonstruksi saya saat ini, ingatan dan kenangan saya tentang kampung halaman atau tanah kelahiran saya, membathin dan menyatu dengan saya di saat-saat saya merenung dalam kesendirian di saat saya duduk di serimbun bambu tersebut.
Dalam kesendirian itulah, sesekali saya suka sekali mengarahkan pandangan mata saya ke arah langit senja. Ke arah burung-burung yang beterbangan bersama hembus udara sore hari, udara yang juga menggerakkan pepohonan bambu di mana saya berada demi menjalankan perintah ibu saya sebagai seorang anak.
Dan bila masa panen tiba, saya pun akan membantu ibu saya memotong batang-batang padi dengan alat pemotong yang mirip celurit kecil yang kami sebut arit. Dengan demikian, kehidupan masa kanak dan masa remaja saya telah sedemikian akrab dengan langit dan sawah-sawah.
Tak hanya itu saja yang membuat saya tanpa sengaja begitu terikat dengan kampung halaman dan tanah kelahiran saya. Barangkali yang dapat dikatakan sebagai “kepedihan” pertama saya adalah ketika adik perempuan yang bermata indah dan berwajah cantik meninggal karena demam.
Seingat saya, saya menangis di belakang rumah karena peristiwa tersebut. Mungkin kesedihan saya adalah karena ia adalah orang yang pertama yang begitu dekat dan akrab dengan saya, yang senantiasa bersama saya dan senantiasa menangis bila saya tinggalkan.
Dengan sedikit paparan itu, kampung halaman dan tanah kelahiran bagi saya adalah tempat di mana saya menyimpan sebuah cerita dan pengalaman “kepedihan” saya bersamanya. Ia adalah sebuah konteks dan tempat di mana ingatan dan kenangan saya berada dalam ketakhadirannya di waktu sekarang.
Ia adalah sebuah bingkai dan kanvas yang belum digambar, yang hanya bisa saya rekonstruksi saat ini ketika saya mulai belajar untuk menarasikannya dalam sekian fiksi, dalam sejumlah puisi-puisi yang saya tulis.
Ingatan dan kenangan itu memang tak ubahnya hanya upaya untuk “merekonstruksi” sebuah peristiwa dan konteks yang sebenarnya sudah tidak ada, namun jejak batinnya masih senantiasa ada ketika saya berusaha merekonstruksinya demi sebuah fiksi –demi sejumlah puisi yang saya tulis.
Singkat kata, kampung halaman atau tanah kelahiran adalah sebuah “historiografi personal” sekaligus sebuah fiksi yang membuat saya begitu terikat dengannya. Ia adalah latar dominan yang membentuk relung batin saya karena di sanalah saya pernah mengalami “kepedihan” saya. (Red)