(Menyambut Hari Bidan Nasional, 24 Juni 2021)
Oleh: Suhandi, Fungsional Statistisi BPS Provinsi Banten
Cerita Mumtaz Mahal mengenai kehamilan dan persalinan
Mumtaz Mahal berusia 19 tahun ketika menikah pada 1612 M dengan Shah Jahan yang hanya setahun lebih tua darinya. Dari 14 kali kehamilan, jarak terpendek antar kehamilan hanya 362 hari, sedangkan jarak terpanjangnya adalah 787 hari. Selama 19 tahun pernikahan, ia menghabiskan 10,5 tahun dalam keadaan hamil. Dari 14 anak, 7 di antaranya meninggal ketika masih balita atau masih anak-anak .
Kehamilan dan persalinan yang hampir tiap tahun selama 14 kali berkontribusi pada komplikasi dalam persalinan terakhir Mumtaz Mahal, di usianya yang baru menginjak 38 tahun. Jarak antar persalinan yang pendek diduga menimbulkan dampak buruk bagi kesehatannya, terutama anemia. Ibu dengan jarak antarpersalinan kurang dari 24 bulan juga berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi kelahiran. Mumtaz Mahal dan anak-anak yang dilahirkannya berada dalam risiko tinggi ini. Dari 14 kali persalinan, lebih dari 10 persalinan berjarak kurang dari 24 bulan, bahkan 5 persalinan berjarak hanya 12-14 bulan. (Baca selengkapnya di artikel “Taj Mahal: Monumen Kematian Maternal Istri Sultan Mughal”, https://tirto.id/ggWz)
Sepenggal cerita Mumtaz Mahal yang cukup tragis mengingatkan kita pada sesosok profesi yang pekerjaan utamanya adalah menyelamatkan nyawa seorang ibu dan calon anaknya yang akan lahir. Profesi itu adalah bidan. Sekarang, profesi bidan menjadi salah satu cita-cita favorit para gadis muda. Indikasi itu terlihat dari maraknya akademi atau perguruan tinggi yang menyediakan jurusan kebidanan. Hampir semua akademi/perguruan tinggi tersebut ramai dengan mahasiswa dan hampir semua lulusannya tertampung dalam dunia kerja.
Angka kematian ibu, bayi dan balita yang masih tinggi
Dalam dunia kerja, dengan penuh keikhlasan mereka mengabdi kepada masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak. Tingkat kematian ibu, bayi dan anak yang masih tinggi di Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, Angka kematian neontal (AKN) 15 per 1000 kelahiran hidup, angka kematian bayi (AKB) 24 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita (AKABA) 32 per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu, angka kematian ibu (AKI) sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2015. Angka-angka tersebut harus mereka turunkan hingga serendah-rendahnya minimal sebesar target yang diharapkan pemerintah.
Menurut para tenaga kesehatan kasus kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil (eklampsia), infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan penyebab langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi dan budaya. Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat permasalahan ini. Beberapa hal tersebut mengakibatkan kondisi 3 terlambat (terlambat mengambil keputusan, terlambat sampai di tempat pelayanan dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat) dan 4 terlalu (terlalu tua, terlalu muda, terlalu banyak, terlalu rapat jarak kelahiran). (Kemenkes, 2020)
Penyebab kematian di atas tentunya tidak hanya menjadi perhatian para bidan tapi harus juga dicermati oleh para ibu dan ayah. Perencanaan persalinan dapat dilakukan manakala ibu, suami dan keluarga memiliki pengetahuan mengenai tanda bahaya kehamilan, persalinan dan nifas; asuhan perawatan ibu dan bayi; pemberian ASI; jadwal imunisasi; serta informasi lainnya.
Bidan adalah bagian yang berperan penting dari proses perjuangan seorang Ibu saat melahirkan anaknya ke dunia. Pekerjaan bidan sudah dimulai sejak seorang ibu dinyatakan hamil, persalinan, lalu pasca persalinan hingga kesehatan anak dan balita. Para bidan di seluruh dunia harus semakin profesional dan berkompeten saat melaksanakan tugas dan mempersiapkan masa yang akan datang bagi anak-anak di dunia.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang dikutif dari publikasi Statistik Indonesia BPS, jumlah bidan di Indonesia tahun 2019 sebanyak 210.268 orang. Menurut Ditjen Farmalkes, standarnya Indonesia hanya membutuhkan kurang dari 50 ribu bidan, berarti banyak surplusnya. Yang menjadi sorotan adalah ketidakmerataan jumlah bidan antara daerah perkotaan dan pedesaan terutama pada daerah terpencil.
Di Pulau Jawa saja, rasio antara bidan dan penduduk adalah 1 : 1.744 artinya diantara 1.744 penduduk hanya terdapat 1 bidan. Walaupun begitu, di Pulau Jawa diuntungkan dengan geografisnya yang lebih mudah dibandingkan dengan luar Jawa. Rasio bidan dan penduduk di Sumatera 1 : 1.160, Kalimantan 1 : 969, Sulawesi 1 : 877, Papua 1 : 832, Bali 1 : 809 dan Maluku 1 : 738. Keterbatasan dan kesulitan geografis menjadi kendala utama dalam pelayanan kesehatan di luar Jawa.
Bidan, wanita kuat berhati lembut
Bagi para bidan yang bekerja di desa atau sering disebut bidan desa, pekerjaan ini penuh tantangan mengingat medan yang tidak mudah. Para bidan kadang bekerja tak kenal waktu, siang digunakan untuk bekerja di fasilitas kesehatan dan pada saat di rumah selalu siap untuk melayani pasien yang bisa datang kapan saja. Panas terik dan hujan deras tidak menjadi kendala bagi para bidan desa apabila ada panggilan untuk menolong proses persalinan atau melakukan kunjungan pasca persalinan. Dengan telaten, lembut dan sabar mereka akan melayani siapapun yang membutuhkan jasanya. Bayaran yang sekedarnya, bisa berupa uang atau bahan-bahan mentah hasil pertanian menjadi ‘upah’ yang biasa didapatkan. Para bidan sudah sangat senang apabila terdengar tangisan bayi yang baru lahir apalagi melihat kesempurnaan anggota tubuh dari si bayi.
Program bidan desa yang dicanangkan sejak tahun 1989 merupakan upaya dari Kementerian Kesehatan untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Bidan di desa sebagai ‘ujung tombak’ dan tenaga kesehatan terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu, neonatal, bayi dan anak balita. Bagi masyarakat desa, peran dan keberadaan bidan desa sangatlah besar. Biasanya bidan desa merupakan pihak pertama yang dihubungi oleh masyarakat pada saat terjadi hal-hal buruk terkait dengan kesehatan masyarakat desa. Bidan desa tidak hanya untuk memberikan layanan kesehatan kepada ibu dan bayi, terkadang juga diminta memberikan pengobatan untuk berbagai penyakit umum.
Seiring perjalanan waktu, bidan desa yang awalnya diwajibkan untuk tinggal di desa tempat bertugas lama kelamaan banyak yang bertempat tinggal di luar desa tempat tugas atau daerah yang lebih ramai seperti di kota. Malahan ada juga bidan desa yang tidak betah dan pindah tugas ke tempat lain. Hal ini disebabkan karena desa tempat bertugasnya sepi, ‘jauh dari peradaban’ atau karena alasan tinggal sendiri dan beberapa alasan lainnya. Menurut Sekretaris Jenderal IBI Yetty Leoni M. Irawan kendala yang dihadapi oleh para bidan di daerah tertinggal sangat beragam, mulai dari masalah minimnya sarana dan prasarana, faktor sosial budaya masyarakat, hingga kondisi geografis.
Bidan desa yang diharapkan bisa 24 jam ‘mencover’ kesehatan ibu dan anak di desa, ternyata tidak siap untuk waktu 24 jam. Lalu bagaimana dengan desa yang tanpa keberadaan bidan desa? Jikalau bidan tidak bisa ditemui pada saat dibutuhkan maka dukun beranak menjadi tujuan ibu hamil untuk menolong proses persalinan. Dampaknya banyak persalinan yang tidak tertolong karena tidak adanya bantuan tenaga dan fasilitas kesehatan yang memadai.
Pemerintah harus mempunyai terobosan baru dalam mengatasi permasalahan kebidanan, jangan sampai ada desa yang tidak bidannya. Menurut data Potensi Desa 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis dalam publikasinya bahwa dari 83.931 desa/kelurahan/UPT/SPT, hanya 66.646 desa/kelurahan/UPT/SPT yang memiliki bidan. Jadi, masih ada 17 ribu lebih atau 20,6 persen desa/kelurahan/UPT/SPT yang belum ada bidannya. Padahal, Kemenkes menyebutkan terdapat lebih dari 200 ribu bidan yang bekerja di rumah sakit dan puskesmas.
Undang-Undang tentang Kebidanan
Pelayanan kesehatan kepada masyarakat khususnya perempuan, bayi, dan anak yang dilaksanakan oleh bidan masih dihadapkan pada kendala profesionalitas, kompetensi, dan kewenangan. Selain itu, pengaturan mengenai pelayanan kesehatan oleh bidan maupun pengakuan terhadap profesi dan praktik kebidanan belum diatur secara komprehensif sebagaimana profesi kesehatan lain. Hal tersebut mengakibatkan belum adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi bidan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Berdasarkan pertimbangan tersebut perlu dibentuk Undang-Undang tentang Kebidanan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan menyebutkan bahwa Pelayanan Kebidanan, yang merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan ditujukan khusus kepada perempuan, bayi baru lahir, bayi, balita, dan anak prasekolah termasuk kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana. Pelayanan Kebidanan harus diberikan secara bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, dan aman.
Dengan undang-undang ini diharapkan para bidan mampu meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan kebidanan meliputi kompetensi teknis bidan itu sendiri, keterjangkauan oleh masyarakat, efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan, berkesinambungan, keamanan, kenyamanan, mudah memberikan informasi, tepat waktu dan hubungan yang baik dengan penerima layanan (Cut Sriyanti, 2016).
Upaya yang telah dilakukan Kementerian Kesehatan akan lebih optimal apabila semua khususnya pemerintah daerah berperan aktif, mendukung dan melaksanakan semua program percepatan penurunan AKI dan AKB. Selain itu juga perlu dukungan pihak swasta baik dalam pembiayaan program kesehatan melalui CSR-nya maupun partisipasi dalam penyelenggaran pelayanan kesehatan swasta.
Peran kita semua agar ibu dan anak selamat
Untuk para bidan yang mengabdikan hidupnya demi menyelamatkan anak manusia agar lahir ke dunia, diharapkan selalu konsisten, kedepankan rasa kemanusiaan daripada materi. Tingkatkan kompetensi diri, terus belajar dan tidak hentinya selalu berharap kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dipermudah dalam segala urusan dan pekerjaan agar kematian ibu dan anak bisa diminimalisir. Kepada masyarakat terutama kaum ibu, tingkatkan pendidikan dan pengetahuan yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan perawatan anak bayi dan balita. Kepada para suami, jadilah suami siaga, menjaga istrinya sejak kehamilan, mempersiapkan keuangan, menemani persalinan dan mampu mengambil keputusan cepat pada saat terjadi permasalahan. Dengan bekal itu, InsyaAllah ibu hamil akan sehat, persalinan lancar dan anak yang dilahirkan juga sehat dan sempurna.
Mudah-mudahan dengan kerjasama yang baik dan kerja keras seluruh pihak, angka kematian ibu, bayi dan balita yang masih tinggi di Indonesia bisa diturunkan sesuai dengan target pemerintah Indonesia dan dunia. Aamiin.
(***)