SERANG – Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berbagi pengalaman dalam menangani konflik dalam webinar Memperkokoh Jembatan Kebangsaan: Belajar Mediasi Konflik dari Pengalaman Jusuf Kalla.
“Soal mediasi, yang pertama diatas undang-undang ada keadilan. Maka solusinya adalah carilah keadilan, keadilannya harus dihitung, yang adil bagaimana. Inti pertama kita harus adil,” ungkapnya dalam dalam acara yang digelar Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina dan Universitas Paramadina tersebut.
“Mediasi artinya orang tengah. Jadi artinya kita bicara tentang bagaimana menjadi orang di tengah pada saat ada konflik. Ini suatu hal yang penting, karena apabila tidak ada orang di tengah bisa terjadi konflik besar-besaran,” kata JK melalui keterangan tertulis, Senin (23/8/2021).
“Syarat pertama kalau anda ingin menjadi mediator, ialah mengetahui masalahnya dengan detail sekali. Harus mengetahui masalah kedua pihak mengerti perasaan kedua pihak” katanya.
JK juga menyatakan bahwa mediator harus betul-betul independen. “Kalau berpihak akan terjadi kehilangan trust. karena salah satu cara orang berhasil dilakukan kompromi atau penyelesaian konflik apabila mediasi mempunyai trust dari kedua belah pihak,” ucapnya.
Namun, lanjut JK menjadi orang di tengah dan dipercayai juga punya risiko. “Waktu peristiwa poso saya menangani poso tapi ada satu kelompok yang tidak senang. Dia bom kantor saya dan mal saya di Makassar 3 orang meninggal, kalau saya ada mungkin juga kena,” ungkapnya.
Menurut JK dengan diawali niat baik, tidak boleh takut kemudian akan menimbulkan respect dan trust. “Anda tidak perlu terlalu berani, cuma jangan penakut,” terangnya.
Ini untuk menimbulkan bahwa jangan anda pernah merasa ragu, mediasi harus independen, jangan ragu, harus berpengetahuan, harus tidak berpihak walaupun ada resikonya, tentu harus menjamin personal relations antara mereka-mereka.
Menjawab pertanyaan mengapa sering mendamaikan pihak berkonflik JK menjawab bahwa di dalam agama hal itu mendapat pahala yang paling tinggi.
“Kalau tidak kita damaikan seperti di Aceh bisa puluhan ribu orang korban, Ambon 1.500-an korban per tahun. Itu yang kita selamatkan. Selain sebagai mendamaikan bangsa, dari sisi agama ini pahalanya tinggi,” katanya.
Menyinggung aktivitasnya dalam resolusi konflik tingkat internasional seperti Afganistan, Thailand, Srilanka, Israel, JK menyatakan dalam mukadimah UUD, Indonesia ikut melaksanakan perdamaian dunia.
“Jadi kalau kita tidak ikut serta dalam melaksanakan perdamaian dunia berarti kita tidak melaksanakan UUD,” jelasnya.
Rektor Universitas Paramadina menyatakan apresiasinya kepada JK. ”Belasan gelar Honoris Causa dari seluruh dunia merupakan penghargaan terhadap apa yang dilakukan terkait conflict resolution, pemikiran yang dijalankan dan bukti-bukti yang sudah disampaikan,” ujarnya.
Didik juga menceritakan pengalaman pribadi mengikuti JK bertemu dengan ahli-ahli conflict resolution dunia saat Aceh sedang dalam proses pemilu lokal. JK selalu memiliki solusi atas setiap persoalan.
“Saya melihat apa yang dilakukan pak JK ini perlu digali, dan saya menganggap penggalian secara akademik dan ilmiah baru 20-30%, dan perlu di dokumentasikan.untuk langkah-langkah selanjutnya agar berguna bagi bangsa dan negara,” katanya.
Ketua PUSAD Paramadina, Ihsan Ali Fauzi menyoroti ketika reformasi 1998 berlangsung dan diikuti oleh konflik-konflik kekerasan seperti di Ambon dan Poso.
“Alhamdulillah konflik-konflik diatas berhasil diatasi. Pak JK banyak jasanya disana dan Indonesia survive sampai sekarang” katanya.
Ihsan mengatakan meskipun hubungan diantara berbagai kelompok agama dan kepercayaan di Indonesia relatif lebih baik, gesekan masih sering terjadi dan kadang menimbulkan kekerasan.
“Ini tidak saja mengganggu harmoni sosial tetapi juga reputasi internasional kita sebagai bangsa indonesia sebagai bangsa muslim terbesar dunia tetapi at the same time juga demokratis,” kata Ihsan.
Walikota Bogor, Bima Arya Sugiarto menceritakan seringkali hal yang mendistorsi upaya menangani suatu konflik datang dari struktur formal tatanan kenegaraan.
“Ini membuat kami geregetan. 2 tahun lalu konflik itu sudah mendekati penyelesaian, tetapi ketika ada intervensi kekuasaan dengan pendekatan kaku, birokratik menjadi buyar kembali,”
Bima menyatakan apresiasinya atas efektifitas pak JK dalam menyelesaikan banyak persoalan. “Mungkin bukan saja hanya credentials dari pak JK tapi struktur yang pak JK gengam nyaris sempurna. Artinya pak JK bisa memobilisasi semua.”
Namun, kata Bima di wilayah sering kali punya keterbatasan. “Ketika pemerintah kota bergerak, terus bisa di tutup dengan struktur lain yang mungkin bergeraknya berbeda. Catatan konflik di daerah seperti itu bagaimana koordinasi lokal, provinsi dan nasional seringkali tidak seiring dan searah,” katanya.
Sandra Hamid, Country Representative The Asia Foundation menyatakan bahwa mediasi adalah seni untuk mencapai apa yang mungkin dicapai oleh kedua pihak, tetapi pasti tidak sempurna .
“Mediasi pada dasarnya kerja-kerja politik dalam arti mengenali insentif dan disintensif dari para pihak. Untuk apa, agar mereka mau duduk dan mau mempertimbangkan tawaran-tawaran yang dibicarakan dalam proses mediasi,” katanya.
Komisioner Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara, menyatakan bahwa Komnas HAM memiliki mandat untuk melakukan mediasi sebagai salah satu strategi dalam pemenuhan HAM.
Menyinggung soal mediasi Beka menyatakan Komnas HAM harus menggunakan 2 pendekatan utama yaitu pendekatan hak konstitusional dan pendekatan hak asasi manusia.
“Dua hal yang bisa sangat berbeda namun juga sangat terkait, karena bertemu pada satu titik yang namanya kesetaraan warga negara,” katanya.
Sana Jaffrey – Institute for Policy Analysis of Conflict, IPAC, menyatakan bahwa warisan JK dalam resolusi konflik sangat besar. “Karena mediasi dan resolusi konflik oleh pak JK kami semua bisa hidup damai dan skenario bahwa Indonesia akan Break Up tidak terjadi. Indonesia bersatu dan kita hidup damai,” ujarnya.
Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, Dr. Shiskha Prabawaningtyas menyatakan bahwa JK menjadi inspirasi dunia dalam penanganan konflik.
Shiska menceritakan Tahun 2009 Universitas Paramadina membantu program summer course Harvard University diikuti oleh 20 mahasiswa Amerika, yang ingin belajar tentang peace building di Aceh.
“Waktu itu kita sama-sama diskusi dengan Pak JK dan teman-teman mahasiswa Amerika sangat terkesan dengan kompleksitas konflik ada konteks tsunami ada insentif tapi kemudian ini menjadi succes story,” katanya.
(Red)