Carut Marut Pengelolaan SMA SMK
Oleh : Deny Surya Permana*
Memasuki masa penerimaan peserta didik baru, aturan boleh tidak sekolah melakukan pungutan masih belum jelas. Kepala sekolah menjadi dilema, tidak memungut sekolah terancam bubar, memungut beresiko dipecat.
Setahun sudah pengelolaan SMA dan SMK dibawah dinas pendidikan provinsi. Masih banyak persoalan yang harus dibenahi. Mulai dari persoalaan penerimaan peserta didik baru secara online, penataan pegawai, hingga dilema pungutan kepada peserta didik.
Kebijakan Gubernur Banten terkait sekolah gratis harus diapresiasi. Tetapi nampaknya kebijakan tersebut terlalu terburu-buru, tanpa dilakukan kajian mendalam. Akibatnya, banyak sekolah yang tersendat-sendat dalam pengelolaannya. Dana BOS yang cairnya tidak menentu membuat kepala sekolah harus pintar mencari dana talangan agar operasional sekolah tetap berjalan.
Ketidakjelasan aturan mengenai larangan pungutan membuat kepala sekolah bingung mengambil kebijakan. Jika memungut, maka terkena tuduhan pungli dan harus siap mendapatkan sanksi, baik dipidanakan bahkan dipecat dari jabatannya. Jika tidak memungut, maka sekolah terancam bubar karena kekurangan biaya operasional. Dilema, seperti makan buah simalakama.
Pelimpahan pengelolaan SMA dan SMK ke provinsi harusnya dijadikan momentum untuk perbaikan tata kelola sekolah. Pintu masuknya bisa mulai dari melakukan open data sekolah. Sekolah menjadi lembaga transparan. Semua data sekolah bisa diakses oleh publik.
Sehingga stigma sekolah sebagai salah satu lembaga tertutup dalam pengelolaan anggaran bisa diperbaiki. Gubernur melalui dinas pendidikan mendorong sekolah melakukan open data untuk menghilangkan korupsi di sekolah. Bentuknya dengan program Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah Partisipatif (APBS Partisipatif). Semua warga sekolah terlibat dalam perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan program sekolah.
Dalam pemberitaan sering kita dengar pengalaman terbaik pengelolaan dana desa. Dana desa dikelola secara transparan. Seluruh program dan biaya yang diperlukan dipampang di alun-alun desa. Sehingga semua warga desa bisa mengetahui sekaligus mengawasi. Ini salah satu bukti pengelonaan dana desa secara transparan bisa dilakukan. Begitu juga dengan pengelolaan anggaran sekolah, bisa dilakukan secara transparan.
Semua warga sekolah, baik guru, tata usaha, siswa, orang tua siswa terlibat aktif dalam penyusunan anggaran sekolah. Duduk bersama untuk membahas program sekolah. Semua kebutuhan diinventarisir, dan dilakukan secara bottom up. Sehingga apa yang menjadi kebutuhan warga sekolah dapat diakomodir.
Masyarakat luas dapat mengakesnya. Program sekolah dipampang di sekolah, atau lebih hebat lagi bisa dipajang dalam website sekolah. Di era keterbukaan seperti sekarang ini, hal tersebut sudah suatu keharusan. Anggaran sekolah jangan ditutupi, sehingga rawan dikorupsi.
Jangan dikira sekolah sebagai lembaga pendidikan bisa terbebas dari korupsi. Lemahnya partisipasi dan pengawasan masyarakat seperti sekarang ini membuat anggaran sekolah rawan dikorupsi.
Bentuk korupsi disekolah bisa berupa mark up anggaran, pola seperti ini sangat rentan terjadi karena pengelolaan anggaran sekolah tertutup. Mulai dari pengadaan kertas, spidol, dan barang habis pakai lainnya bisa “dimainkan”.
Apalagi pembangunan ruang kelas baru dan rehab yang dilakukan secara swakelola oleh pihak sekolah jika tidak diawasi bisa menjadi salah satu celah korupsi. Mengingat selama ini pengelonaan anggaran sekolah sangat tertutup. Anggaran hanya diketahui oleh kepala sekolah, bandahara, dan Tuhan.
Selain itu, perjalan dinas fiktif juga banyak ditemukan. Hal tersebut dilakukan untuk mengakali pos dana BOS. Modus lain, terjadi anggaran ganda yang dibebankan kepada pos dana BOS dan Komite Sekolah.
Kemudian penerimaan peserta didik baru kerap dijadikan ajang pungutan liar. Berdasarkan data, penerimaan peserta didik baru tahun 2017 di Provinsi Banten banyak dikeluhkan orang tua siswa terkait pungutan liar.
Lalu sampai kapan carut marut pengelolaan sekolah dibiarkan? Pelimpahan kewenangan pengelolaan SMA dan SMK seharunya dijadikan momentum untuk melakukan perbaikan. Provinsi Banten bisa memulainya. Tinggal kemauan gubernur dan pejabat dinas. Mumpung masih diawal tahun pembelajaran. (*)
*Penulis merupakan pegiat gerakan Banten Bersih.