Oleh : Moch. Nasir SH,
Pegiat Literasi
Media sosial saat ini menjadi sarana komunikasi efektif dalam masyarakat. Pengguna media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram dan lainnya tak pandang stratifikasi, tak pandang jenis kelamin, siapa saja bisa masuk. Produsen barang bisa memasarkan hasil produksinya, calon anggota legislatif bisa mempromosikan dirinya, bahkan berbagai kalangan juga bisa menyampaikan gagasan meskipun ada juga yang hanya menyampaikan joke-joke candaan. Intinya, media sosial dijadikan sarana untuk berinteraksi dengan orang lain.
Yang menarik dari perkembangan teknologi ini, tak jarang tokoh – tokoh politik baik nasional maupun lokal, tercatat sebagai pengguna media sosial, lembaga – lembaga negara/ pemerintahanpun ramai-ramai menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyampaikan informasi tentang program-program yang dilaksanakan, bahkan pimpinan lembaga pemerintahan tak segan memerintahkan bawahannya untuk membuat akun media sosial baik secara individu maupun atas nama lembaga, semua kegiatan yang terkait dengan tupoksinya diminta untuk di-posting di akun media sosial.
Dalam konteks lokal, saya ambil contoh Pemkot Cilegon. Pemkot Cilegon bisa jadi merupakan salah satu Pemerintah Daerah di Banten yang aktif menggunakan media sosial. Akun resmi Pemkot Cilegon seperti Facebook maupun Instagram selalu dibanjiri dengan kegiatan Walikota Cilegon maupun kegiatan OPD termasuk juga soal pemberian penghargaan terhadap sang kepala pemerintahan itu dari berbagai lembaga, baik lembaga pemerintahan maupun lembaga swasta yang bergerak dalam soal (usaha) pemberian penghargaan. Demikian juga dengan akun media sosial Kecamatan, Kelurahan sampai akun pribadi masing-masing Kepala Dinas, Camat, Lurah maupun Aparatur Sipil Negara yang bernaung di bawah Pemerintah Kota Cilegon, kadang serempak mem-posting kegiatan yang sama.
Tak ada larangan untuk itu, tapi fenomena ini menarik untuk ditelaah berdasarkan kaidah keilmuan, bukan didasarkan atas sentimen maupun perbedaan warna. Dalam konteks inilah, saya membatasi diri pada satu teori yang disebut “Dramaturgi”. Teori ini dikembangkan oleh Erving Goffman yang mendasari bahwa di dalam kegiatan interaksi satu sama lain, sama halnya dengan pertunjukan sebuah drama. Manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya.
Selanjutnya, Goffman menyatakan Individu dapat menyajikan suatu “pertunjukan” apapun bagi orang lain, namun kesan (impression) yang diperoleh orang banyak terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda. Seseorang bisa sangat yakin terhadap pertunjukan yang diperlihatkan kepadanya, tetapi bisa juga bersikap sebaliknya.
Media sosial Pemkot Cilegon dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan berbagai aktivitas khususnya dari Walikota Cilegon, itu artinya difungsikan sebagai panggung sandiwara yang disebut frontstage. Harus dipahami bahwa frontstage ini akan cenderung menampilkan sisi baiknya saja. Postingan media sosial Pemkot Cilegon terhadap kegiatan Walikota Cilegon pada dasarnya adalah upaya interaksi Pemkot Cilegon, tentu saja yang diharapkan adalah dapat perhatian dan kesan yang baik dari pengguna media sosial lain yang melihatnya.
Namun sebagaimana yang dikatakan Goffman, kesan orang bisa saja sangat yakin atau sesuai yang diharapkan, tapi bisa saja sebaliknya.
Salah satu contoh pada tanggal 7 Juni 2023, akun resmi Pemkot Cilegon mem-posting tentang Pemberian Penghargaan Satya Lencana Bakti Inovasi Desa kepada Walikota Cilegon oleh Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi DR (HC) Drs H.Abdul Halim Iskandar, MPD dengan narasi “Atas Kontribusi dan Kerja Keras Dalam Membina Pengembangan Teknologi Tepat Guna (TTG) Desa. Inilah yang disebut sebagai Frontstage, sebuah panggung sandiwara yang menampilkan pertunjukan sisi baiknya dari Walikota Cilegon Helldy Agustian. Tentu saja yang yang diharapkan adalah, masyarakat Cilegon akan merasa bangga dengan adanya pemberian itu.
Bagi orang-orang tertentu, atau pengguna media sosial yang tidak tahu asal muasal pemberian penghargaan itu mungkin akan merasa bangga dan meyakini lakon atau pertunjukan tersebut. Tetapi bagi orang yang tahu latar belakang atau asal muasal adanya pemberian penghargaan itu, bisa jadi justru akan punya kesan (impression) sebaliknya. Inilah yang dinamakan backstage.
Backstage yang saya maksud itu adalah bahwa pemberian penghargaan kepada Walikota Cilegon adalah ikutan dari pemberian penghargaan kepada Wahyudi, salah seorang ASN di Rumah Potong Hewan yang dengan susah payah, atas kerja kerasnya berhasil membuat alat untuk memanfaatkan limbah darah pemotongan hewan untuk dijadikan sebagai pelet ikan dan untuk meminimalisir pencemaran. Alat tersebut dinamakan Pelipur Lara (Pemanfaatan Limbah Pemotongan Hewan Ruminas, Solusi Pencemaran Lingkungan dan Udara). Dengan alat ini Wahyudi berhasil memenangkan lomba TTG tingkat nasional. Jika tak ada Wahyudi, maka tak ada pula pemberian penghargaan kepada Walikota Cilegon terkait dengan TTG.
Sebagaimana diberitakan BantenNews.co.id pada 2 Juni 2023, Wahyudi tidak pernah ada yang membina, modal untuk membuat alat inovatifnya itu menggunakan dana pribadi hingga ratusan juta rupiah, bahkan Wahyudi juga nekad meminjamnya dari sebuah perbankan. Lelakon seperti inilah dalam teori Dramaturgi disebut backstage, yakni peran yang sesungguhnya dalam dunia nyata.
Lantas mengapa kemudian disebut hanya menampilkan sisi baiknya saja?
Jawabannya mudah. Karena Pertama, yang di-posting akun Pemkot Cilegon hanya pemberian penghargaan kepada Walikota saja yang katanya sebagai Pembina TTG, padahal dalam kenyataannya Wahyudi tidak pernah merasa dibina oleh siapapun, jungkir balik sendiri. Kedua, akun Pemkot Cilegon tidak pernah mem-posting pemberian penghargaan terhadap Wahyudi, padahal dialah yang sesungguhnya pelaku utama dari aktor inovatif TTG itu. Akhirnya dapat dikatakan bahwa Pemkot Cilegon, telah memainkan perannya dalam dunia media sosial lebih menekankan pada sisi frontstage dimana dalam mempertunjukkan lakon lebih menonjolkan sisi baiknya saja dari seorang pimpinan daerah.
Oleh karenanya, bisa dikatakan sebagai bentuk dan pola pencitraan layaknya sebuah drama dalam panggung sandiwara, persoalan kesan yang didapat dari lakon pencitraan itu akhirnya beda-beda, ada yang meyakini, ada pula yang sebaliknya, dan itulah yang disebut Dramaturgi Pemkot Cilegon. (*)