CILEGON – Suana tegang menggelayut di langit Cilegon, yang merupakan afdeling Anyer. Malam Minggu 8 Juli 1888 diam-diam Haji Tubagus Ismail menuju Saneja memimpin pasukannya. Itulah malam ketika pemberontakan Geger Cilegon dimulai.
Rombongan pemberontak bergabung dari Arjawinangun, Gulacir dan berbagai desa dari sekitar Saneja. Rombongan tersebut bergerak menuju tempat tinggal pejabat-pejabat pemerintah kolonial di Cilegon.
Rumah Dumas, seorang juru tulis kantor asisten residen merupakan sasaran pertama rombongan pemberontak. Rumah tersebut merupakan rumah pejabat pertama yang terletak di jalur Saneja menuju Cilegon. Rombongan itu meluapkan rasa benci mereka terhadap pejabat kolonial setempat. kebencian rakyat bertambah terhadap dumas karena perannya sebagai juru tulis pada pengadilan distrik.
Udara dingin dinihari pukul 2 pagi, 9 Juli 1888, amarah membuncah di hati rakyat. Mereka menggedor rumah Dumas membangunkan juru tulis sekeluarga.
Terbangun dengan suasana kaget, Dumas akhirnya membukakan pintu ingin mengetahui apa yang sedang terjadi. Pada saat yang sama 4 orang pembenrotak langsung memasuki rumah Dumas sambil berteriak Sabil Allah sambil menyerang Dumas dengan kelewang.
Dalam suasana gelap kacau penuh kepanikan, Dumas berhasil lolos menyelamatkan diri ke rumah jaksa tetangganya. Sementara itu, istri Dumas dan dua anaknya berusaha menyelamatkan diri ke rumah Ajun kolektor Raden Purwadiningrat melalui pintu belakang. Rumah sudah dikepung rombongan pemberontak dan mereka gagal menyelamatkan diri.
Istri Dumas terkena sabetan golok pada bahu kanan. Karena dikira babu, ia dibebaskan. Sementara Minah, babu yang sebenarnya kedapatan sedang menggendong anak Dumas yang paling kecil. Minah bertubi-tubi mendapatkan bacokan dan ditemukan terkapar di tengah sawah bersama anak Dumas yang masih kecil. Keduanya lolos dari maut. Rumah Dumas diobrak-abrik hingga luluh lantak.
Pasukan pemberontak kemudian mencari Dumas di rumah jaksa. Teriakan terdengar di segenap penjuru. Namun sang Jaksa dan Dumas tidak bergeming menahan tegang urat syaraf. Setelah menombak seluruh bagian belakang rumah jaksa, pasukan pemberontak meninggalkan lokasi.
Di tenggara Cilegon rombongan lain bergerak ke Kepatihan. Tapi nihil, Sang Patih malam itu sedang berada di Serang. Padahal, Patih masuk daftar pejabat yang akan dihabisi malam itu.
Kabar penyerangan tersebut langsung tersiar di Cilegon. Salah satu yang menerima kabar tersebut Wedana melalui mulut Johar, opas yang bertugas di rumah jaksa, tempat Dumas menyelamatkan diri. Johar menyampaikan bahwa ada sekelompok rampok menyerang rumah juru tulis itu.
Tidak ada tanggapan dari Wedana, opas lain bernama Nuriman bergegas ke penjara memininta bala bantuan kepada sipir penjara. Nuriman dan dua orang sipir baku hantam di rumah Dumas dan mendapat serangan pemberontak yang bersenjata tombak. Ketiganya kemudian tunggang langgang meninggalkan lokasi dengan luka tombak.
Nuriman menyelamatkan diri ke rumah Jaro Jombang Wetan. Karena Jaro tak ada di rumah, Nuriman melanjutkan langkah seribu ke gardu Pasar Jombang memukul kentongan seperti orang kesurupan. Nihil, tak seorangpun keluar menemuinya.
Pagi-pagi sekali, Senin 9 Juli 1888, Wedana dan Ajun Kolektor mengutus orang ke Anyer dan Serang, meneruskan informasi pemberontakan. Kamid, yang merupakan bekas bujang di rumah Dumas ditangkap karena diduga menjadi spionase pemberontak.
Dalam suasana rawan itu, Grondhout, kepala pengeboran mengutus babu bernama Saunah untuk menyewa dokar untuk menyelamatkan diri ke Serang. Saunah mendapat dokar di Jombang Masjid, namun pemilik dokar mengatakan bahwa pemberontak mendekati Cilegon, sunah kembali kepada majikannya tanpa membawa dokar.
Bersambung…
(Red)