SERANG – Pemilu 2024 yang akan didominasi pemilih dari kelompok milenial dan Gen Z disebut bakal menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik baru.
Menurut pengamat isu-isu global dan strategis Imron Cotan, generasi milenial dan Gen Z tidak terpaku pada pilihan ideologi tertentu. Namun kelompok pemilih tersebut terpaku pada gadget.
“Hal penting yang perlu dicatat adalah generasi milenial dan generasi Z terdeteksi tidak memiliki pilihan ideologi yang ‘fixed’, selain terpaku pada gadget,” ujar Imron dalam webinar nasional bertema “Tantangan dan Peluang Parpol Baru pada Pemilu 2024” seperti dikutip dari suara.com (jaringan BantenNews.co.id), Kamis (21/12/2023).
Imron mengemukakan, jika parpol baru mampu menarik dukungan dari generasi milenial dan gen Z maka punya potensi besar untuk menyundul eksistensi parpol yang sudah ada.
Lebih lanjut, ia menilai partai politik (parpol) baru atau parpol nonparlemen dihadapkan pada pertarungan elektoral yang sengit melawan parpol-parpol yang sudah eksis sebelumnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa untuk bisa merebut dukungan pemilih dan lolos ambang batas, maka parpol baru dan parpol non-parlemen harus bisa menghadirkan gagasan-gagasan baru dan segar.
Pun bisa menawarkan solusi bagi persoalan yang dihadapi generasi milenial dan generasi Z.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan, 85 persen pemilih Indonesia mudah pindah ke partai politik (parpol) lain karena identitas partai atau “party ID” di Indonesia sangat kecil.
“‘Party ID’ di Indonesia sangat kecil. Artinya, secara teori, 85 persen pemilih Indonesia mudah pindah ke lain parpol,” ujar Djayadi dalam webinar nasional bertema “Tantangan dan Peluang Parpol Baru pada Pemilu 2024” seperti dikutip Antara pada Jumat (21/7/2023).
Ia mengemukakan, jika hanya menggunakan satu indikator tersebut maka swing voter menjadi sangat tinggi.
“Selain itu, pengguna internet sangat tinggi. Internet membuat semua partai punya peluang yang sama,” ucapnya.
Namun, ia menguraikan sejumlah tantangan yang harus dihadapi partai baru untuk bisa mencapai ambang batas parlemen minimal 4 persen.
Djayadi mengungkapkan, yang pertama, walau dapat menjadi keuntungan, identitas partai yang rendah dapat menjadi tantangan yang harus dihadapi partai baru. Kedua, volatilitas parpol tinggi di tingkat provinsi, namun cenderung rendah di tingkat nasional.
Ketiga, minat pemilih untuk mendukung partai baru cenderung turun. Performa partai baru paling tinggi terjadi pada tahun 2004.
“Total suara partai baru di 2004 itu sekitar 21,3 persen, hanya kalah dari Golkar yang memperoleh 22 persen lebih. Jumlah itu turun jadi 7,2 persen di 2009 dan seterusnya,” ujar Djayadi.
Keempat, jumlah partai yang masuk di parlemen dalam beberapa kali pemilu cenderung stabil.
“Usia rata-rata partai di atas 15 tahun. Hanya dua partai yang usianya 10 tahun lebih. Artinya, partai-partai di DPR akan bertahan. Ini mempersulit partai baru untuk masuk,” ucapnya.
Kemudian, parpol baru belum dikenal luas di publik. Jayadi mengemukakan, partai baru hanya punya popularitas sekitar 60 persen untuk menopangnya masuk parlemen.
“Upaya sosialisasi partai menjadi kunci. Masalahnya adalah waktu tinggal kurang dari tujuh bulan,” kata dia.
Terakhir, semua partai politik memiliki kecenderungan yang seragam soal kebijakan ekonomi, politik, dan sosial.
Kondisi tersebut tentunya membuat parpol belum mampu saling membedakan diri dalam persoalan tersebut.
“Itulah yang menyebabkan pilihan terhadap partai menjadi stabil,” katanya. (Red)