Oleh: Atif Natadisastra
Lima tahun ke depan, Banten telah nyata dipimpin seorang anak Petani. Itu tagline masa kampanye: “sang anak petani”. Tagline ini memang menyimpan harapan dan kandungan konsep bagi wajah Banten masa depan.
Tagline itu dapat diterjemahkan ke dalam konsep yang programatik, tentu hal ini perlu support dari semua masyarakat Banten: pendukung politik atau bukan pendukung. Residu politik Pilkada harus disudahi. Elit mesti memberi contoh agar tidak ada ekses residual di kalangan lapis masyarakat akar rumput. Semua turun bersama menata Banten lima tahun ke depan.
Di legisatif telah menunjukkan kebersamaan itu, maka giliran gerbong eksekutif yang harus berjalan seirama dan satu visi. Pun di kalangan civil society, kelas elit masyarakat Banten itu, berjalan dalam irama menata Banten ke depan.
Kenapa semua orang harus turun bersama? Karena apapun kebijakan yang diambil oleh pemenang pilkada, Gubernur, maka akan terasa dampaknya bagi semua warga Banten. Kita bisa melihat ada tiga tahun masa dimana Banten berada dalam kepemimpinan dengan orientasi “melayani” pusat.
Tiga tahun itu masa yang cukup panjang, sehingga lack of policy sangat terasa. Tengok pelayanan di RSUD Provinsi Banten. Ketika beberapa waktu ini, pasien membeludak sehingga tidak tertangani dengan baik. Fasilitas yang ada kurang di sana sini, kekurangan bed di IGD, tensi dokter pun tegang, satu stand gantungan infus harus bajongan beberapa pasien. Ini ditambah dengan sikap mental petugas yang masih menganggap masyarakat yang datang dari desa itu sebagai objek sehingga kerap dihardik dengan “tunggu, semua akan mendapatkan pelayanan”.
Mestinya semangat jajaran aparatur Pemprov, apapun posisinya, adalah melayani, terutama layanan dasar. Melayani orang-orang desa dengan beragam keterbatasan dan kelebihannya. Jika tidak ada lack of policy tentu kejadian seperti ini bisa diantisipasi dini, di-support kekurangan fasilitasnya dan dipantau kinerja SDM daerah sampai unit terkecil.
Orang-orang desa perlu dimuliakan, bukan saja karena gubernur juga si anak petani. Tetapi desa merupakan unit terkecil komunitas yang dapat melakukan survival of the fittest. Ketika pemerintahan mengalami shuting down, atau terganggu, desa menjadi barrier bagi kelangsungan hidup. Masyarakat kota dan komunitas urban mudah mengalami shock bahkan chaos. Tetapi tidak dengan desa. Masyarakat kota merupakan locus bagi pertumbuhan. Bagi masyarakat desa yang diperlukan adalah Pemerataan dan pemertahanan.
Secara faktual demografi Banten masih didominasi oleh tipology komunitas desa, meskipun status administrasinya sudah bernama kelurahan. Typology ini dicirikan oleh relasi kultural yang kuat, relasi alam-manusia tinggi, identitas komunal kuat. Ciri ini terdapat merata di daerah Selatan bahkan sampai ke perkotaan Tangerang.
Tiga relasi itu berkelindan tersimpan dalam sistem pencaharian hidup, sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem religi, sistem tradisi yang terformat ke sistem ketahanan Desa Maju. Pada masa transisi revolusi, orang-orang desa tidak tersentuh kebijakan tetapi justru menyumbang tenaga perlawanan kontra revolusioner. Ketahanan masyarakat desa telah terbukti dari periode Hindia Belanda, Revolusi, Orde lama dan Orde Baru.
RRC menggunakan desa sebagai unit basis produksi. Konsep yang terkenal itu “One product one village”. Di negara federasi seperti AS, desa merupakan komunitas subdivisi politik yang umumnya menjadi distrik khusus. Rusia memiliki program khusus memperlakukan desa dengan cara Pembangunan Terpadu Wilayah Pedesaan. Eropa menyebut desa dengan dacha, datscha (Jerman), dacia. Pasca perang dunia, ketika kota-kota Eropa runtuh, dacia, dacha menjadi basis pangan, dan titik tumpu leverage untuk memulihkan diri dari luka perang dunia. Maka cukup beralasan jika anak petani membangun Banten dengan berangkat dari penguatan desa.
Apa yang perlu dikuatkan ? Desa Banten dapat dibagi ke dalam tiga kondisi. Desa urban yang menunjuk pada persinggungan dengan dunia produksi dan capital lebih dominan. Desa-desa semacam ini tersebar di sekitar topografi utara Banten, merentang dari Cilegon, sebagian Kota Serang sampai Tangerang Selatan. Desa rural yang masih memiliki produksi pertanian dengan daya dukung alam memadai. Jenis ini terdapat di sekitar Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang. Desa tradisional lebih didominasi oleh aktivitas pertanian dan ekonomi sederhana dengan daya dukung alam yang masih vital. Jenis ini banyak terdapat di Pandeglang, Lebak, juga terdapat di Kabupaten Serang.
Problem utama yang dihadapi adalah desa-desa cenderung terlibat dalam delusi pertumbuhan. Desa mengepung kota, desa menjadi penyangga kota, penyedia kebutuhan kota. Sehingga kota menjadi daya tarik dan memusatkan arah kebijakan di perkotaan. Kini mindset tersebut perlu diubah, desa bukan pusat pertumbuhan. Yang diperlukan agar desa menngalami penguatan dan pemerataan adalah konsep pemertahanan.
Meng-upgrade agar memiliki suatu strategi ketahanan desa dan menjelma sebagai Desa maju. Output terluar dari ketahanan itu adalah membawa pelayanan publik ke desa-desa bukan menggiring orang desa ke pusat-pusat pelayanan. Untuk mencapai ini perlu sinergisitas tiga level pemerintahan : pemerintah pusat melalui Kemendes dan kementerian terkait, pemerintah Provinsi dan Pemerintah tingkat Kota/Kabupaten. Ini kerja struktural dan konseptual.
Dengan apa ketahanan itu disusun? Daya tahan ekonomi yakni menyiapkan simpul produksi yang bisa affiliate dengan BUMDes, mendorong high usability dari ADD, penyiapan SDM dari dini. Salam paradigma terdahulu dimana desa menjadi penyangga daerah pertumbuhan, pola ini dapat dipertahankan dengan modifikasi orientasi. Kota menjadi mitra dari desa yang berarti berdiri setara dan “bekerjasama” secara mutual. Kota yang bertumbuh harus menyerap bahan-bahan dari sekitarnya. Jika tidak diketemukan bahan (SDA/SDM) di sekitar barulah melirik ke sumber di tempat lain. Jangan sampai daerah ini menjadi sekadar penyedia lahan bagi kenduri orang.
Daya tahan sosial politik berhubungan dengan ketahanan ideologis dari bahaya radikalisasi, disturbance ideology,resistensi konflik sosial horizontal. Di sini ada literasi kuat tentang ideologi bangsa, di tengah laju infomrasi yang tidak terkendali. Mengenalkan political education sampai level membangun partisipasi dan bukan sekadar mobilisasi warga. Warga desa melek politik, melek partisipasi kebijakan public.
Daya tahan pangan berhubungan dengan kemampuan produksi pangan, maksimalisasi lahan tidur dengan flora dan fauna ekonomis yang sesuai, diversifikasi dan kreasi pangan. Desa adalah lumbung pangan, produksi pohon dan buah. Di sini dapat dimulai konservasi tanaman buah, buah lokal, mengurangi produksi perkayuan kecuali pada lahan varietas tanaman budidaya yang dipanen kayunya. Lahan-lahan di seputar desa yang lebih banyak dikuasai perdu perlu disentuh agar produktif. Orang-orang pintar di sektor pertanian dan sosiologi pedesaan dapat memetakan pengembangan potensi-potensi desa.
Daya tahan alam terkait dengan pemeliharaan alam sebagai penjaga produksi air, kendali produksi mineral terbarui, menyeimbangkan kebutuhan permukiman dengan kebutuhan produksi pangan sehingga meminimalisir destruksi alam di desa-desa yang tidak terdeteksi seperti sumber bahan galian yang sporadis. Ini adalah problem dari ekologi dunia: manusia semakin bertambah, industri makin berkembang, semua butuh lahan. Tetapi perlu ditandaskan bahwa Desa-desa di Banten bukanlah gudang tanah yang menjadi penyedia lahan semata, bisa dipetik kapanpun, cukup dengan mengkondisikan para calo tanah dan kepala desa setempat.
Pola itu perlu ditinggalkan, desa mulai berpegang pada rasio penggunaan tanah sebagaimana RTRW. Serta menimbang segi-segi strategis dari setiap alih fungsi tanah. Lahan pertanian semaksimal mungkin terkonservasi, Pohon-pohon besar penjaga air tanah dijaga pula oleh manusia. Tidak ada lagi predator pohon, manusia “pemangsa” fauna yang semakin langka terdengar kicau dan keliaran hewan-hewan lokal. Kebutuhan kayu, satwa perlu diantisipasi dengan budidaya dan bukan perburuan serta penebangan acak. Demikian pula dalam kegiatan penggalian, penambangan, baik galian C, galian tanah uruk, atau penembangan rakyat lain. Perlu dipikirkan antara manfaat personal penyedia galian dengan beban ekstra yang ditanggung pemprov seperti kerusakan infrastruktur dan perubahan bentang alam. Dalam skala luas kegiatan penambangan skala besar perlu memperhatikan kondisi lingkungan pada anak-anak Banten sepuluh-dua puluh tahun ke depan. Investasi besar yang terkonsentrasi di desa-desa perlu dikaji secara terbuka, egaliter. Desa bukan kapling untuk project para konglomerasi.
Di sela-sela daya tahan itu masih ada tantangan berkaitan dengn teknologi informasi yang merangsek desa secara cepat. Bagaimana e-commerce dapat bermanfaat bagi orang desa agar tidak sekedar menjadi konsumen. IT dan internet yang kabel-kabelnya telah merentang di sisi kanan kiri jalanan desa harus bermanfaat, bukan sarana entertain apalagi menumbuhkan perilaku menyimpang seperti judol. Karena di sana tersembunyi ancaman di balik kebebasan informasi, scrolling junck info konten creator tidak jelas, doomscrolling, cyberhondria, OCD dan lainnya jelas lebih rentan bagi orang-orang desa. Anak-anak di desa musti diproteksi.
Dan tidak ketinggalan sebagaimana prolog awal tulisan ini adalah ketahanan husada, desa memiliki pusat-pusat kesehatan yang memadai di tingkat pertama dan menengah, sehingga tidak ada lagi kisah pasien desa membeludak di perkotaan yang menjadi alasan untuk membuat kekerasan verbal pada pasien pencari pelayanan kesehatan. Bawa pelayanan kesehatan ke desa. Masih banyak tanaman obat yang dapat dikenalkan pada publik sebagai langkah kecil mengurangi ketergantungan pada rantai bisnis farmasi dunia. Secara statistic terdapat data ketersediaan SDM terdidik sektor kesehatan yang dapat digunakan untuk menjadi ujung tombak bagi penyehatan masyarakat desa.
Yang jelas desa di Banten adalah pesona yang menjadikan identitas ‘orang Banten’ masih tetap harus eksis di belantara artificial intelegent yang merangsek bilik kamar anak-anak desa. Jangan sampai kita kehilangan keasrian Banten, kita dapat tumbuh tetapi kita perlu tumbuh merata dan menjadi kuat bersama.
Penulis adalah Akademisi, Direktur Masyarakat Belajar Foundation