Beranda Opini Humanisme Islam Majid Majidi

Humanisme Islam Majid Majidi

Poster film. (Foto line today)

Humanisme Islam Majid Majidi

Oleh: Sulaiman Djaya (Ketua Bidang Perfilman Majelis Kebudayaan Banten)

Nama Majid Majidi sebagai sutradara film dan penulis skenario dapat dikatakan mulai berkibar dan melambung bersamaan dengan film garapannya, Children of Heaven, menjadi film yang populer dan menyedot perhatian dunia internasional, utamanya di kalangan sineas dan dunia bisnis perfilman. Sejak saat itulah Majid Majidi menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam dunia perfilman dan entertainment dunia. Film-film-nya pun mengandung citarasa humanistik yang kuat, inspiratif dan menggugah, selain itu juga film-film garapannya acapkali pula terasa sangat sastrawi dan puitis seperti Baran, Sun Children, The Color of Paradise, Song of Sparrows, dan tentu saja Children of Heaven yang mengajarkan kita untuk melihat dan memahami hidup dan dunia dari mata dan perspektif anak-anak hingga mengkritik kemiskinan dan kekuasaan dengan halus.

Menurutnya, saat ia diwawancara seorang jurnalis Cina ketika menghadiri festival film internasional di Cina (Hainan Island International Film Festival) pada 10 Desember 2020, dari anak-anak lah kita bisa belajar ketulusan, keluguan dan kejujuran yang murni dan natural. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa anak-anak merupakan elemen terpenting dan harta paling berharga bangsa dan negara manapun. Merekalah yang akan tumbuh menjadi generasi penerus yang akan membangun masa depan yang baik bagi bangsa mereka. Dan diantara film teranyar Majid Majidi yang fenomenal adalah Muhammad Messenger of God.

Ketika ia mulai menggarap film Muhammad: The Messenger of God, tentulah ia harus mempertimbangkan banyak hal, terutama tanggapan dan sikap para ‘ulama, apalagi film yang digarapnya ini menggunakan biaya yang ditanggung Negara. Sampai-sampai ia pun harus bermunajat (berkhalwat) di makam Imam Ridho as (Imam Kedelapan) untuk mendapatkan berkah bagi pembuatan filmnya kali ini.

Selama melakukan riset dan penelitian demi menggarap filmnya itulah, ia pun menemui sejumlah ‘ulama semisal Ayatullah Jawad Amuli dan Ayatullah Sistani, dan tentu saja ia juga bertemu dengan pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei, selain harus melakukan riset pustaka dari kalangan Sunni dan Syi’ah. Selama sejarah sinema Iran, sang pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, Sayid Ali Khamenei, yang biasanya tidak ‘turun’ langsung dalam dunia garapan film Iran, kali ini turut melihat langsung salah-satu momen pengambilan gambar di lokasi syuting.

Tentu saat ini, nama Majid Majidi di kalangan perfilman dunia bukan ‘sekedar nama’, namun juga suatu contoh filosofi. Terence Ward, sang penulis buku Searching For Hassan, misalnya, mencatat pertemuannya yang sangat menarik dengan Majid Majidi. Kala itu, tentu saja di Iran, saat Terence Ward bertanya kenapa ia memilih media film untuk menyampaikan cerita-ceritanya, Majid Majidi pun menjawab, “Dalam film, saya bisa menyampaikan kepada dunia melalui bahasa yang universal. Ada banyak orang yang sedang mencari Tuhan. Mereka pergi ke masjid, ke gereja, ke sinagoga, dan mereka masih saja bertanya, ‘Di mana Dia?’ Saya yakin bahwa Tuhan ada di dalam diri setiap manusia.”

Klaim yang ia ungkapkan kepada Terence Ward itu tentu saja bukan hanya ‘bualan’, sebab sebelumnya ia telah membuktikannya lewat film Children of Heaven. Tentu yang menyukai dunia perfilman masih ingat di era tahun 1997, yang mana lewat karya mengharukan, Children of Heaven, sebuah film bertema kasih sayang dua kakak beradik yang juga sempat tenar di Indonesia, Majid Majidi mendapat nominasi Academy Award untuk film berbahasa asing terbaik. Film-filmnya yang lain pun tetap berkualitas dan berciri humanistik, semisal The Song of Sparrows yang mendapatkan penghargaan dengan menjadi tayangan pembuka pada Festival Film Internasional Visakhapatnam di India.

Sementara itu, secara khusus, film Muhammad: The Messenger of God yang digarapnya itu, tak ragu lagi merupakan sebuah film epik Islam yang ia tulis bersama dengan Kambuzia Partovi. Film yang digarapnya dengan waktu cukup lama tersebut berlatar belakang abad keenam dimana sebuah kisah bercerita tentang masa kecil nabi Islam, yaitu Muhammad Rasulullah. Film tersebut menjadi produksi berbiaya terbesar dalam sejarah sinema Iran.

Pengembangan Muhammad: The Messenger of God dimulai pada tahun 2007 dan Majid Majidi sebagai penulis scenario dan sutradara mulai menulis bagian pertama dari permainan latar-nya pada 2009. Di tahun 2011, sebuah set kolosal dibuat di kota Qom dekat Teheran yang disiapkan untuk kebanyakan adegan dalam film tersebut. Sementara itu, beberapa adegan penting difilmkan di Amerika Selatan.

Pada saat proses pemfilman, Majid Majidi bekerja dengan sebuah tim sejarawan dan arkeolog untuk karya tentang akurasi kehidupan awal Nabi Muhammad. Pengerjaan pasca-produksinya dimulai di Munich (Jerman) pada akhir 2013 dan selesai pada 2014. Sedangkan sinematografi-nya dirampungkan oleh Vittorio Storaro dan skor film-nya dikomposisikan oleh A. R. Rahman.

Dalam hal ini, kiranya kita perlu menyimak salah-satu ulasan tentang film tersebut, yaitu yang dikemukakan olah Afifah Ahmad berikut: “Malam itu, Muhammad kecil tak dapat memejamkan mata, lantaran suara rintihan para budak yang kehausan. Tangan kaki dirantai, sementara pakaian mereka kumal dan tubuh menggigil. Muhammad yang tak kuasa menyaksikan pemandangan itu menghabiskan malamnya dengan mengisi gerabah air dan menuangkannya ke dalam mulut-mulut kering mereka. Dari balik tabir tenda, Aminah, sang bunda, menyaksikan dengan mata berkaca-kaca.

Di bagian lain, terlihat saat Muhammad yang mulai beranjak remaja tengah menggembalakan kambing-kambing di padang sabana. Suara gaduh pertengkaran perempuan dan laki-laki menggelisahkannya. Berjalanlah ia mendekati arah suara. Ternyata, mereka pasangan suami istri yang sedang meributkan kelahiran bayi perempuan. Si ayah yang merasa itu aib ingin menguburkan bayi hidup-hidup, namun sang Ibu yang susah payah mengandung dan melahirkannya tak rela dengan perbuatan si suami. Muhammad datang menggendong bayi perempuan cantik yang hampir di kubur hidup-hidup. Dengan lemah lembut, ia menunjukkan kepada si ayah betapa cantik bayi perempuannya itu. Ajaib, amarah lelaki itu mulai mereda.

Dua potongan film “Muhammad Rasulullah” (“Muhammad: The Messenger of God”) ini, seperti mewakili janji Majid Majidi, sang sutradara, untuk menampilkan kehidupan Rasulullah yang welas asih. Delapan tahun lalu, ia terluka oleh penayangan film yang menghina Nabi Muhammad di Denmark. Ia pun tak memenuhi undangan festival film di kota itu, karena penghormatannya kepada baginda Nabi. Di tahun yang sama, ia berjanji untuk membuat film sisi kehidupan Nabi Muhammad yang tak banyak diketahui kaum Barat. Setelah melakukan riset selama tiga tahun melalui berbagai sumber sejarah, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah, serta empat tahun pengambilan gambar, film ini akhirnya bisa dinikmati masyarakat luas.”

Ulasan jurnalistik yang dikemukakan Afifah Ahmad itu sungguh merupakan suatu ‘gambaran’ tentang film itu sendiri karena ia telah menonton filmnya langsung di Iran. Nilai penting film ini tentulah menjadi sangat relevan bagi kita saat ini ketika Islam disudutkan sebagai ‘agama teroris’. Di sini Majid Majidi sendiri, sebagaimana dilansir The Guardian, menyatakan: “Kami merasa bersalah kita kurang memperkenalkan pada dunia wajah nyata dan benar dari Sang Nabi (maksudnya Rasulullah). Ada 200 film tentang Yesus Kristus, 100 film menampilkan Musa langsung atau tidak langsung, 42 tentang Buddha, tapi hanya dua tentang Muhammad saw.”

Untuk menutup tulisan ini, rasanya tak salah jika kembali mengutip langsung paparannya Afifah Ahmad yang telah menonton film-nya secara langsung, selain Afifah juga dikenal sebagai penulis dan travelog:

“Film tentang Nabi Muhammad ini termasuk salah satu film relijius dengan kemasan sekelas Hollywood. Di beberapa bagian kita akan melihat perpaduan gambar dan musik yang luar bisa, seperti saat penyerangan pasukan Gajah ke kota Mekkah, saat melukiskan suasana khidmat kelahiran Nabi Muhammad, atau episode menjelang akhir, saat para sahabat berjalan membawa lampu-lampu tempel dengan latar suara wahyu dari langit. Benar-benar membawa emosi kita seolah masuk dan menjadi bagian dari potongan film itu.” (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News