BJS : Dari Komunitas ke Konservasi Bahasa
Oleh : Zaki Nabiha, warga Serang tinggal di Jakarta
Dari kawasan Simpang Lima, Semarang, Taksi yang saya tumpangi bergerak menuju bandara. Smartpone berdering. Tertera wajah dan nama, kawan di kampung halaman yang sudah lama tak jumpa. Kami pun berbincang, layanan video call, salah satu aplikasi pesan berbasis data menjalankan tugasnya cukup prima. Sungguh, teknologi informasi telah merevolusi cara berkomunikasi.
Tapi, bukan di situ pointnya. Yang hendak saya sampaikan di sini adalah penggunaan bahasa dalam berinteraksi. Leonard Bloomfield, ahli linguistik struktural, guru besar di beberapa kampus bergengsi di Amerika Serikat menyatakan dalam bukunya, Language, bahwa bahasa adalah insrument utama manusia untuk bisa saling berinterkasi baik yang bersifat verbal maupun nonverbal. Baik yang bersifat lugas maupun simbolik. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa bahasa memainkan peran penting dalam kehidupan, mempunyai pengaruh yang luar biasa, termasuk membedakan binatang dengan manusia.
Menurut pengakuan Pak Hadi, pengemudi Taksi, bahasa yang saya gunakan ketika menelepon aneh, seperti oplosan antara Sunda dan Jawa. Kemdian saya jelaskan bahwa apa yang baru saja ia dengarkan itu adalah Bahasa jawa Serang (BJS), salah satu bahasa lokal yang ada di Banten.
Secara sosio-historis, BJS tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kesultanan Banten yang didirikan oleh para pendatang dari kerajaan Demak dan Cirebon. Sebelum adanya pendatang dari Demak dan Cirebon, Banten saat itu berpenduduk i etnik Bugis, Melayu dan Sunda. Etnik Sunda yang dominan waktu itu menguasai wilayah Banten bagian selatan. Sementara, etnik Jawa terbentang di pesisir utara, mulai dari Anyer hingga Tanara. Para pendatang dari etnik Jawa inilah yang kemudian menggarap lahan menjadi areal persawahan dengan sistem irigasi modern yang dibangun oleh Kesultanan sebagai bentuk kepedulian dan perlindungan Sultan kepada rakyatnya.
Namun, yang menjadi menarik adalah bentuk perlindungan Sultan tidak semata pada ranah ekonomi tapi Sultan juga mengakomodir budaya yang sudah lebih dulu ada termasuk bahasa. Sehingga bahasa Sunda tetap digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari selain bahasa Jawa. Pertemuan dua bahasa dominan yang ada di Banten saat itu memungkinkan adanya penyesuaian atau percampuran yang membentuk istilah-istilah dan dialek baru yang masih bisa dikenali jejak muasalnya. Percampuran dua bahasa itu melahirkan bahasa baru yang dikenal kemudian dengan Bahasa Jawa Serang (BJS).
Oleh karena melalui proses penyesuaian antara dua bahasa, BJS pun mengadopsi tata atau gaya bahasa dari basaha asal pembentuknya. Senada dengan ungkapan Aristoteles dalam karyanya, Organon, sebagaimana alam yang memiliki keteraturan, bahasa juga memiliki tata bahasa yang mengaturnya. Tata bahasa itu biasanya disesuaikan dengan lawan bicara atau orang ketiga yang sedang dibicarakan. Bisa juga dipengaruhi oleh tingkat keakraban, perbedaan usia ataupun tingkatan sosial. Jika dalam khasanah Sunda dikenal dengan undak usuk bahasa yaitu kasar, wanoh, sedeng, lemes, luluhur. Dan di Jawa dengan ngoko, madya, dan kromo. Maka di BJS dikenal dengan istilah babasan dan kasar. Jejak keberadaan bagaimana tingkatan atau cita rasa dalam bertutur bisa ditemukan dalam teks Dewaruci Tembang Gedhe, teks dialog antara tokoh Bima dengan gurunya, Pendeta Durna dan Dewa Ruci. Teks ini diperkirakan dibuat pada abad ke-15 periode Jawa Pertengahan.
Pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik melakukan Sensus Penduduk (SP) yang salah satu hasilnya menunjukkan bahwa terdapat 2.500 jenis bahasa daerah dan 1.340 suku bangsa yang ada di Indonesia. Khusus untuk bahasa Jawa, Batak, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Sasak yang memiliki penutur di atas satu juta. BJS sebagai bahasa pengantar lokal memang penggunaannya tidak bernasib baik layaknya bahasa Jawa atau Sunda. Hal yang sama juga ditemukan di beberapa daerah lain.
Bahasa daerah lokal terpinggirkan dalam setiap percakapan dan pergaulan. Fenomena ini menjangkiti sebagian golongan remaja atau kaum muda terutama di perkotaan. Kaum remaja tidak menguasai lagi bahasa daerahnya, apalagi dengan maraknya apa yang kita kenal dengan bahasa alay atau bahasa gaul. Saya berharap nasib BJS tidak setragis bahasa Tandia, bahasa asli suku Mbakawar (Tandia), Distrik Rasiei, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Menurut Andreas Deda, Kepala Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya Universitas Negeri Papua (Unipa), saat ini penutur bahasa Tandia dan tidak lagi dikenal oleh masyarakat sukunya. Bahasa Tandia diperkirakan sudah punah sejak 1970-an. Faktor pemekaran wilayah hingga perkawinan antarsuku diduga menjadi penyebab kepunahan. Sebelumnya bahasa daerah ini diduga mati. Maksudnya, ada penuturnya, tetapi tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari
Padahal Pierre Bourdieu, sosiolog Perancis memandang bahwa bahasa merupakan bagian dari gaya hidup, yang secara prinsipil tidak berbeda dengan pakaian seseorang, kepemilikan barang, atau selera artistik. Maka, untuk mengukur vitalitas bahasa daerah dengan sangat mudah bisa dilacak, yaitu sejauh mana bahasa daerah tersebut digunakan. Misal, Restoran diganti menjadi “Griya Dahar”, Boutique menjadi “Toko Kelambi”.
Negara telah memberikan alas hukum berupa Undang-Undang No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Dalam undang-undang tersebut sudah diatur bagaimana kedudukan dan fungsi bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing. Undang-undang tersebut menjadi pijakan kuat bagi pemerintah daerah untuk menunaikan tanggung jawabnya dalam hal pelestarian dan pembinaan bahasa daerah di wilayahnya. Karena, menurut penggagas aliran relativitas bahasa, Wilhelm von Humboldt, bahasa yang digunakan oleh orang/kelompok akan meneguhkan identitas seseorang/kelompok tersebut.
Sudah hampir dua tahun, BJS menjadi muatan lokal (Mulok) pengajaran di tingkat sekolah dasar di kabupaten dan kota Serang. Upaya pemerintah daerah ini perlu diapresiasi sebagai bentuk perlindungan terhadap budaya lokal melalui jalur formal. Kebijakan ini harus diakui tidak lepas dari keterlibatan Komunitas BJS yang didirikan pada 17 Nopember 2010 oleh Qizink La Aziva, Ibnu Marhas, dan Lulu Jamaludin yang berprofesi sebagai wartawan. Komunitas BJS sendiri sedianya diperuntukkn bagi kalangan wartawan asal Serang yang terbiasa menggunakan bahasa jawa serang. Seiring berjalannya waktu, komunitas ini berkembang hingga memiliki anggota ribuan.
Komunitas BJS memanfaatkan media social terutama facebook sebagai media diseminasi dan komunikasi. Beberapa anggotanya mulai menelurkan karya seni berupa film pendek, Cerpen, puisi, lagu populer menggunakan BJS. Saya kira, pilihan Komunitas BJS memilih media social sebagai media komunikasi dan diseminasi sudah tepat karena media social selain “alat bermain”, ia juga menciptakan ruang bagi manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya, sekaligus mendapatkan respons baik atas pikiran dan perasaan yang diekspresikannya.
Dalam skala perlindungan dan pelestarian budaya Banten yang lebih besar, saya rasa perlu didiskusikan penentuan kawasan konservasi. Tempat di mana segala macam bentuk kebudayaan Banten seperti bangunan, hasil karya seni, masakan dan lainnya dapat ditemukan dalam satu kawasan. Dan tugas mulia itu bisa diinisiasi oleh Komunitas BJS. (*)