Beranda Opini H. Ishak, Kesatria Pemberontakan Cilegon 1888

H. Ishak, Kesatria Pemberontakan Cilegon 1888

Pegiat Literasi, Moch. Nasir Rosyid SH. (doc.pribadi)

Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi

Pemberontakan Cilegon 1888 atau yang terkenal dengan Geger Cilegon 1888 atau Pemberontakan Ki Wasyid telah melahirkan pejuang-pejuang anti penjajah yang revolusioner. Pemberontakan yang terkenal pada pertengahan abad ke 19 itu dipimpin oleh para Kiai Banten terkemuka pada zamannya yakni Ki Wasyid, H.Tb Ismail, H. Ishak dan lainnya. Semangat untuk memberontak terhadap penjajah dipompa oleh Syekh H. Abdul Karim yang saat itu menjadi Pimpinan (Syekh) Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah se dunia. Syekh H. Abdul Karim saat itu tinggal di Mekah satu periode dengan Ki Nawawi Al-Bantani. Syekh H. Abdul Karim hanya sesekali pulang ke Banten. Namun di kala pulang ke Banten, ia menyampaikan dakwahnya dan memberikan semangat anti penjajah, memerangi orang kafir adalah termasuk jihad fisabilillah.

Peristiwa pemberontakan Ki Wasyid 1888 ini, menjadi perhatian Sartono Kartodirdjo. Ia mengadakan penelitian khusus peristiwa tersebut guna kepentingan studinya dalam meraih gelar Doktor di Universitas Amsterdam, Belanda. Hasil penelitian yang dijadikan tesis dengan judul “The Peasants’ Revolt of Banten in 1888” kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Pemberontakan Petani Banten 1888”.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Geger Cilegon ini tertumpu pada pengaruh ulama besar Syekh Abdul Karim yang kemudian dilaksanakan oleh murid dan sahabatnya yakni H.Tb Ismail, H. Wasyid dan H. Marjuki, H. Ishak dan lainnya. Di antara tokoh-tokoh pemberontakan –baca; pejuang– tersebut, ada nama H. Ishak dan istrinya, Nyi Kamsidah dari Kampung Seneja. H. Ishak sampai saat ini telah diabadikan namanya menjadi nama jalan dan masjid di kampung asalnya itu. H. Ishak merupakan sahabat Ki Wasyid dan H.Tb Ismail. Bisa jadi hubungannya sangat dekat dalam konteks perjuangan, bisa juga dikatakan H. Ishak merupakan tangan kedua Ki Wasyid dan H.Tb Ismail. Ini bisa dilihat dari aktivitasnya yang selalu bersama, dimana ada Ki Wasyid atau H.Tb Ismail, di situ ada H. Ishak. Sifat anti penjajahnya dimanifestasikan dalam tindakan yang tidak mengenal rasa takut dan berani mati bertempur meskipun hanya seorang diri melawan penjajah. Peran H. Ishak dalam perencanaan pemberontakan sangat besar, tiap ada pertemuan H. Ishak selalu hadir.

Terkait dengan waktu penyerangan, memang menjadi masalah tersendiri di antara tokoh-tokoh yang ada. Saat pertemuan bulan Mei 1888, di Kaloran Serang dipimpin H. Marjuki, terjadi silang pendapat. H. Marjuki menghendaki sebaiknya jangan dilaksanakan sebelum bulan September, sementara Ki Wasyid menghendaki dilaksanakan tanggal 23 Agustus 1888. Pada pertemuan tanggal 15 Juni 1888 di rumah Ki Wasyid di Beji terjadi lagi perubahan, semula direncanakan bulan Agustus, dimajukan lagi menjadi tanggal 12 Juli 1888. Atas keputusan itu, H. Marjuki tidak setuju dan akhirnya memutuskan kembali ke Mekah termasuk keluarganya. Tanggal 22 Juni, berbarengan dengan haul pendiri Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, diadakan pertemuan besar di rumah Ki Wasyid, membicarakan kembali tentang waktu penyerangan. Dalam pertemuan tersebut ada yang minta ditunda karena menurut mereka terlalu dini. Permintaan penundaan itu muncul dari pengikut H. Marjuki yang memang tidak setuju dengan tanggal yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Baca Juga :  Aspek Sosiologis, Penghargaan Peduli HAM dan Demonstrasi Guru Madrasah Kota Cilegon

Dengan adanya perselisihan antara tokoh-tokoh terkait dengan waktu penyerangan, H. Ishak tampil untuk meyakinkan dan mengatakan bahwa penundaan hanya akan merugikan perjuangan suci dan akan membahayakan anggota. Akhirnya pertemuan memutuskan tanggal pemberontakan akan dilaksanakan tanggal 9 Juni 1888, sebab jika dilaksanakan tanggal 12 Juli dianggap terlalu lama dan khawatir tercium oleh pihak musuh.

Demikian halnya saat menjelang penyerangan, tanggal 7 Juli 1888 malam, Ki Wasyid dan H.Tb Ismail mendatangi rumah H. Ishak di Seneja. Namun H. Ishak tidak ada di rumah, ia sedang menghadiri undangan H. Akhiya di Jombang Wetan yang sedang melaksanakan selamatan khitanan anaknya. Di rumah H. Akhiya ini, berkumpul tokoh pejuang H. Ishak, H. Sangid Jaha, H. Safiudin Leuwi Berem, H. Halim Cibeber, H. Madani Ciore, H. Mahmud Terate Udik,dan H.Tb Kusen Penghulu Cilegon. Saat itulah Nyi Kamsidah, istri H. Ishak mengutus seseorang mendatangi rumah H. Akhiya untuk memberitahukan bahwa Ki Wasyid dan H.Tubagus Ismail ada di rumah H. Ishak ingin bertemu dengan semua kiai yang ada di rumah H. Akhiya.

Tengah malam, rombongan para kiai menemui Ki Wasyid dan H.Tb Ismail di rumah H. Ishak. Malam itu dibicarakan tentang pemantapan rencana dan strategi pemberontakan yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Setelah pertemuan usai, para kiai kembali lagi ke rumah H. Akhiya. Tanggal 9 Juli 1888, merupakan kronik perjuangan rakyat Cilegon. Rumah H. Ishak dijadikan salah satu markas pemberontakan. Serangan awal dilaksanakan menjelang subuh, yang pertama diserang adalah tempat tinggal F. Dumas yang tidak jauh dari rumah H. Ishak dipimpin langsung H.Tb Ismail. Dumas ditangkap lantas dibunuh. Berbarengan dengan itu satu pasukan menyerang Kepatihan, namun Raden Pena, Patih yang sangat dibenci rakyat tidak ada di tempat, hingga pasukan pejuang mundur.

Pagi hari, pasukan berkumpul di markas pemberontakan Gardu Jombang Wetan, oleh Ki Wasyid, H.Tb Ismail dan H. Ishak dibentuk beberapa pasukan yang diberi tugas menyerbu Kepatihan, Rumah Asisten Residen, Penjara dan Rumah Pejabat lainnya yang dianggap sebagai antek-antek penjajah. Hari itu pusat pemerintahan diserbu dari berbagai penjuru, Cilegon menjadi ajang pembantaian para pejabat yang dianggap sudah menyengsarakan rakyat. Darah bercucuran, mayat bergelimpangan. Penyerangan juga terjadi di beberapa wilayah seperti Bojonegara, Grogol, Mancak, Bagendung, dan Krapyak. Sasarannya Asisten Wedana. Kali ini Asisten Wedana Grogol dan Mancak terbunuh, sementara Asisten Wedana Bojonegara, Bagendung dan Krapyak berhasil melarikan diri. Pimpinan pemberontakan, selain Ki Wasyid, H.Tb Ismail dan H. Ishak, ada pula kiai-kiai yang secara khusus diberi tugas oleh Ki Wasyid untuk memimpin penyerbuan dan memburu para pejabat yang melarikan diri seperti Lurah Jasim, H. Mahmud (Terate Udik), H. Abdulgani, H. Usman (Arjawinangun), H. Usman (Tunggak), Lurah Kasar, H. Masna, H. Kamad (Pecek) Sarip (Kubang Kepuh), H. Hamim (Temuputih).

Baca Juga :  Cilegon di Persimpangan, Antara Efisiensi dan Beban Defisit Anggaran

Menurut Laporan Direktur Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda, ada 17 orang yang dibunuh yakni, JHH Gubbels (Asisten Residen), Anna Elizabeth Gubbels (istri Gubbels), Dora Gubbels, Elly Gubbels (anak Gubbels), Henry F Dumas, U Bachet, J Grondhout, Cicile Wijermans (istri Grondhout), Raden Cakradiningrat, Mas Sastradiwiria, Raden Purwadiningrat, Mas Kramadimeja, Sadiman, Jasim, Jamil, Mas Jaya Atmaja, Mas Asidin. Sementara, Raden Pena, patih yang paling dibenci rakyat lolos dari penyerbuan karena tidak ada di Cilegon.

Dari sekian korban yang dibunuh para pejuang, yang menarik adalah terbunuhnya Anna Elizabeth Gubbels (Istri Asisten Residen, Gubbels). Anna Elizabeth lolos melarikan diri menyusuri jalan ke arah Seneja. Sesampainya di Seneja, Anna Elizabeth meminta tolong kepada seorang perempuan untuk dicarikan andong, maksudnya untuk melarikan diri ke arah Serang. Sialnya Anna Elizabeth tidak tahu yang dihadapinya adalah Nyi Kamsidah, istri H. Ishak. Nyi Kamsidah bukannya menolong mencarikan andong, malah menyerang istri Asisten Residen ini. Terjadilah perkelahian antara Nyi Kamsidah dan Anna Elizabeth. Nyi Kamsidah kemudian mendapat bantuan dari pejuang yang ada di situ, kemudian menyemprotkan (menyiram) sejenis cairan ke mata Anna Elizabeth. Elizabeth terbunuh, mayatnya kemudian ditemukan di sekitar jalan menuju Serang. Cairan yang disemprotkan itu, diduga cairan dari cabai atau cengek yang digerus kemudian dicampur air. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi cerita turun temurun di masyarakat tentang adanya perang ‘cengek‘ yang berlangsung di Seneja saat Geger Cilegon.

Tanggal 10 Juli 1888, terjadilah perang yang sesungguhnya antara pasukan Ki Wasyid dan pasukan kompeni Belanda di Toyomerto. Kekuatan militer bersenjata senapan lengkap berhadapan dengan kekuatan rakyat yang dibekali dengan senjata golok, kelewang dan bambu runcing. Jelas pertempuran ini tidak seimbang, Ki Wasyid dan pasukannya mengalami kekalahan. Banyak anggota pasukan yang bergelimpangan. Melihat kekuatan yang tak imbang dari segi persenjataan, pasukan Ki Wasyid kemudian mundur, bisa juga dikatakan pasukan Ki Wasyid mengalami kekalahan.

Baca Juga :  Pernak-pernik Sejarah Pembentukan Kota Cilegon

Pasca pertempuran di Toyomerto, rumah-rumah di kampung Beji, tempat tinggal Ki Wasyid digeledah, namun  tak ditemukan warga yang ada di rumah. Saat itulah kampung Beji luluh lantak dibakar pihak kolonial. Demikian halnya dengan kampung tempat tinggal pimpinan pemberontakan yakni H. Mahmud Terate Udik, tak luput dari sasaran kompeni. Kampung ini digeledah untuk mencari keberadaan H. Mahmud dan pejuang lainnya. H. Mahmud ditangkap dan rumahnya dibakar termasuk rumah penduduk lainnya. Pihak kolonial terus memburu pasukan Ki Wasyid yang sudah terpecah dan menyingkir ke wilayah pegunungan.

Tanggal 17 Juli 1888, seorang pejuang menyerang tentara yang sedang berjaga di pos gardu Benggala Serang. Meskipun hanya seorang diri, tanpa menghiraukan perintah untuk berhenti, terus menyerang dengan senjata golok yang dibawanya. Melihat anak buahnya diserang dengan golok, komandan jaga kemudian membidikkan senjata api menembak pejuang tersebut dan meninggal di tempat. Setelah diadakan pemeriksaan, diidentifikasi jenazah tersebut adalah H. Ishak dari Seneja yang selama ini dicari karena termasuk pimpinan pemberontakan. H. Ishak gugur sebagai kesatria Pemberontakan Cilegon 1888.

Hingga saat ini, tidak ditemukan dimana H. Ishak dikubur termasuk istrinya Nyi Kamsidah. Perlu diketahui bahwa Nyi Kamsidah oleh pengadilan dipersalahkan telah membunuh Anna Elizabeth, ia dijatuhi hukuman mati, namun kemudian diampuni dengan hukuman kerja paksa selama 15 tahun. Sayangnya, tidak ada catatan dimana hukumannya yang terakhir ini dilaksanakan. Dalam daftar orang-orang yang dibuang tidak ada catatan adanya Nyi Kamsidah sehingga kapan meninggalnyapun tidak diketahui.

Berdasarkan catatan atas fakta sejarah di atas, H. Ishak pantas –saya– sebut sebagai pahlawan dalam pemberontakan yang dipimpin  Ki Wasyid tahun 1888 atau yang disebut Pemberontakan Cilegon meskipun dirinya tidak termasuk tokoh pejuang yang diusulkan untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional oleh Pemkot Cilegon. Sejatinya H. Ishak lebih pantas mendamiping Ki Wasyid diusulkan menjadi Pahlawan Nasional tersebab ia sebagai salah seorang tokoh atau pelaku utama dibanding dengan yang bukan pelaku dalam Pemberontakan Cilegon 1888.

Catatan : Tulisan ini disarikan dari buku “Pemberontakan Petani Banten 1888, Karya Prof.Dr. Sartono Kartodirdjo.

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News