SERANG – Kasus Muhyani seorang warga Kampung Ketileng, Kelurahan Teritih, Kecamatan Walantaka, Kota Serang yang jadi tersangka karena menusuk pencuri kambing menjadi perhatian publik.
Kejadian itu terjadi pada bulan Februari lalu. Muhyani menusuk satu dari dua pencuri kambing hingga tewas karena berusaha membela diri. Kini ia jadi tersangka dan sempat ditahan di Rutan kelas IIB Serang sampai akhirnya penangguhan penahannya dikabulkan pada Rabu (13/12/2023) lalu.
Dekan sekaligus Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Ferry Fathurokhman mengatakan ada 3 syarat yang harus dipenuhi dalam mempidanakan seseorang, yaitu terpenuhinya unsur dari sebuah tindak pidana, ada kesalahan (bisa sengaja atau lalai) dan tidak adanya alasan penghapus pidana.
Dalam persoalan Muhyani, ia menduga mungkin persoalannya ada di alasan ketiga, yaitu mengenai alasan penghapusan pidana yang perlu dilihat apakah ada ancaman terhadap Muhyani.
“Salah satu alasan pembenar adalah pembelaan terpaksa dalam bahasa belandanya disebut Noodweer. Pembelaan terpaksa itu adalah tindakan yang dilakukan untuk melakukan pembelaan diri terhadap nyawa atau harta jadi bisa ancamannya terhadap nyawa kita atau harta kita, bahkan bukan harta seseorang pribadi saja (tapi) harta tetangga juga bisa. Nah jadi ada ancaman. Kalau dari kontruksi perbuatan tadi dilihat ada maling kambing dan dia mengeluarkan golok itu berarti ada ancaman terhadap dirinya (Muhyani) yang sekarang jadi terdakwa,” kata Ferry.
Menurut Ferry apabila terjadi Noodweer maka seseorang tidak dapat dipidana. Namun, perlu adanya pembuktian apakah benar ada Noodweer atau tidak. Dalam sistem peradilan, pengadilan lah tempat untuk memutuskan apakah terdakwa terbukti membela diri atau sengaja melakukan penikaman.
Mengingat bahwa berkas dakwaan tengah disusun JPU dan akan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Serang, menurutnya memang penting untuk adanya pembuktian di depan hakim agar terdakwa mendapatkan kepastian hukum.
“Dalam perspektif sistem peradilan pidana memang alasan penghapus pidana itu harus dibuktikan dulu di persidangan karena bisa jadi itu betul-betul ada (Noodweer) bisa jadi tidak ada sebetulnya jadi cara pembuktiannya itu ya di persidangan. Apalagi kalau memang perlu pembuktian perlu kejelasan perlu keterangan kepastian tentang suatu peristiwanya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Ferry juga mencontohkan adanya kasus pembelaan diri seorang pria berinisial S atas dua begal di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menyebabkan keduanya meninggal dunia pada 2022 silam. Pria itu sempat dijadikan tersangka namun kemudian berakhir dengan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Kapolda NTB pada masa itu yaitu Irjen Djoko Purwanto.
“Apakah dalam praktek ada yang tidak melalui persidangan? ada kasus NTB misalnya itu tidak melalui persidangan kaena dipandang peristiwanya sudah dapat dilihat secara bersama dalam pengertian dia pulang malam dibegal dan itu bisa dibuktikan sehingga itu di-skip persidangannya gaada,” kata Ferry.
Terakhir, dia menyarankan jika memang sudah terlanjur akan masuk persidangan semoga nantinya ada kepastian hukum bagi terdakwa agar tidak kembali jadi persoalan.
“Saran saya terus aja sidang supaya bisa dibuktikan dan betul-betul dia misalnya memenuhi apa yang terjadi dalam alasan pembelaan terpaksa (saat peristiwa penusukan) itu berarti dia harus dibebaskan,” tambahnya. (Dra/red)