CILEGON – Pembahasan Rencana Kerja Anggaran (RKA) Perubahan Tahun Anggaran 2021 khususnya terkait dengan persoalan kesejahteraan guru honorer dan madrasah antara DPRD dan Dinas Pendidikan (Dindik) Cilegon beberapa waktu lalu berlangsung alot.
Ketua Komisi II DPRD Cilegon, Faturohmi mengungkap, kurang adanya peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik itu memicu kekesalan parlemen terhadapan kinerja eksekutif, terutama dalam mewujudkan janji politik Walikota Helldy Agustian.
“Kami menagih komitmen pemerintah daerah masalah kenaikan guru honor. Kemarin di RKA akan ada kenaikan, tapi kenyataannya kan belum signifikan baik secara angka maupun jumlah guru honor. Kami minta ke depan ditambah lagi,” ujarnya, Minggu (26/9/2021).
Politisi Gerindra ini menyebutkan, belum adanya peningkatan kesejahteraan yang merata dan menyeluruh turut memaksa pihaknya agar itu dapat direalisasikan.
“Kenaikan di Perubahan itu Rp1 juta untuk 450 guru, sedangkan data di Dapodik (Data Pokok Pendidikan) kita terdapat sekitar 800 guru honorer. Kami tidak mau eksekutif main-main kaitan persoalan ini,” terangnya.
Tak cukup di situ, menurut Faturohmi parlemen juga melihat belum adanya keseriusan daerah pemerintah daerah yang masih maju mundur dalam menentukan sikap terkait status guru honor yang masih sebagai Tenaga Kerja Sukarela (TKS).
“Intinya kami minta dari seluruh formasi guru honorer agar ditingkatkan baik status maupun honor yang diterima. Dalam anggaran reguler 2022 nanti kami akan meminta pemerintah betul-betul memperhatikan persoalan pelik masalah guru honor yang selalu terkesan jadi komoditas politik, terkesan dipermainkan. Sehingga saya selaku Ketua Komisi II menagih komitmen pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui ditingkatkannya honorarium guru,” tandasnya.
Di bagian lain, Kepala Dindik Cilegon Ismatulah tidak membantah adanya kritisi dari parlemen. Menurut Ismat, dalam kapasitasnya, menyangkut persoalan itu Dindik telah menempuh sejumlah langkah mulai dari melakukan pendataan, verifikasi data, hingga bekerja sama guru dengan organisasi honorer untuk melihat fakta-fakta sebelum hal itu diusulkan dan dibahas bersama DPRD.
“Perjuangan kita hanya sebatas itu. Kalau belakangan ternyata tidak optimal, kita ingin persoalan ini dibahas lagi secara bersama,” katanya.
Dijelaskan Ismat, sejauh ini terdapat sekira 800 guru honorer berstatus TKS yang tersebar di seluruh sekolah dasar, 700 di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan 400 di Taman Kanak-kanak. Jumlah itu belum termasuk guru honorer yang tersebar di sekolah swasta.
“Sebetulnya kita pun berharap agar status TKS itu berubah menjadi THL (Tenaga Harian Lepas), sehingga upah guru dapat disesuaikan dengan aturan yang ada. Dengan status THL kan nilai uangnya (honor) menjadi pasti, tapi kan untuk ke arah itu perlu melibatkan banyak pihak, tidak sebatas Dindik,” ujarnya.
(dev/red)