Beranda Opini Isu Lingkungan yang Luput dalam Debat Pilkada Banten

Isu Lingkungan yang Luput dalam Debat Pilkada Banten

Sungai Ciujung menghitam. (Istimewa)

Oleh: Sulaiman Djaya                                   Pemerhati Sosial Kebudayaan

Sungai terpanjang dan terbesar di Banten, Ciujung, belum juga pulih dari limbah dan pencemaran, hingga sungai itu menghitam dan menyebarkan bau busuk menyengat. Padahal, sungai Ciujung adalah aset masa depan Banten, entah nantinya bisa digunakan untuk apa pun, selain untuk pertanian dan aktivitas para nelayan. Jika benar sungai itu telah menjelma racun, maka sudah tentu akan meracuni segala yang dilintasi dan disentuhnya.

Entah kenapa pula, isu lingkungan luput pula dalam materi debat Pilkada Banten 2024. Padahal lingkungan dan bumi adalah tempat kita berada dan penentu kesehatan kita. Bila lingkungan tempat kita berada rusak dan beracun, maka yang akan teracuni adalah kita pula. Bila masalah ini tidak masuk prioritas visi politik dan program kerja para kandidat, sudah pasti mereka terkategorikan sebagai orang jahil yang tertinggal.

Masalah lingkungan sesungguhnya merupakan masalah utama dan keprihatinan bersama, baik bagi negara-negara maju yang sungai-sungainya relatif bersih dan tidak tercemar, dan juga bagi negara-negara yang belum masuk kategori maju. Mereka yang sadar betapa utamanya kesehatan lingkungan bagi kesehatan kehidupan manusia, bisa memaksa para pelaku dan pemilik industri agar menerapkan industri yang ramah lingkungan, sehingga isu green economy tak cuma jadi jualan politik tanpa pembuktian.

Sudah sejak dulu pula isu lingkungan ini terus dikawal agar kita tetap waspada kepada mereka yang abai dan tidak patuh untuk menerapkan industri ramah lingkungan, baik di tingkatan lokal maupun global. Sebagai contohnya jargon “Think Globally, Act Locally”, yang menjadi tema KTT Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 silam, yang segera pula menjadi jargon populer untuk mengekspresikan dan menyuarakan kepada semua untuk berlaku ramah lingkungan dalam setiap tindakan di setiap aspek kehidupan sehari-hari.

Adapun topik dan tema atau materi dan bahasan yang diangkat dalam konferensi Rio de Janeiro itu antara lain: permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan hutan atau deforestasi termasuk yang terjadi di Indonesia yang tidak kalah memprihantikan dan mengancam masa depan lingkungan bagi kualitas kehidupan masyarakat Indonesia, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah dan atau residu yang berbahaya serta penipisan keanekaragaman hayati.

Hingga saat ini, isu lingkungan hidup masih tetap menjadi isu yang sangat penting untuk ditangani bersama, sebab ancaman terhadapnya selalu ada dan acapkali tidak terduga pula, baik oleh Negara-negara maju maupun oleh Negara-negara berkembang atau Negara-negara Dunia Ketiga. Sebab persoalan lingkungan, meski telah ditempuh beragam upaya perawatan dan pencegahan dari kerusakan dan pencemaran, justru terbukti tidak semakin membaik. Begitu pula penanganan dan perbaikan yang sudah dilakukan belum sebanding dengan peningkatan persoalan lingkungan itu sendiri. Ditambah lagi kondisi lingkungan dan bumi diperparah dengan terjadinya fenomena perubahan iklim (climate change).

Kondisi persoalan lingkungan dan Bumi yang tidak semakin membaik itulah, yang justru mendasari diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan, yang telah berlangsung pada tanggal 13-22 Juni 2012 di Rio de Janeiro, Brasil yang lebih dikenal dengan KTT Rio+20 itu. Bagi Indonesia, menyepakati dokumen The Future We Want, sebagaimana tercermin dalam KTT Bumi tersebut, menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen itu memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia.

Diantara isi Dokumen yang disepakati itu mengenalkan konsep Sustainable Development Goals atau tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dipenuhi, baik oleh negara maju maupun oleh Negara-negara berkembang, untuk tetap menjaga prinsip-prinsip perlindungan lingkungan saat kita semua ingin meraih atau mencapai kesejahteraan ekonomi atau ‘ekonomi hijau’ (green economy). KTT Bumi ini, yang juga disebut Rio+20, sesungguhnya menjadi kelanjutan dari KTT Bumi sebelumnya yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada 1992 silam. Negara-negara yang hadir di KTT Rio itu juga mengeluarkan komitmen perlindungan lingkungan.

Sudah pasti kerusakan alam dan lingkungan akan berdampak pada rusak dan menurunnya kualitas hidup hingga merebaknya penyakit dan gangguan pada tubuh hingga jiwa manusia. Tidak bisa diingkari, penyumbang terbesar kerusakan alam dan lingkungan adalah industri selain eksploitasi sumber daya alam. Penebangan hutan, sebagai contoh, menyumbang pada longsor dan hilangnya tabung air, yang membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk mengembalikannya.

Sangat aneh jika masa depan jangka panjang keberlangsungan hidup dan kualitas hidup manusia luput dari perbincangan visi misi politik dan ekonomi para kandidat. Padahal peran serta kebijakan politik yang berwenang akan sangat menentukan masa depan ekologis kita. Luputnya prioritas masa depan lingkungan telah menunjukkan tidak visionernya para pejabat dan politisi dalam menetapkan visi politik dan program kerja mereka. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News