Fatah Hasan diabadikan menjadi nama ruas jalan dari Ciceri hingga Perempatan Warung Pojok, Cijawa, Kota Serang, Banten. Siapakah sebenarnya Fatah Hasan dan apa jasanya hingga namanya diabadikan untuk dikenang?
K.H. Abdul Fatah Hasan lahir pada Juli 1912, di Kampung Beji, Desa Bojonegara, Kabupaten Serang. Ia adalah putra pertama seorang pengusaha bernama Haji Hasan Adam dan Hajah Zainab. Setelah menamatkan pendidikan di Perguruan Islam Al-Khairiyah, Citangkil, Cilegon, pada tahun 1933, Abdul Fatah Hasan melanjutkan kuliah ke Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, hingga tahun 1939.
Pada 10 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menggelar rapat besar mengenai bentuk negara di Gedung Tyuuoo Sangi-In. Dalam rapat itu, Ketua Sidang Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat mengumumkan adanya anggota-angota baru BPUPK, salah satunya adalah K.H. Abdul Fatah Hasan. Awalnya anggota BPUPKI berjumlah 60 orang, kemudian pada 10 Juli 1945 diumumkan enam anggota tambahan, yaitu K.H. Abdul Fatah Hasan, R. Asikin Natanegara, BKPA Soerjo Hamidjojo, Ir. Pangeran M. Noor, Mr. M. Besar, dan Abdul Kaffar.
Luthfi Widagdo Eddyono dalam tulisan ‘K.H. Abdul Fatah Hasan: Mengungkap Multi Tafsir Pasal UUD 1945 tentang Agama’ yang dimuat Majalah Konstitusi menyebut bahwa salah satu kontribusi KH Abdul Fatah Hasan di BPUPKI adalah terkait pembahasan Pasal 28 ayat (2) mengenai agama dalam rancangan Undang-undang Dasar 1945.
Buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia (1998) menyebut bagaimana kontribusi KH Abdul Fatah Hasan. Ia termasuk dalam panitia yang bertugas membahas keuangan dan perekonomian dengan Ketua Mohammad Hatta, akan tetapi, dalam buku risalah tersebut tercatat K.H. Abdul Fatah Hasan mengomentari hasil Panitia Kecil yang merancang Undang-Undang Dasar, khususnya Pasal 28 ayat (2) mengenai agama dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 yang membahas Rancangan Undang-Undang Dasar.
K.H. Abdul Fatah Hasan di atas mimbar menyatakan, “Paduka Tuan Ketua, sidang yang mulia, lebih dahulu saya minta maaf kepada Tuan-tuan, kalau sekiranya pembicaraan saya ini mengulangi apa yang sudah terjadi dalam rapat kemarin atau tadi. Tetapi sebetulnya saya hanya akan minta dengan hormat perhatian Panitia Kecil yang telah merancang anggaran dasar Undang-undang, terutama yang mengenai bab 10 pasal 28, ayat kedua. Saya takut, kalau-kalau ayat kedua itu, menurut hemat saya, menyinggung perasaan kaum muslimin; walaupun saya yakin bahwa maksud dari Panitia Kecil sekali kali tidak seperti yang akan saya gambarkan, tetapi kalau-kalau juga timbul perasaan pada kaum muslimin, bahwa ayat kedua itu mengandung sedikit suggestie halus, yang menimbulkan perkiraan bahwa dalam Negara Republik Indonesia, salah satu kaum muslimin meninggalkan agamanya dan kembali kepada agama yang lain. Oleh sebab itu, saya minta, supaya perkataan “untuk” yang pertama dalam ayat kedua itu diganti dengan perkataan “yang”, dan perkataan “dan” di situ, itu dibuang sama sekali, jadi bunyinya teks itu begini: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama lain untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing“. Sekian Paduka Tuan Ketua yang terhormat.”
Usulan K.H. Abdul Fatah Hasan tersebut mendapat respon dari Prof. Mr. Dr. Soepomo, Hadji Ah. Sanoesi, Mr. J. Latuharhary, P.F. Dahler, Mr. K.R.M.T. Wongsonagoro, dan Drs. Mohammad Hatta.
Setelah melalui perdebatan, norma tersebut kemudian masuk dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan berbunyi menjadi, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Selepas proklamasi, Belanda melancarkan agresi militer II selama masa 1947-1949. K.H. Abdul Fatah bergerilya bersama-sama pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya. Di kala itu beliau menjabat Acting Bupati Kabupaten Serang, karena Bupati Kolonel K.H. Syam’un harus kembali ke kesatuannya untuk menghadapi Belanda selaku Panglima Divisi 1.000 (Cikal bakal divisi Siliwangi).
Pada 21 Desember 1947, K.H. Abdul Fatah Hasan, K.H. M. Syadeli Hasan bersama-sama Qurtubi Zannah, Mayor Sufri, Lukman dari Tentara Pelajar keluar meninggalkan kepungan tentara Belanda dari gedung kabupaten jam 17.00 menuju markas gabungan perjuangan daerah.
Kolonel K.H. Syam’un, K.H. Abdul Fatah Hasan dan Rombongan menuju Cacaban, Kamasan, Cinangka. Beberapa hari berselang K.H. Abdul Fatah Hasan, Prof. K.H. Syadeli Hasan berpindah menuju daerah Gunung Batur, Gunung Gede, Pulo Merak, guna membina masyarakat Pulo Merak dan sekitarnya.
Pada bulan Juli 1949 di kala kesunyian tiba, daerah Gunung Batur, Gunung Gede, Pulo Merak, dikepung tentara Belanda. Beberapa orang pemimpin republik dari Banten tertangkap Belanda, termasuk K.H. Abdul Fatah Hasan, K.H. Syadeli Hasan, K. Muhyidin, Abdul Kohar Hasan, Kgs. MS Agustic, Abdul Latif, dan lain-lain. Sejak itu K.H. Abdul Fatah Hasan dipisahkan oleh Belanda dibawa ke Serang, sedangkan yang lainnya dibawa ke Cilegon. Sejak saat itu K.H. Abdul Fatah Hasan tidak diketahui keberadaannya.
Setelah tentara Belanda kembali ke negerinya. Keluarga besar Hasan di antaranya Prof. K.H. Syadeli Hasan, K. Abdul Kohar Hasan dan kawan-kawannya mencari K.H. Abdul Fatah Hasan. Saat itu mendapat bantuan dari menteri dalam negeri, Menteri Luar Negeri Wahid Hasyim, dan Bapak Sumaryo (Jaksa Agung). Mereka memberikan fasilitas untuk mencari di setiap penjuru bekas tahanan Belanda di seluruh Indonesia, namun K.H. Abdul Fatah Hasan tidak ditemukan baik hidup maupun mati. Setelah itu K.H. Wahid Hasyim menanyakan kepada penguasa Belanda di Irian Barat (ketika itu masih dijajah) dan mendapat jawaban dari Gubernur Jenderal Belanda dengan perantaraan Dr. Graf (Pembantu Utama Bidang Politik Gubernur Jenderal Belanda). Dia mengatakan bahwa K.H. Abdul Fatah Hasan sudah dilepaskan satu minggu sebelum tentara Belanda meninggalkan Indonesia.
Kementerian Pertahanan Belanda juga memberikan jawaban bahwa K.H. Abdul Fatah Hasan sudah dilepaskan di Indonesia. Kesemuanya itu tidak memberikan jawaban yang jelas dan pasti. Pada pertengahan tahun 1950 dalam siaran Radio Transyordania dalam beritanya menyebutkan, ada salah seorang warga Negara Indonesia akan diadili oleh Pengadilan Negeri Belanda dan dimungkinkan K.H. Abdul Fatah Hasan, karena menyebut-nyebut bahwa yang bersangkutan alumni Al-Azhar Kairo. Beberapa hari berselang datang kawat dari Kementrian Luar Negeri RPA (sebelum Persatuan Arab Mesir) bahwa ada beberapa orang Indonesia dibunuh oleh Marinir Angkatan Laut Belanda di Laut Australia. Dimungkinkan di antaranya adalah K.H. Abdul Fatah Hasan, karena dihubungkan dengan jawaban Gubernur Jenderal Belanda dari Irian Barat bahwa satu minggu sebelum tentara Belanda meninggalkan Indonesia telah dibebaskan.
Pada tahun 1992, Presiden Republik Indonesia menganugrahkan beliau Bintang Mahaputra dan dijadikan sebagai salah satu Pahlawan Nasional dan penyerahannya dilakukan di Istana Negara. (ink/red)
Sumber :
– K.H. Abdul Fatah Hasan: Mengungkap Multi Tafsir Pasal UUD 1945 tentang Agama
– K.H. Abdul Fatah Hasan, Ulama Banten yang Berjasa Membangun Semangat Keberagaman dan Toleransi