SERANG– Menjelang kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) khususnya di Kota Serang, beberapa politikus tampak berbondong-bondong mulai memperlihatkan niatnya memimpin ibukota Banten. Hal tersebut terlihat dari menjamurnya baliho bakal calon walikota di tiap sudut kota.
Beberapa baliho bahkan sudah mencantumkan program apa saja yang diusung politisi tersebut sampai variasi foto menggunakan sentuhan Artificial Intelligence (AI). Program yang diusung serta gaya baliho dan tone warna bahkan terlihat serupa dengan gaya baliho pasangan calon presiden terpilih pada Pilpres sebelumnya Prabowo Gibran.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sekaligus pengamat kebijakan publik, Leo Agustino mengatakan dalam politik tidak ada hal yang kebetulan. Seluruh gerak-gerik maupun bentuk kampanye seorang politikus pasti sudah dirancang.
Setiap tim sukses para politikus menurut Leo pastilah sudah memetakan apa saja yang jadi keunggulan serta kekurangan calon peserta pilkada tersebut. Memang kerap terjadi gaya kampanye yang sudah jadi trending kemudian dijiplak oleh politikus lainnya karena dianggap berhasil menarik atensi publik.
Hal itu malah mempertontonkan ketidakkreatifan para calon yang malah mereplikasi gaya-gaya kampanya pada Pilpres lalu. Para bakal calon dinilai ingin mendapatkan rembesan politik yang sama.
“Selain ke tidak inovatifan dia (para bacalon) ingin mendapatkan insentif politik dengan menggunakan tagline tertentu kemudian ada Ai yang enggak menyerupai dia secara utuh gitu ya. bagi calon calon di level daerah yang kemudian bisa mendapatkan apa ya insentif politik atau rembesan rembesan politik dengan cara mengikuti cara pemenang,” Kata Leo kepada Bantennews saat ditemui di ruangannya di gedung FISIP Untirta.
Leo kemudian juga menyoroti bahasa populisme dengan iming-iming mensejahterakan rakyat. Para bacalon berlomba-lomba menarik suara dukungan masyarakat yang merasa tidak didengar dengan menjanjikan program-progam yang ‘tidak realistis’ dengan anggaran daerah Kota Serang.
Para bacalon seperti itu hanya menjanjikan hal-hal yang tidak terukur dengan mencontek dari masa lalu. Dari populisme, Leo mengaku khawatir malah menjadi Fatalisme sebab daya kritis berpikir tidak digunakan karena tidak ada pihak penutut yang efektif dalam menagih janji populisme tadi.
“Dia (para bacalon) ingin mendapatkam suara dari pemilih sebetulnya dengan menjanjikan bulan bintang (hal-hal Populis) tetapi sebagai seorang akademisi sih saya justru mengajak para pemilih untuk tidak memilih orang yang kemudian mengumbar janji-janji yang tidak terukur,” ujar Leo.
Hal tidak terukur yang dimaksud Leo adalah janji-janji kerja yang dalam pelaksanaanya dapat membuat anggaran daerah membengkak. Sebab porsi anggaran daerah sudah dikunci beberapa persen untuk tiap bidang prioritas seperti pendidikan dan kesehatan sehingga akan membahayakan apabila memecah anggaran itu untuk program baru yang sifatnya populis.
“Nah kalau misal dia menjanjikan bulan bintang yang kemudian sebetulnya tidak terukur secara baik maka bisa kita asumsikan jangan jangan program-program atau kegiatan lainnya (janji bacalon lainnya) pun itu gak terukur jadi dia hanya ingin mendapatkan intensif politik dari jargon itu dari tawaran itu sementara di sisi lain dia sendiri gatau sumber keuangannya dari mana. Inikan berbahaya kita punya pemimpin yang hanya mengumbar janji tanpa kemudian mempersiapkan segala sesuatunya secara terukur,” imbuhnya.
(Dra/red)