JALAN menuju kawasan konservasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Banten rusak penuh batu dan berdebu. Tampak seperti aliran sungai kering dibandingkan jalan untuk kendaraan.
Jalan ini menuju Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang. Kata warga, jalan itu rusak karena dampak pembangunan proyek Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA). Lalu lalang kendaraan berat pengangkut material proyek membuat jalan semakin rusak.
“Warga sempet marah karena jalan rada mejehna mimitina mah pas proyek eta rusak parah (Warga sempet marah karena jalan sebelumnya lumayan baik tapi saat pekerjaan proyek itu rusak parah-red),” kata salah satu warga yang enggan disebutkan namanya, Minggu (2/6/2024).
Desa Rancapinang merupakan salah satu titik lokasi proyek JRSCA. Proyek itu disebut-sebut merupakan upaya pemerintah dalam melindungi badak jawa yang sudah terancam punah. Gagasan proyek JRSCA sudah bergulir sejak 2009 silam, hasil perbincangan Asian Rhino Specialist Group (ARSG). JRSCA merupakan program konservasi yang dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah populasi badak jawa, sehingga masuk pada tingkat viable, dan diharapkan suaka tersebut dapat dimanfaatkan menjadi pusat pengetahuan tentang badak jawa serta menjadi pusat pemeliharaan dan pemindahan/translokasi badak jawa.
Dari laman Sirup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), anggaran konservasi badak Jawa di Balai TNUK tercatat naik dari tahun 2018-2022.
Tahun 2018 anggaran di Balai TUNK sebesar Rp 3.186.000.000, tahun 2019 Rp 19.130.288.000, tahun 2020 Rp 1.114.500.000, tahun 2021 Rp 33.883.865.000, dan tahun 2022 Rp 155.344.597.400. Proyek JRSCA sendiri ada di tahun 2021 dan 2022.
Di tahun 2021, terdapat 5 paket pekerjaan JRSCA yang dilelang pemerintah, 4 diantaranya pekerjaan konstruksi dan 1 pekerjaan jasa konsultasi. Proyek konstruksi yaitu Pembangunan Pos Jaga dan Pagar Batas Aermokla senilai Rp 3.400.000.000 yang dimenangkan CV Putra Tubagus Corp, Pembangunan Jembatan Rancapinang Rp. 4.473.000.000 dimenangkan CV Dua Putra Panjalu. Kemudian, Pembangunan Pagar dan Area Parkir Rancapinang Rp 1.030.000.000 dikerjakan Berdikari Jaya, serta Pembangunan Kandang Pengendali Penggembalaan Liar Ternak Masyarakat Rancapinang senilai Rp 2.886.800.000 dikerjakan Mahatama Karya. Sementara, Jasa Konsultansi Perencanaan Teknis Pembangunan JRSCA bernilai Rp 2.424.750.000 dimenangkan oleh Panca Guna Duta.
Proyek baru rampung dan masif digunakan pada tahun 2021 di Desa Rancapinang dan 2022 di Desa Ujung Jaya.Tim Klub Jurrnalis Investigasi (KJI) Banten menyusuri beberapa proyek JRSCA di kedua desa tersebut.
Proyek pertama adalah pembangunan jembatan sepanjang kurang lebih 10 meter dengan lebar sekitar 1,3 meter. Jembatan yang menelan anggaran Rp4,4 miliar itu salah satu akses masuk wilayah TNUK. Walau belum lama difungsikan, tiang besi di sisi kanan dan kiri jembatan tampak menguning berkarat. Begitu pula di bagian kolong jembatan. Pembangunan jembatan itu dikerjakan CV Dua Putra Panjalu. Perusahaan itu sempat terancam di-blacklist oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena melewati batas waktu pekerjaan. Seharusnya pekerjaan jembatan selesai dalam 180 hari kerja, kemudian diperpanjang selama 30 hari. Meski sudah diperpanjang, pekerjaan jembatan urung selesai tepat waktu. Perusahaan pun disebut harus membayar denda karena melewati batas waktu pekerjaan.
Tepat di seberang jembatan, ada sarana pendukung JRSCA lainnya, yaitu area parkir yang satu kawasan dengan bangunan resort. Material area parkir yang dibangun oleh CV Berdikari Jaya itu terbuat dari paving blok persegi panjang. Nilai proyeknya mencapai Rp1 miliar. Ukurannya tak terlalu luas. Paling untuk di bawah 10 kendaraan minibus.
Di Resort itu ada petugas penjaga kawasan TNUK bagian selatan. Tiap warga yang melintas menuju wilayah TNUK atau kandang kerbau harus melapor ke penjaga di sana. Petugas juga sempat menegur kami karena memotret pagar serta kondisi area parkir.
Sekitar satu kilometer dari resort, ada 12 bangunan proyek kandang ternak. Materialnya dari besi dan kini tampak berkarat. Pintu-pintu kandang juga copot dari engselnya. Lokasinya yang tak jauh dari bibir pantai membuat material kandang cepat korosi.
Bangunan kandang pengendali ternak warga ini juga masuk dalam sarana pendukung JRSCA. Kandang dibangun pada 2021 oleh Mahatama Karya dengan anggaran Rp2,8 miliar.
Kandang itu masih sering digunakan warga. Namun mereka enggan menyimpan ternaknya lama-lama mengingat kondisi kandang yang sudah tidak layak. Warga menduga kandang cepat rusak karena dibangun menggunakan material yang tidak anti karat, padahal lokasinya berada di tepi laut.
“ Mun ngagubrag di peuting teu kanyahoan paraeh kebo (Kalau roboh malam hari ga ketahuan nanti pada mati kerbaunya-red),” kata warga.
Warga mulanya menyetujui permintaan Balai TNUK untuk memasukan ternak kerbau ke dalam kandang, dengan catatan kandang yang dibangun tidak menggunakan material besi. Saat itu warga minta dibuatkan 15 kandang tapi hanya disetujui 12 kandang. Namun pada pelaksanaannya, kandang yang dibangun hanya 10 unit dengan material besi. Warga pun protes sehingga akhirnya dibuatkan kembali dua kandang.
Sekitar 20 menit perjalanan dari kandang, terdapat bangunan pos berupa rumah panggung berdinding putih dikelilingi pepohonan rimbun. Daun-daun tampak berserakan di lantai bangunan. Pintu dan jendela terkunci rapat. Pos dan pagar itu dibangun pada 2021 silam oleh CV Putra Tubagus Corp dengan anggaran Rp3,4 miliar.
Bangunan itu dikelilingi oleh pagar besi yang kusam. Pagar serupa juga ada di seberang bangunan yang dipisahkan oleh jalan setapak. Pos ini seharusnya difungsikan petugas untuk berjaga di kawasan TNUK. Tapi tidak terlihat satupun petugas yang berjaga di sana. Padahal, pasca kasus 26 badak jawa mati akibat diburu sepanjang tahun 2019-2023, Balai TNUK menginstruksikan adanya penjagaan selama 24 jam.
Desa Rancapinang merupakan jalur masuk dua kelompok pemburu yang menewaskan 26 badak jawa. Perburuan itu baru terungkap pada Juni 2024 lalu setelah Polda Banten menetapkan 14 tersangka. Dua kelompok yang dipimpin Sunendi dan Rahmat itu mengklaim telah membunuh badak sebanyak 26 untuk diambil culanya. Keduanya kemudian menjual cula itu ke seorang penadah di Jakarta yang kemudian dijual lagi ke Tiongkok.
Dalam persidangan para tersangka yang digelar di Pengadilan Negeri Pandeglang, diketahui bahwa kedua kelompok masuk lewat jalur laut bagian utara TNUK. Para tersangka merupakan warga Kampung Ciakar, Desa Rancapinang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Pandeglang.
Selain ke Desa Rancapinang, pada 29 Juni 2024 tim KJI Banten juga mengunjungi Desa Ujung Jaya untuk melihat sarana penunjang JRSCA lainnya. Di sana terdapat Bumi Perkemahan, Stasiun Riset Arboretum, dan kandang kerbau.
Kondisi bangunan di sana juga tidak kalah memprihatinkan. Rumput liat memenuhi area bumi perkemahan, kesan tidak terawat sungguh terasa. Padahal, terdapat bangunan serbaguna yang baru saja direnovasi. Bangunan itu sempat rusak parah pada 2023 silam. Padahal, bangunan baru diresmikan pada 2020 oleh Bupati Pandeglang Irna Narulita.
Sejumlah gazebo juga terlihat tidak terawat dan dipenuhi rumput liar. Bangunan berbentuk segi enam itu terbuat dari material batu kali dan bata. Pintu kayu yang menyatu dengan kaca terkunci rapat. Isi gazebo juga tampak kosong melompong.
Sarana lainnya yaitu stasiun riset juga tampak tidak digunakan. Alih-alih sibuk dengan para ilmuwan yang melakukan penelitian, tiga bangunan dari kayu itu tampak dingin tanpa hawa kehidupan. Setiap pintu juga terkunci, sebagian kaca jendela bahkan sudah pecah.
Meja dan kursi yang biasanya jadi barang wajib dalam suatu bangunan juga tidak tampak. Laboratorium awalnya ditujukan sebagai tempat penelitian badak jawa dan pakannya. Namun, tidak terlihat satupun petugas melakukan penelitian di sana.
Di desa ini juga ada proyek pembangunan kandang ternak yang fungsinya sama dengan di Desa Rancapinang. Namun warga tak menggunakan kandang ini karena tidak ada akses masuk dan lokasi pakan ternak yang jauh. Material kandang di sini tidak menggunakan besi, di sini tiang penyangga terbuat dari bata yang dicampur semen. Besi hanya digunakan untuk bagian atap.
Di Desa Tanjung Lame juga ada pagar dengan sling kawat yang rusak. Banyak rumput liar tumbuh di pagar ini. Akses jalan paving blok selebar 1,5 meter terhalang pohon tumbang dan menimpa satu gazebo yang diduga terus dibiarkan.
Diduga Bermasalah Sejak Lelang
Pengusaha asal Ujung Kulon bernama Samsuri bercerita kepada KJI Banten mengenai dugaan masalah dalam proses lelang proyek JRSCA tahun 2021-2023. Katanya, pihak balai TNUK menerapkan sistem lelang terbatas. Maksudnya adalah, hanya segelintir pengusaha saja yang ikut proses lelang.
“Ketika saya cek ternyata itu lelang terbatas,” ucapnya kepada KJI Banten, Minggu (5/7/2024).
Kata Samsuri, sudah lumrah dalam proyek-proyek besar termasuk JRSCA kalau perusahaan pemenang sering kali menyerahkan pekerjaan lapangan kepada subkontraktor setelah kontrak ditandatangani.
Dirinya juga menyoroti dugaan penggunaan pasir pantai dalam proyek JRSCA. Katanya, pasir pantai yang digunakan untuk pembangunan proyek merupakan sedimentasi di muara pantai, bukan pasir yang ditambang secara terus menerus.
Pengusaha itu juga mengatakan perusahaannya sempat mengerjakan proyek pagar pertama JRSCA sepanjang 8 kilometer dari Cilintang-CImahi pada 2010 silam. Ia hapal betul bagaimana kondisi lapangan di TNUK. Katanya, penting untuk selalu melibatkan warga sekitar yang sudah paham betul mengenai geografis tempat tinggalnya.
“Sayang anggaran besar, mestinya libatkan orang-orang lokal. Maaf saya dikonstruksi, orang balai tahu kerja saya di konstruksi, yah minimal diajak sharing lah, termasuk minimalnya mana saja yang boleh secara custom (dibangun), material apa saja yang cocok,” ujarnya.
Tim KJI berupaya melakukan konfirmasi kepada beberapa perusahaan pemenang lelang proyek JRSCA. Perusahaan yang pertama kami datangi yaitu CV Putra Tubagus Corp. Mulanya kami coba menghubungi Hendra Makendro melalui sambungan telepon. Berdasarkan dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU), Hendra menjabat sebagai direktur. Karena tidak kunjung merespons, tim mendatangi lokasi kantor CV Putra Tubagus yang berlokasi di Jalan Nyi Mas Anjung, Kelurahan Sumur Pecung, Kota Serang pada 28 Juni lalu.
Kantor CV Putra Tubagus ternyata merupakan rumah tua dengan cat putih yang sudah cukup memudar. Tidak ada resepsionis atau pegawai kantoran di sana. Tim malah bertemu dengan seorang wanita paruh baya bernama Heriah. Ia mengaku sebagai ibu kandung dari Hendra. Katanya, anaknya tidak berada di tempat. Tim menitipkan surat permohonan wawancara kepada Hendra melalui ibunya, tapi hingga deadline tulisan ini yang bersangkutan tidak membalasnya.
Respon penolakan tim dapatkan saat coba mengonfirmasi kepada CV Dua Putra Panjalu yang merupakan pemenang lelang proyek jembatan di Desa Rancapinang. Sang Direktur, Sanawiah menolak dikonfimasi saat kami coba temui di kantornya.
Kantor CV Dua Putra Panjalu merupakan rumah orang tua dari Sanawiah. Rumah dengan dua lantai itu berlokasi di Kabupaten Serang. Saat menyampaikan maksud dan tujuan kami kepada ibu tersebut, terlihat wajah panik dan bingung dari dirinya.
Kantor itu kata sang ibu memang kantor perusahaan anaknya tapi sudah jarang dipakai karena Sanawiah saat ini lebih banyak beraktivitas di Kota Serang. Ibu tersebut lalu menelepon Sanawiah untuk memberitahukan kehadiran tim KJI.
Saat menelepon anaknya, entah disengaja atau tidak, ia mengaktifkan loudspeaker sehingga percakapan mereka terdengar oleh tim KJI. Sanawiah dengan nada cukup tinggi menginstruksikan kepada ibunya untuk menyuruh tim pulang dan menyatakan kami salah alamat.
Sang ibu menuruti instruksi anaknya itu dan menyuruh tim KJI pergi. Kami coba membujuk untuk menerima surat permohonan wawancara kepada anaknya tapi yang bersangkutan menolak. Dari hasil penelusuran kami, CV Dua Putra Panjalu pernah terancam di blacklist pada tahun 2022 karena bermasalah mengerjakan proyek Jembatan Rancapinang.
Bangunan kantor CV Berdikari Jaya menempati sebuah kontrakan petak yang sempit dan sederhana di Kabupaten Pandeglang. Nuansa mewah sama sekali tidak ditemukan di kantor tersebut. Hanya sebuah banner kecil yang menempel di dinding sebagai penanda keberadaan CV Berdikari Jaya. Perusahaan pemenang lelang proyek lahan parkir di Desa Rancapinang ini dipimpin Igun Firmansyah.
Igun mengatakan bahwa selama proses pengerjaan proyek itu dirinya tidak terlalu hapal karena dibantu oleh Mahatama Karya -perusahaan yang juga mengerjakan pembangunan kandang kerbau di Desa Rancapinang -.
“Terkait detail mulai dari lelang, proses lelang, pekerjaan, kontrak, diambil alih semuanya sama Indra (Direktur Mahatama Karya). Jujur waktu itu saya kepecah, Indra ngerjain di sana (TNUK), saya ngerjain di Tangerang pengecoran jalan,” ucapnya.
Keterangan Igun langsung dibantah oleh Direktur Mahatama Karya, Indra Setia Gunawan yang kantornya juga berlokasi di Pandeglang.
“Ngapain saya ngerjain kerjaan orang, kerjaan sendiri saja sudah kewalahan,” kata Indra.
Indra juga pengurus di perusahaan CV Anderpati dan CV Mandalika Rizki. Dia sempat meminta daftar pertanyaan konfirmasi ketika tim KJI Banten mendatangi kantornya di Pandeglang. Namun pertanyaan itu tidak pernah dijawab hingga tulisan ini terbit.
Sementara itu, Direktur Panca Guna Duta Asep Rachmatullah tidak merespons ketika tim KJI hendak mengkonfirmasi statusnya sebagai konsultan dalam proyek JRSCA.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Ardi Andono mengakui bahwa banyak sarana pendukung JRSCA mengalami kerusakan dan beberapa bangunan, seperti pos jaga di Rancapinang tidak difungsikan. Ardi belum ingin memperbaiki sarana JRSCA yang rusak karena ingin fokus menggiring badak Jawa ke kawasan JRSCA.
“Dari 2007 sampai sekarang badaknya belum ada ngapain diperbaiki,” kata Ardi ditemui KJI Banten, Rabu (10/7/2024) lalu.
“Petugas patroli, pos itu tidak digunakan. Ngapain kita jagain pos,” sambungnya.
Ardi mengklaim upaya konservasi badak jawa lewat JRSCA merupakan langkah paling tepat. Pemilihan lokasi JRSCA yang menjadi habitat kedua badak jawa di Semenanjung Ujung Kulon juga sudah hasil kajian matang.
“JRSCA di lehernya Semenanjung, di bawahnya Gunung Honje, dari Rancapinang ada bukit-bukit kecil jadi kemungkinan (badak Jawa) survivenya ada. Tsunami krakatau meletus 1883 tidak memusnahkan badak, artinya badak bersembunyi dan tempat ini masih aman,”Kata Ardi.
Pasca kasus perburuan 26 badak jawa, Balai TNUK mengubah semua sistem kerja penjagaan. Mereka menerapkan patroli di darat, laut, udara selama 24 jam dalam 7 hari yang bekerjasama dengan TNI/Polri. Bahkan pemasangan kamera jebak hingga metode perhitungan individu badak juga diubah.
“Pintu masuk perburuan sekarang kita portal, masyarakat yang menggarap lahan di daerah ini harus lewat pemeriksaan. Kalau masuk nggak keluar-keluar, sudah dipastikan (berburu-red), ngapain misalkan seminggu gak keluar-keluar kalau gak berburu,” imbuhnya.
Ardi saat ini sedang fokus menarik badak Jawa ke kawasan JRSCA. Targetnya tahun 2024 ini badak jawa yang terpilih sudah masuk kawasan, dan tahun 2025-2029 terjadi peningkatan populasi dari JRSCA.
“Delapan minimal, tinggal tentukan jantan dan betina. Jantan satu, sisanya betina. Kita ingin memutus rantai pemeliharaan anak badak yang terlalu lama. Badak tiga tahun pasca melahirkan baru bisa mengandung lagi, kita mau putus. Di JRSCA dua tahun bisa kawin lagi,” ujarnya.
Ardi enggan mengomentari lebih banyak terkait sarana penunjang JRSCA yang terbengkalai. Menurutnya bangunan pendukung itu menjadi tanggung jawab kepala balai sebelumnya. “Itu urusan kepala balai yang lama,” tegasnya.
Peneliti ICW Siti Juliantari Rachman berpendapat bahwa pengadaan barang dan jasa pada proyek JRSCA tidak sesuai dengan kebutuhan karena banyak fasilitas yang terbengkalai atau bahkan tidak digunakan sebagaimana fungsinya.
Hal ini bisa merujuk pada indikasi pengadaan proyek yang hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Dengan kondisi yang tidak digunakan ini jangan-jangan pengadaannya hanya digunakan untuk kepentingan dan kelompok tertentu, jadi basisnya bukan kebutuhan,” katanya.
Tindakan tertentu dalam pengadaan barang dan jasa, kata Tari, dapat menjadi indikator adanya kecurangan. Misalnya, praktik pengkondisian lelang seperti arisan atau penetapan spesifikasi yang mengarah pada penyedia tertentu merupakan bentuk persekongkolan.
Hubungan yang tidak wajar antara panitia pengadaan dan vendor atau antar calon penyedia juga menunjukkan adanya kesepakatan tersembunyi.
“Modus-modus seperti ini sering kali menjadi bagian dari praktik korupsi dalam pengadaan.
Berarti ada potensi bahwa pengadaan yang dilakukan belum bisa menjawab kebutuhan atas keamanan badak yang berada di JRSCA. Padahal sudah ada beberapa kali pengadaan terkait pos jaga dan pagar perbatasan,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Auriga Riszki Is Hadianto menilai pembangunan JRSCA di kawasan TNUK kurang tepat, seharusnya dibangun di lokasi lain untuk menyediakan habitat kedua bagi badak jawa. Riset untuk habitat kedua itu pernah dilakukan di Cagar Alam Leuweung Suaka Margasatwa Cikepuh, Sukabumi, tetapi hasilnya tidak diketahui lebih lanjut.
“Sebenarnya lokasi itu (JRSCA) yang jauh dari Ujung Kulon sehingga kalau misalkan ada bencana alam, ada penyakit yang menyerang dipisahkan lah kantungnya, supaya tidak musnah bareng-bareng,’ katanya.
Riszki juga mengkritik anggaran miliaran rupiah untuk sarana JRSCA tanpa dibarengi persiapan pemindahan badak. Akibatnya, sarana JRSCA terbengkalai dan memerlukan biaya tambahan.
“Ketika itu masih berproses (pemilihan individu badak Jawa), JRSCA-nya sudah dibangun. Jadi kalo melihat proyeknya terbengkalai ya sudah normalnya terbengkalai karena secara persiapan badak yang mau dipindahin ya belum siap untuk dipindahkan,” tuturnya.
Ia juga menyayangkan pemecatan sepihak terhadap warga lokal yang dipekerjakan di JRSCA. Menurut Riszki, warga sekitar TNUK seharusnya mendapatkan manfaat dari konservasi dan harus dilibatkan secara lebih baik dalam proyek tersebut.
“Konsep bermitra, harusnya ada manfaat bagi masyarakat sekitar. Ketika mereka (balai) sudah mau meng-hire warga lokal jadi petugas, seberapa lama mereka bekerja, harus sudah dipikirkan sama yang meng-hire. Kalau seperti ini justru mereka jadi korban karena kegagalan sistem. Mereka dipecat dan harus digaris bawahi mereka warga lokal yang harus paling banyak dapat manfaat dari kawasan konservasi,” pungkasnya.
Kami juga sempat menghubungi Dirjen Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani melalui pesan Whatsapp pada 28 Agustus untuk menanyakan mengenai strategi perlindungan badak oleh KLHK. Tapi, sampai deadline tulisan ini, yang bersangkutan tidak membalas pesan kami. (dra-ink/Red)
Tulisan ini hasil kolaborasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan Banten Bersih, dan Tim KJI Banten. Tim KJI Banten terdiri dari jurnalis media lokal dan nasional yang bertugas di Banten.