SERANG – Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Provinsi Banten mendorong setiap sekolah dan satuan pendidikan untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Pembentukan TPPK itu untuk mencegah kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, baik dalam bentuk verbal, fisik, psikis, atau melalui serangan media siber, mengalami peningkatan yang signifikan.
Ketua Komnas PA Provinsi Banten Hendry Gunawan mengatakan, pembentukan TPPK sejalan dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
“Pembentukan TPPK ini perlu tindakan segera untuk melindungi generasi muda di Banten,” kata pria yang akrab disapa Gugun itu, Rabu (8/11/2023).
Gugun mengungkapkan, berdasarkan data pendampingan hingga Oktober 2023, tercatat 72 kasus yang melibatkan anak-anak dalam berbagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak mereka.
Dalam rincian tersebut, terdapat tren mengkhawatirkan, dengan 34 kasus kekerasan fisik dan 6 kasus kekerasan psikis yang merugikan anak-anak secara fisik dan mental. Selain itu, terdapat 20 kasus pencabulan dan 5 kasus persetubuhan yang melibatkan anak-anak yang sangat rentan, serta 4 kasus hak asuh yang melibatkan anak sebagai korban dalam konflik keluarga.
“Tambahan 2 kasus di lingkungan keluarga terkait penelantaran anak dan 1 kasus eksploitasi yang berdampak negatif pada masa depan anak-anak,” ungkapnya.
Gugun menilai, salah satu poin kunci dalam Permendikbud adalah pembentukan TPPK di sekolah dan Satgas oleh Pemerintah Daerah (Pemda).
“TPPK ini memiliki peran penting dalam memastikan pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dengan respons yang cepat dan tepat. Pencegahan dan penanganan kekerasan harus menjadi prioritas utama di lembaga-lembaga pendidikan,” ucapnya.
Gugun menjelaskan, Tim PPK dapat dibentuk oleh satuan pendidikan dengan keanggotaan berjumlah gasal minimal 3 orang perwakilan dari unsur Pendidik yang tidak ditugaskan sebagai kepala satuan pendidikan, Komite Sekolah atau perwakilan orang tua/wali, dan jika diperlukan, dapat ditambahkan Tenaga Kependidikan.
“Permendikbudristek Nomor 46 juga memandatkan kerjasama antara sekolah dan Pemda dalam menangani kasus kekerasan di satuan pendidikan. Pemda wajib membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Anak, yang ditunjuk oleh kepala daerah,” jelasnya.
“Satgas PPK yang terbentuk oleh dinas di kabupaten, kota, dan provinsi harus melibatkan perwakilan Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Komnas Perlindungan Anak sebagai perwakilan organisasi atau bidang profesi yang terkait dengan anak. Tugas utama Satgas PPK daerah adalah membantu Tim PPK sekolah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan,” sambungnya.
Menurut Gugun, pemerintah daerah bersama masyarakat memiliki bertanggung jawab yang besar untuk memberikan edukasi terkait pencegahan kekerasan anak.
“Sosialisasi menjadi salah satu bentuk upaya preventif terkait kebijakan dan program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan kepada satuan pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk penyandang disabilitas,” ujarnya.
Pelatihan untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia (SDM), lanjut Gugun, juga perlu diselenggarakan bagi Tim PPK dan Satuan Tugas PPK agar mereka siap dalam melaksanakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Diharapkan bahwa TPPK dan Satgas ini dapat dibentuk dalam waktu 6-12 bulan setelah berlakunya Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 pada bulan Agustus lalu. Tujuannya adalah untuk memastikan penanganan masalah kekerasan di sekolah dapat dilakukan dengan cepat.
“Jika ada laporan mengenai kekerasan, kedua kelompok kerja ini dapat berkolaborasi dan segera mengatasinya serta memastikan pemulihan bagi korban. Di sisi lain, pelaku yang merupakan peserta didik akan dikenai sanksi administratif yang memiliki unsur pendidikan, sambil tetap memperhatikan hak pendidikan peserta didik,” ucapnya.
Kembali dikatakan Gugun, dalam Permendikbudristek ini bentuk kekerasan yang diatur mencakup kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi, intoleransi, kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan, dan bentuk kekerasan lainnya.
Peraturan ini juga dengan tegas menyatakan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan, baik dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan sejenisnya.
“Dengan tekad yang kuat untuk mencegah kekerasan anak di sekolah dan mendapat dukungan dari pemerintah daerah, diharapkan lingkungan pendidikan di Banten akan menjadi tempat yang aman dan bebas dari kekerasan, sehingga anak-anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik,” tandasnya.
(Mir/Red)