CILEGON – Gaduh birokrasi di tatanan Pemerintahan Kota Cilegon menyusul adanya pernyataan Plt Walikota Cilegon, Edi Ariadi yang menyebutkan bahwa Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPU-TR) dihuni oleh player (pemain) terus menuai kontroversi. Di dunia maya, pernyataan istilah ‘player’ itu bahkan mengundang tanda tanya dan sudah menjadi pembahasan sejumlah netizen di media sosial Facebook beberapa hari belakangan.
“Pelatihnya siapa itu pak,” tanya akun Hendri Kusnadi Naifa Ehen, mengomentari judul sebuah pemberitaan di BantenNews.co.id yang dibagikan oleh akun Aldi Zara beberapa hari lalu.
Pernyataan dari Plt Walikota Cilegon yang ramai jadi bahan perbincangan itu bukan tanpa sebab. Istilah player dilontarkan setelah ia dimintai tanggapan oleh wartawan atas kegaduhan di internal pejabat DPU-TR Cilegon, utamanya pejabat di Bidang Cipta Karya terkait dengan legalitas pelaksanaan proyek pembangunan gedung kantor Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM), proyek fisik bernilai Rp15 miliar yang mereka bidangi.
Dosen Ilmu Komunikasi Unsera, Abdul Malik menyatakan istilah yang dilontarkan oleh seorang pejabat tertinggi di pemerintahan yang notabene merupakan jabatan politik, kendati masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) adalah pernyataan yang cenderung ditinjau dari orientasi kekuasaan yang dimiliki.
“Boleh jadi (pernyataan player), itu menunjukkan sisi frustasi dia. Kenapa? karena tangan tak sampai, dia punya kewenangan yang terbatas, tidak bisa melakukan ini itu dan lain sebagainya, sehingga ia seperti tidak bisa mengendalikan birokrasi totally, karena posisinya baru sebatas Plt,” ujarnya melalui sambungan telepon, Jumat (6/7/2018).
Dalam realitasnya, kata dia, kebijakan yang berorientasi pada kepentingan politik dan kekuasaan di tingkat pemerintahan saat ini sulit untuk dihindari bagi ASN. Aparatur sipil terus terjebak dalam tarik ulur kepentingan pejabat politik di atasnya.
“Ini yang repot, proyek pembangunan kemudian orientasinya lebih kepada perspektif politik dan kekuasaan. Jadi kalau semua pejabatnya melihat dengan cara pandang itu, saya kira hal inilah yang akan mudah memunculkan kegaduhan. Karena kalau kita bicara politik dan kekuasaan, urusan membangun menjadi tidak ada, orang membangun demi kekuasaan. Orang mengerjakan proyek demi pencitraan politik dan sebagainya, ini yang bahaya,” terangnya.
Seorang pemimpin di pemerintahan, lanjut Malik, sejatinya mampu membangun harmoni dan menjaga wibawa birokrasi di mata publik, dengan mengedepankan hal-hal substansif yang bermuara pada kepentingan masyarakat.
“Jadi kalau birokrat, birokrat yang terseret dalam politik dan kekuasaan, saya yakin tidak akan ada pembangunan. Kalau pun ada, sifatnya tidak berdasarkan pada kebutuhan. Tapi lebih kepada kepentingan. Kepentingannya apa, ya itu tadi politik dan kekuasaan. Sehingga masyarakat kemudian tidak mendapatkan sebesar-besarnya manfaat dari pembangunan,” tandasnya. (dev/red)