Oleh : Ista’Addi Wisudawan,SH,MH
Penggiat Literasi Kota Cilegon
Bagaimana jika seorang kepala daerah melakukan komunikasi yang tidak wajar terhadap salah satu atau sebagian pelaksana lawan jenis di salah satu perangkat daerah, yang menjurus terhadap hal-hal di luar kedinasan dan mengarah kepada komunikasi yang lebih intimate? Hal tersebut mungkin saja terjadi namun tidak pernah ter-publish karena menjaga muruah pemerintahan dan nama baik Kepala Daerah itu sendiri.
Hal tersebut murni merupakan asumsi semata, namun bisa saja terjadi. Kepala Daerah selain diikat oleh aturan-aturan hukum yang mengatur secara Letterlijk juga terikat dengan norma dan etika yang bersumber dari nilai-nilai di masyarakat. Maka dalam tulisan kali ini penulis mencoba untuk membedah bagaimana ketentuan-ketentuan yang mengatur soal penerapan norma dan etika dan mekanisme penegakkan beserta instrumen-instrumen apa saja dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggara Pemerintahan terdiri dari DPRD dan Kepala Derah beserta Perangkat Daerah. Keduanya baik DPRD maupun kepala daerah beserta perangkatnya terikat oleh aturan hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Kode Etik DPRD
Berdasarkan kepada Undang-Undang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD, DPRD diwajibkan untuk menyusun Kode Etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugas untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD yang kemudian dituangkan dalam peraturan DPRD tentang Kode etik DPRD.
Di dalam peraturan tentang Kode Etik DPRD tersebut jelas muatan-muatan apa saja yang menjadi ruang lingkupnya dan mengatur mulai dari hal etis seperti sikap dan perilaku, mengatur mengenai hak dan kewajiban hingga kepada mekanisme jika terjadi pelanggaran terhadap aturan maupun pertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Pimpinan maupun Anggota DPRD wajib untuk menjaga etika dan norma serta tunduk terhadap Tata Tertib dan Kode Etik, jika ditenggarai terjadi pelanggaran atas kode etik tersebut maka yang pertama dapat dilakukan adalah mengajukan pengaduan melalui Badan Kehormatan DPRD dengan disertai bukti yang cukup. Setelahnya dapat dilakukan proses beracara oleh Badan Kehormatan DPRD atas aduan tersebut, jika terbukti secara sah dan meyakinkan maka Badan Kehormatan DPRD dapat memberikan rekomendasi sanksi dari teguran baik lisan maupun tertulis hingga sampai rekomendasi pemberhentian sebagai anggota DPRD yang ditetapkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPRD yang kemudian diumumkan dalam sidang paripurna DPRD.
Point penting dari hal ini adalah keseriusan dari pemerintah dalam hal penegakkan kode etik untuk DPRD dengan menyiapkan seluruh instrumen penting baik dari sisi regulasi hingga kepada instrumen pelaksananya baik secara formil maupun materiil melalui Badan Kehormatan DPRD. Badan Kehormatan DPRD lah yang memiliki peran penting menjaga integritas Anggota DPRD dan muruah DPRD sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.
Kode Etik Pelaksana Perangkat Daerah
Dalam pemerintahan daerah terdiri dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah yang memiliki tugas dan fungsi berbeda-beda berdasarkan urusannya masing-masing. Organisasi Perangkat Daerah dipimpin oleh Kepala Organisasi Perangkat Daerah dan dibantu dengan struktur organisasi di bawahnya dari level eselon 3 hingga pelaksana yang semuanya adalah Aparatur Sipil Negara.
Sama halnya dengan DPRD, para penyelenggara perangkat daerah pun diatur ketat dengan peraturan perundang-undangan yang berisi larangan dan kewajiban serta diikat dengan Kode Etik ASN. Kode etik ASN tersebut dibentuk dari amanat Undang-Undang ASN. Kode etik ASN adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan ASN di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari.
Sedikit berbeda dengan mekanisme yang ada di DPRD sebagaimana disampaikan di awal tadi, untuk penerapan kode etik ASN berdasarkan kepada PP Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin PNS dan juga diatur dalam dalam Permendagri Nomor 15 tahun 2020 tentang Kode Etik ASN di dalamnya mengatur dengan sangat rinci dan mengikat secara luas dari mulai hak dan kewajiban, larangan, mekanisme pemeriksaan hingga penjatuhan sanksi. Materi-materi aturannya jauh berbeda dengan kode etik DPRD semisal dalam disiplin PNS ada larangan terkait aktivitas politik.
Namun ada satu kesamaan yakni dalam penyediaan instrumen-instrumen penegakkan kode etik DPRD dan Kode etik ASN. Dalam PP Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin PNS dan Permendagri Nomor 15 tahun 2020 tentang Kode Etik ASN jelas diatur mengenai mekanisme dugaan pelanggaran, mekanisme pemeriksaan, mekanisme penjatuhan sanksi hingga kepada mekanisme pemberhentian PNS. Artinya, baik DPRD maupun PNS selaku pelaksana perangkat daerah yang merupakan salah satu dari unsur penyelenggaraan pemerintahan diatur secara tegas mengenai instrumen penegakkan jika terjadi pelanggaran kode etik bagi keduanya.
Kode Etik bagi Kepala Daerah
Dalam pembahasan di atas, dapat kita lihat bagaimana peraturan perundang-undangan mencoba memberikan batasan di luar larangan dan kewajiban terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government) dengan mengikat etika yang bersumber dari nilai-nilai di masyarakat dengan membentuk kode etik bagi ASN dan DPRD melalui produk hukum masing-masing.
Namun berbeda halnya dengan kepala daerah. Dalam konteks kode etik ternyata tidak ada aturan hukum yang mengatur secara konkret mengenai kode etik kepala daerah. Kepala daerah hanya diikat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan kepentingan terselenggaranya pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government). Hal-hal yang menilai etis atau tidak etis yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh Kepala Daerah hanya dituangkan dengan klausa dalam kewajiban Kepala Daerah untuk menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain tidak ada ketentuan materiilnya, ketentuan formilnya pun tidak diatur sama sekali. Berbeda dengan regulasi kode etik DPRD yang memberikan kewenangan kepada Badan Kehormatan DPRD untuk melaksanakan kode etik dan mengatur hingga penerapan mekanisme penjatuhan sanksi. Artinya ada instrumen khusus yang diberikan amanat dan kewenangan dalam hal menjaga kode etik anggota dan Pimpinan DPRD.
Sama halnya dengan aturan yang mengikat tentang kode etik ASN, dalam Permendagri sebagaimana tadi disebutkan diatur mengenai sanksi dan pemberian kewenangan bagi pejabat-pejabat tertentu (tergantung dengan subyek yang diduga melakukan pelanggaran) untuk melaksanakan ketentuan baik dari pemeriksaan hingga kewenangan dalam menjatuhkan sanksi terkait dengan kode etik.
Contoh sebuah kegaduhan yang terjadi beberapa waktu lalu adalah poligami yang dilakukan salah satu oknum Bupati di Jawa Barat beberapa waktu lalu, secara ketentuan etika kepala daerah tidak diatur. Sebagaimana keyakinan masyarakat kita bahwa kepala daerah merupakan sosok yang dapat memberikan tauladan kepada masyarakat seharusnya juga harus diikat dengan ketentuan-ketentuan dalam menjaga etika dan norma sebagaimana DPRD dan ASN diikat dengan kode etik. Walaupun pada akhirnya pada kasus Kepala Daerah tersebut diberhentikan melalui Keputusan Presiden berdasarkan Surat Keputusan DPRD kabupaten tersebut. Dengan adanya kondisi tersebut, instrumen penegakkan etika hanya dapat dilakukan secara politis melalui DPRD.
Kesimpulan
I Nyoman Sumaryadi dalam seorang sosiolog pemerintahan dalam salah satu bukunya menyampaikan bahwa Etika pemerintahan merupakan ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Etika pemerintahan tersebut mengacu pada kode etik profesional khusus bagi mereka yang bekerja dan untuk pemerintahan.
Jika saja ada aturan yang mengatur secara materiil maupun secara formil tentang etika kepala daerah, maka parameter tindakan yang dilakukan oleh kepala daerah dapat menjadi jelas. Tolok ukur boleh atau tidaknya, pantas atau tidaknya hal-hal yang dilakukan oleh kepala daerah menjadi jelas. Masyarakat secara umum juga dapat diuntungkan dengan adanya regulasi yang mengatur sedemikian rupa, misalnya masyakat dapat dengan mudah menagih janji-janji politiknya. Karena memenuhi janji dalam masyarakat kita juga diyakini sebagai adab yang baik, sehingga dapat dijadikan sebuah nilai untuk dapat diserap menjadi sebuah norma dan etika. Sehingga konklusinya dalam hal pemerintahan seorang kepala daerah dalam menepati janji-janji politiknya adalah sebuah etika yang harus dilaksanakan. (*)