Beranda Opini Dampak Politik Balas Budi Pasca Pilkada 

Dampak Politik Balas Budi Pasca Pilkada 

Politik uang. (ilustrasi olah digital)

Oleh: Ahmad Yusuf Afandi

Politik adalah cara seseorang memperoleh kekuasaan di pemerintahan dalam suatu negara. Politik bisa berwarna putih, hitam atau abu-abu dan lainnya. Karena itulah Politik penuh warna. Terdapat banyak aktor dalam politik dan skenario disusun dengan cermat oleh para direktur politik. Iklim politik suatu negara juga ditentukan oleh peraturan politik dalam struktur pemerintahan suatu negara.

Pengalihan kekuasaan pemerintahan bersifat konstitusional dan sebaliknya, hal tersebut menunjukkan bahwa negara tersebut adalah negara hukum. Pemilihan umum menjadi serangkaian cara atau proses untuk melakukan peralihan politik kekuasaan pemerintahan di suatu negara.

Pemilihan umum atau pilkada menjadi salah satu cara untuk mengganti struktur kekuasaan pada akhir masa jabatan baik legislatif maupun eksekutif. Pemerintahan yang sedang berlangsung sekarang ini dipengaruhi oleh situasi politik sebelum dan sesudah pemilihan umum.

Pilkada adalah bentuk demokrasi yang memberikan kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin di tingkat daerah, seperti provinsi atau kabupaten/kota. Harapannya, proses demokrasi ini akan menciptakan pemimpin yang mampu menghasilkan perubahan positif dan pembangunan yang adil bagi semua warga.

Namun di sisi lain, setelah Pilkada dilaksanakan, sering kali terjadi fenomena praktik politik balas budi. Dalam situasi ini, pemenang Pemilihan Kepala Daerah merasa memiliki kewajiban untuk menghargai dan membalas jasa kepada mereka yang telah memberikan dukungan atau berperan besar dalam kesuksesannya.

Sehingga, fenomena ini seringkali menarik perhatian publik karena kebijakan politik balas budi kerap kali tidak memihak pada kepentingan umum, tetapi lebih kepada kelompok-kelompok yang memberikan dukungan politik. Bentuk balas budi itu bisa berupa penempatan jabatan penting di pemerintahan, pengalokasian proyek, atau memberikan kesempatan ekonomi yang lebih besar kepada kelompok-kelompok spesifik.

Kondisi ini berpotensi melemahkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik. Tindakan politik untuk membalas budi juga dapat menimbulkan permasalahan dalam hal integritas dan akuntabilitas pejabat publik. Pemimpin yang terpilih umumnya lebih condong memprioritaskan kepentingan kelompok atau individu yang telah membantunya naik ke posisi pemerintahan, daripada mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Sebagai hasilnya, kebijakan yang diambil seringkali tidak memprioritaskan kepentingan masyarakat umum, tetapi lebih cenderung menguntungkan kelompok elit politik dan ekonomi dengan segala keuntungan jangka pendek yang diperoleh. Di samping itu, politik balas budi juga bisa menimbulkan ketergantungan yang tidak sehat antara pemimpin daerah dan pendukung politisnya. Sering kali, kondisi ini menjadi penghalang bagi terlaksananya reformasi kebijakan yang diperlukan untuk mewujudkan pembangunan daerah yang lebih berkelanjutan.

Sebagai contohnya, Pemuda Pancasila menjadi sasaran mobilisasi massa. Hal ini menanggapi ungkapan dukungan Pemuda Pancasila Jawa Timur terhadap pasangan Rasiyo-Lucy pada Pilkada Surabaya tahun 2015. Pernyataan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Dewan Pimpinan Pemuda Pancasila Jawa Timur La Nyalla Mataliti. Dukungan terhadap pasangan Rasiyo- Lucy oleh pemuda Pancasila tumbuh dari diskusi panjang di kalangan elite pemuda Pancasila, termasuk La Nyalla. Pasalnya, nama Rasiyo-Lucy muncul di detik-detik terakhir masa pencalonan calon wali kota dan wakil wali kota Surabaya sehingga menimbulkan anggapan bahwa nama Rasiyo-Lusy hanya digunakan dengan sengaja karena, pada awalnya tidak ada pilkada yang memiliki calon tunggal dan Risma sebagai incumbent kembali didaftarkan sebagai calon walikota. Dukungan tersebut pada akhirnya menimbulkan pertanyaan apakah ada kepentingan lain Rasiyo-Lucy dibalik dukungannya terhadap pemuda Pancasila.

Sebab hal ini lah yang menjadi kontribusi atau kesempatan bagi praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang semakin merusak kualitas tata kelola pemerintahan di daerah. Selain itu, politik balas budi sering kali menghambat rekrutmen individu yang berkompeten dalam pemerintahan. Seringkali, individu-individu yang memiliki afiliasi politik dengan pemimpin terpilih diberikan posisi strategis di pemerintahan tanpa mempertimbangkan secara memadai kompetensi atau keahlian mereka. Dampaknya terasa langsung pada kualitas pelayanan publik, efisiensi birokrasi, dan pencapaian target pembangunan daerah.

Mahasiswa pengantar ilmu politik, prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UNTIRTA

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News