![Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Ghufroni](https://i0.wp.com/www.bantennews.co.id/wp-content/uploads/2025/02/IMG-20250214-WA0010-scaled.webp?resize=640%2C480&ssl=1)
SERANG – Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) PP Muhammadiyah menyerahkan surat tembusan ke Polda Banten terkait kasus dugaan kriminalisasi yang dialami Charlie Chandra oleh pengembang Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
“Kami telah menyerahkan surat yang ditujukan kepada Polda Banten terkait kasus PIK 2, di mana klien kami, Charlie Chandra, menjadi korban kriminalisasi oleh pengembang,” ujar Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Ghufroni di Polda Banten, Jumat (14/2/2025).
Ghufroni menjelaskan, surat yang disampaikan telah diterima secara resmi, sebagai tindak lanjut atas putusan praperadilan Pengadilan Negeri Serang yang mengabulkan permohonan Charlie Chandra agar penyelidikan kasusnya kembali dilanjutkan.
Putusan tersebut, kata Ghufroni, dikeluarkan pada 4 Februari 2025, sehingga status Charlie kini kembali menjadi tersangka.
“Atas dasar itu, klien kami meminta bantuan LBHPP Muhammadiyah untuk menjadi kuasa hukum dalam perkara yang dihadapinya,” tambahnya.
Menurutnya, Charlie Chandra merupakan salah satu dari sekian banyak korban kriminalisasi oleh pengembang PIK 2. Tanah seluas 8,7 hektare yang diwarisinya dari orangtuanya kini telah diratakan oleh pengembang, padahal sebelumnya merupakan kawasan tambak.
Sebagai upaya perlindungan hukum, LBHPP Muhammadiyah juga telah mengajukan permohonan ke Mabes Polri pada 10 Februari 2025.
Ghufroni menegaskan, sebelumnya Charlie Chandra pernah ditahan selama dua bulan di Polda Banten atas dugaan pemalsuan sertifikat tanah yang telah dimiliki keluarganya selama 35 tahun. Sertifikat tersebut bahkan dibatalkan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) tanpa melalui proses pengadilan.
“Walaupun kesepakatan damai ini terkesan mengandung unsur pemaksaan, sehingga klien kami tidak punya pilihan lain selain menyetujuinya,” jelas Ghufroni.
Dalam kesepakatan damai sebelumnya, Charlie Chandra diminta mencabut semua gugatan di Pengadilan Negeri dan PTUN, serta menyerahkan sertifikat hak miliknya kepada pengembang PIK 2 melalui kuasa hukum mereka, Muannas Alaidid.
Ghufroni juga mempertanyakan keabsahan proses hukum ini, mengingat pemberi kuasa kepada kantor pengacara Muannas Alaidid sudah meninggal dunia. Selain itu, pelapor dalam perkara ini, Aulia Fahmi, juga telah wafat.
“Ini menjadi pertanyaan besar, mengapa Pengadilan Negeri Serang tidak meneliti lebih lanjut siapa pelapornya. Seharusnya, perkara ini dengan sendirinya sudah gugur dan tidak dapat dilanjutkan oleh Polda Banten, meskipun ada putusan praperadilan,” tegasnya.
Lebih jauh, LBHPP Muhammadiyah bersama tokoh masyarakat serta aktivis petani dan nelayan berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini.
“Kami berharap Polda Banten tidak lagi melanjutkan proses hukum yang justru mengarah pada kriminalisasi terhadap klien kami. Sejak awal, ini adalah upaya pengembang PIK 2 untuk memperoleh tanah secara murah bahkan gratis,” ujarnya.
Menurutnya, kasus ini berawal ketika tanah Charlie Chandra ditawar dengan harga rendah. Namun, karena orang tuanya, Sumiftah, menolak, pihak pengembang justru mencari-cari kesalahan hingga berujung pada upaya kriminalisasi terhadap Charlie.
“Ini jelas bertentangan dengan rasa keadilan dan kemanusiaan di masyarakat,” pungkasnya.
Penulis: Rasyid
Editor: Usman Temposo