
Tahun 1926 merupakan momentum penting dalam sejarah masyarakat Banten. Sejarah mencatat pada tanggal 12-15 Nopember 1926 daerah Labuan, Caringin dan Menes di wilayah Pandegelang, Banten menjadi tempat pertempuran antara massa petani, di bawah pimpinan ulama lokal dan simpatisan PKI, dengan tentara Belanda.
“Pada akhir perlawanan 99 orang dibuang ke Boven Digul, 9 orang dihukum penjara seumur hidup, 4 orang dihukum mati dan puluhan korban petani dan tentara Belanda,” sepertu ditulis dalam buku Sickle and Crescent: The Communist Revolt of 1926 in Banten karya Michael C. Williams.
Pertemuan antara agama Islam dan ideologi Komunisme merupakan bagian sejarah di Banten dalam konteks perlawanan terhadap kolonial. “Mereka juga pernah berkumpul dan bekerja sama demi suatu tujuan. Kejadian perlawanan terhadap penjajah Belanda dan antek-anteknya di daerah Banten pada tahun 1926 adalah salah satu contoh kerja sama kaum Islam dan Komunis.”
Menurut catatan sejarah, PKI masuk ke daerah Banten pada tahun 1923, dimulai dengan membuat Sarekat Rakjat dibawah pimpinan Oesadiningrat, namun gagal. Baru pada Agustus 1925 dengan kembalinya seorang putra Banten, Tubagus Alipan, gelar Tubagus digunakan belakangan untuk menatik simpati masyarakat Banten, bersama kader PKI Priangan (Sunda) bernama Puradisastra dan kader PKI Batavia bernama Achmad Bassaif yang fasih berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan tentang Islam yang kuat.
Di tangan Tubagus Alipan dan Achmad Bassaif PKI baru memiliki cabang seksi yang kuat.Simpati dan ketertarikan ulama dan petani didapat dengan mendirikan sebuah perkumpulan kemasyarakatan yang bernama “Rukun Asli”.
Perlahan dengan bantuan Achmad Bassaif dan Hassan (PKI Sumatera Barat) yang memiliki pengetahuan tentang Islam, para ulama ditarik ke dalam PKI yang sangat revolusioner dan tidak kenal kompromi. Sedangkan para petani tertarik dengan janji-janji bahwa mereka tidak akan lagi dikenakan pajak tinggi seperti dibawah Belanda dan bebas dari tekanan para priyayi yang menjadi antek Belanda.
Pada akhirnya buku, William menunjukkan pemberontakan PKI 1926 masih prematur, dimana para simpatisan hanya terjebak pada janji-janji, ikut-ikutan, dibawah tekanan para ulama lokal dan jawara untuk bergabung dengan PKI.
Kondisi hidup yang berat dan penderitaan sehari-hari dibawah pemerintah kolonial lebih menjadi faktor keterlibatan mereka dalam pemberontakan dengan PKI, bahkan untuk para ulama Islam sekalipun, dibandingkan dengan kesamaan antara ajaran Islam dan Komunisme yang dipropagandakan oleh simpatisan PKI.
(Red)