Beranda Pemerintahan DPRD Cilegon Pertanyakan Anggaran Operasional dan Potensi Ekonomi Proyek BBJP di TPSA...

DPRD Cilegon Pertanyakan Anggaran Operasional dan Potensi Ekonomi Proyek BBJP di TPSA Bagendung

Para pekerja tengah melakukan proses pengolahan sampah menjadi BBJP di TPSA Bagendung Cilegon. (Foto: Maulana/BantenNews.co.id)

CILEGON – Komisi III DPRD Cilegon mempertanyakan beban anggaran operasional dan potensi ekonomi dari proyek pengolahan sampah TPSA Bagendung menjadi Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) atau co-firing.

Pasalnya, program corporate social responsibility (CSR) dari PT Indonesia Power yang dikerjasamakan dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon yang dimulai sejak Agustus 2021 lalu itu hingga kini beban biayanya masih dibantu oleh anak perusahaan BUMN PT PLN (Persero) tersebut.

“Yang saya pahami saat ini belum serah terima penuh dari PT Indonesia Power. Jadi masih ada beberapa elemen yang beban biayanya masih di-support oleh PT Indonesia Power,” kata Ketua Komisi III DPRD, Abdul Ghoffar, Sabtu (22/6/2024) kemarin.

Lantaran dalam operasional proyek pengolahan sampah itu masih ada beberapa elemen yang pembiayaannya masih dibantu oleh PT Indonesia Power, Ghoffar meminta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk mengkaji secara komprehensif jika sewaktu-waktu dukungan anggaran dihentikan.

“Jika support itu selesai maka perlu dirinci berapa besar biaya sesungguhnya untuk menghasilkan BBJP per tonnya? Jika memang potensi nilai ekonominya sangat menjanjikan, maka boleh dibuat perencanaan pola kerja samanya dengan mitra terkait,” ujarnya.

“Jika potensi nilai ekonominya itu kecil, maka perlu dijelaskan oleh OPD terkait kepada masyarakat bahwa saat ini belum maksimal potensi ekonominya. Tidak perlu ditutup-tutupi,” sambung Ghoffar.

Tumpukan Bahan Bakar Jumputan Padat di TPSA Bagendung Cilegon. (Foto: Maulana/BantenNews.co.id)

Sebelumnya, dalam nota kesepakatan kerja sama proyek pengolahan sampah menjadi BBJP itu ditargetkan dapat menghasilkan 30 ton per hari. Namun, dalam pelaksanaannya tak berjalan sesuai harapan lantaran pasokan sampah organik yang tak memadai sehingga mempengaruhi kebutuhan dari PT Indonesia Power sendiri yang akan menggunakannya sebagai campuran batu bara.

“Bahan baku sampah organik dari luar ini yang masuk harus sampai 30 ton, baru kita bisa olah sesuai dengan yang itu. Kalau yang masuk cuma 10 ton, setengah dari itu maksimal. Jadi kadang yang masuk itu cuma 10 ton, yang dihasilkan 5 ton. Kebutuhan Indonesia Power saja yang 5 persen per hari itu belum bisa dipenuhi,” ucap Kepala UPTD TPSA Bagendung, El Mazani, Jumat (21/6/2024).

Selain produktivitas BBJP yang masih jauh dari target, proyek pengolahan sampah itu juga terdapat masalah di bagian pemeliharaan alat yang anggarannya belum termaktub secara khusus. Hal itu diketahui usai adanya 2 mesin pencacah sampah yang mengalami kerusakan cukup lama.

El Mazani mengungkapkan, anggaran pemeliharaan atau perawatan alat proyek pengolahan sampah saat ini masih tergabung dalam anggaran kegiatan alat berat, sehingga belum bisa dicairkan untuk keperluan perbaikan alat yang rusak.

“Jadi untuk dicairkan itu belum bisa karena masih masuk ke sub kegiatan alat berat, sedangkan itu kegiatannya khusus perbaikan alat BBJP tapi di asetnya belum tercatat, gak boleh. Mungkin nanti di ABT kita anggarkan. Anggarannya Rp600 juta untuk perawatan mesin BBJP,” ungkapnya.

Sementara itu, Kepala DLH Kota Cilegon Sabri Mahyudin menambahkan saat ini harga jual BBJP hasil dari proyek pengolahan sampah di TPSA Bagendung dihitung per kalori.

Berdasarkan data yang diterima, untuk harga BBJP dimulai dari yang paling kecil sebesar Rp543.943 ribu untuk 3.800 kalori hingga yang paling besar Rp644.143 ribu untuk 4.500 kalori.

“Harga per ton sesuai kalori, diterima di tempat, termasuk pajak. Biaya produksi (HPP) di TPSA Bagendung saat ini kisaran Rp300 ribu per ton, sudah termasuk biaya perawatan. Sudah masuk slip,” ujarnya.

Untuk diketahui, sejak dimulai hingga saat ini BBJP dari proyek pengolahan sampah di TPSA Bagendung baru memiliki 1 konsumen saja, yakni PT Indonesia Power. Belum bertambahnya jumlah konsumen itu DLH mengklaim karena kebutuhan kalori untuk campuran bahan bakar di pabrik-pabrik lainnya lebih rendah dari yang dihasilkan oleh BBJP.

(STT/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News