Beranda Opini Jajan Baliho dan Kemajuan Desa

Jajan Baliho dan Kemajuan Desa

Jajan Baliho dan Kemajuan Desa
Oleh: Atif N Natadisastra

Musim politik yang ditandai jajan baliho sudah dimulai lagi. Rasanya baru saja perempatan-perempatan di jalan non arteri dibersihkan dari sampah visual. Kini jalanan sudah sesak berhimpit jualan wajah politisi mengumumkan diri unjuk siap berkompetisi dalam ajang pemilihan kepala daerah. Ya sekarang sudah mulai hangat. Tidak masalah sih memajang wajah untuk dongkrak diri, itung-itung sebagai “test the water” atau sebagai ajang mengkatrol bargaining position politik. Bisa pula sekedar memasarkan diri pada posisi “level atas” agar dilirik jadi wakil. Ah bisa bermacam lah alasannya.

Dari puluhan yang dipajang itu pilihan kata di semua jajanan baliho menyampaikan pesan-pesan “ketidaksadaran kolektif.” Kata-kata itu dipilih, ditimbang secara khusus, karena dengan kata itu akan jadi pesona mujarab menarik simpati orang yang melihatnya. Saya pun terkena sihir kemujaraban kata-kata di baliho-baliho. Buktinya saya menulis tentang ini. Ada baliho yang memilih kata “sukseskan dua periode”, ada yang memilih kata “Membangun Banten”, “Banten Maju” dan macam-macam lagi lah. Tapi paling banyak memasang foto diri editan dan nama saja, lengkap dengan gelar Haji dan gelar akademik.

Baliho model ini jelas gaya lama tapi efektif untuk berkenalan ke publik sekaligus tes ombak: direspon calon pendukung atau tidak. Atau malah jangan-jangan mereka memang belum punya thread untuk dibranding, baru jual keberanian saja. Soal jual konsep belakanganlah. Toh publik pemilih sekarang ini belum tentu memilih karena konsep. Analisa di pileg dan pilpres kemarin, pemilih lebih tertarik dengan logistik politik kok daripada konsep. Ini pilihan kata yang sudah diperhalus. Kalau saya memilih menulis “pemilih lebih dipengaruhi oleh money politics” rasanya terlalu mendeskriditkan suara rakyat.

Tetapi ini bukan persoalan suara rakyat dan motif dorongan mereka saat memilih. Karena apapun yang menjadi motivasi, peran sakti “suara rakyat” akan berakhir begitu bilik suara dibongkar dan kotak suara ditumpuk di Gudang KPU. Suara rakyat menjelma menjadi angka, number, prosentase. Persoalan datang dari ketidaksadaran kolektif yang terletak pada kualifikasi politisi yang menyatakan diri layak memimpin daerah, memimpin jutaan orang. Mereka menyatakan layak menjadi calon kepala daerah, tetapi tidak sadar, lupa menyampaikan dalam kapasitas apa mereka mengklaim diri layak. Yang sudah satu periode menyatakan layak untuk dua periode? Belum tentu, itu baru jualan bahasa karena sejatinya pesan dari kata seperti itu adalah: saya mau menjabat dua kali, tolong pilih saya. Ini belum menjual kapasitas seperti apa yang hendak diusung. Ini masih jualan kecap politik.

Tetapi, ada yang menarik juga, jajan baliho dengan pilihan kata “Banten Maju”. Pilihan kata ini singkat dan sakti: Maju ke mana? Banten tidak akan bisa menyaingi Jakarta, atau, mau menyalip Jawa Barat? Boleh. Dalam skala pemerintahan, antar provinsi memang bisa adu agregat ekosospol dan statistik capaian pembangunan. Jangan dilupakan, meskipun Banten provinsi berusia remaja, rilis BPS national sering menempatkan Banten sebagai 5 besar terbaik. Maka bertanya lagi: Maju seperti apa yang hendak digarap?

Sebentar, kita mesti memberikan apresiasi dulu pada Baliho dengan pilihan kata sederhana tapi sakti ini. Emang sih itu diksi yang utopis, tetapi bisa juga kok realistis, dengan catatan sanggup mem-breakdown-kan kata Maju untuk Banten. Jika arah Maju berarti menjadikan Banten sebagai daerah-daerah inkubasi menuju daerah metropolit, Banten akan terseok dengan Pandeglang, Lebak, Kabupaten Serang, bahkan Kota Serang, Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang. Baru Tangerang Kota dan Cilegon yang siap yah. Jika hendak memajukan Pendidikan Banten, itu masih sektoral. Pendidikan Banten memang perlu disentuh terus agar ada pemerataan kualitas. Tapi jangan dilupakan, Banten sudah memupuk dana pendidikan pertahun 1 triliun sekian ratus miliar tapi selalu menghasilkan kasus-kasus korupsi dari aneka pengadaan. Jika memajukan Kesehatan orang Banten, ini pun masih sektoral. Memang puskesmas-puskesmas di Banten perlu dipermak abis agar menjelma sebagai pusat-pusat kesehatan yang prima: prima pelayanan, prima fasilitas, prima mentalitasnya pula. Bukankah saat ini Banten lebih asyik dengan mega-megaproyek kesehatan yang sebenarnya sulit dijangkau masyarakat karena berkelindan dengan bisnis sektor kesehatan dan proyek pesanan negara. Hitung ada berapa rumah sakit yang lagi dibangun seantero Banten. Secara faktual masyarakat lebih membutuhkan puskesmas-puskemas yang prima, prima dalam segala hal. Ubah image fasilitas ini-lah, puskesmas itu bukan tempat berkumpulnya orang-orang kamseupay yang sakit. Puskesmas itu pusat bagi kesehatan Masyarakat.

Memajukan Banten dari segi pertanian, daya saing angkatan kerja, pariwisata, perikanan, hasil laut dan sebagainya. Itu semua bersifat sektoral. Jadi Banten perlu memajukan apa? Kita perlu memajukan orang-orang Banten. Memajukan paradigmanya agar orang Banten tidak dijadikan sekadar market, konsumen, agar kualitas orang Banten berkaliber internasional sebagaimana abad 16 dahulu: Banten hub perniagaan internasional. Untuk memajukan orang Banten, rumahnya perlu ditata. Rumah terbesar orang-orang Banten adalah Desa.

Untuk memajukan Banten dimulai dari memajukan desa-desa di Banten. Cek negeri sebelah, Tiongkok punya konsep one village one product, artinya setiap satu desa ada kekhasan produk. Bayangkan satu desa menjelma menjadi produsen. Sebenarnya sih beberapa desa di berbagai provinsi Indonesia juga telah lama punya konsep itu. Sebagian desa di Banten juga sudah punya. Misalnya saja kita bicara golok, sudah mahfum kita akan menyebut sebuah desa di Kecamatan Petir yang seluruh penduduknya menjadi produsen golok.

Kebanyakan demografi desa-desa Banten menyuplai tenaga kerja ke kota. Kini angkatan kerja petani mengalami laps, hanya diisi orang-orang usia lanjut. Boom generasi emas di Banten akan menjadi beban tanpa jumlah produsen-produsen yang sanggup menyerap sebagai penyedia lapangan kerja. Sementara itu persoalan sosiologis dan politis desa-desa Banten serupa dengan desa-desa di Jawa: tersandera tuah kepala desa. Maka gelontoran duit miliaran pertahun satu desa, belum menjadi triger untuk men-develop orang desa. Rasio kebijakan ADD adalah menjadi leverage desa. Tata kelola ADD itu perlu menjadi keresahan bersama, bukan PR orang-orang di balai desa. Semua warga desa wajib melek kepoin ADD. Apalagi akibat residu pilkades, tidak menutup kemungkinan pula kepala desa yang menjadi “momok” sehingga jadi persoalan leadership pedesaan, investasi desa, pertumbuhan BUMDes rendah dan sebagainya. Kepala desa akan sibuk mengembalikan modal politik mereka daripada mereka me-manage desanya.

Melihat seabreg persoalan desa-desa, memajukan desa di Banten adalah suatu keharusan jika Banten hendak mengklaim sebagai Banten Maju. Tangerang kota dan Serang kota itupun diinisiasi dari desa-desa kok. Desa yang sedang menghadapi problema urban. Masyarakat desa yang mendadak menjadi kota. Atau kota yang masih dikepung atribut sosiologis desa-desa.

Semoga semakin banyak Baliho yang menjual konsep, mengajak masyarakat Banten untuk Maju, bukan semata mengajak orang Banten agar memberi kursi jabatan lagi, bukan mengajak orang Banten untuk mempertahankan faksi politik, grup politik dan ah apalagi yah. Semoga yang bikin baliho itu juga sanggup mem-breakdown-kan gagasan “Desa Maju-Banten Maju” (*)

Penulis adalah Direktur Masyarakat Belajar Foundation dan Akademisi.

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News