SERANG – Alice Budisatrijo, Kepala Kebijakan Misinformasi, Asia Pasifik, Facebook menyatakan pihaknya memahami kegelisahan komunitas terhadap misinformasi, karena itulah pihaknya mengambil langkah-langkah agresif untuk mengatasi hal tersebut mulai dari kemitraan dengan lebih dari 80 pemeriksa fakta pihak ketiga di dunia dan mempromosikan informasi yang akurat untuk menghapus konten yang melanggar kebijakan.
“Misinformasi adalah hal yang kompleks, terus berubah dan tidak ada satu solusi tunggal yang dapat menyelesaikannya. Inilah mengapa kami terus berkonsultasi dengan para ahli, mengembangkan program pemeriksaan fakta, dan meningkatkan kapabilitas teknis internal kami,” ujarnya, Minggu (22/8/2021)
Mendefinisikan Misinformasi
Misinformasi adalah sebuah informasi yang salah, yang seringkali disebarkan secara tidak sengaja. Konten dibagikan secara individual dan bukan merupakan bagian dari upaya terkoordinasi untuk menyesatkan atau menipu orang.
Disinformasi mengacu pada aktivitas berbagi konten dengan maksud yang disengaja untuk menyesatkan sebagai bagian dari kampanye manipulasi atau operasi informasi. Kegiatan ini terkoordinasi dan dapat melibatkan penggunaan akun palsu.
“Kami tidak menoleransi aktivitas ini dan menghapus akun pelaku beserta kontennya segera setelah kami menemukannya. Kami juga memperlihatkan hasil kerja kami di bidang ini melalui laporan bulanan di Newsroom kami,” kata Alice Budisatrijo.
Pendekatan Facebook Terhadap Misinformasi
Alice Budisatrijo menuturkan, memiliki tiga strategi utama untuk mengatasi misinformasi di Facebook – Menghapus, Mengurangi dan Menginformasi. Salah satu bagian dari strategi ini adalah program pemeriksaan fakta pihak ketiga.
Pemeriksaan Fakta Pihak Ketiga
Bagi Facebook, tidak ada satupun pihak yang berhak dan memiliki kekuatan untuk menentukan apa yang benar dan salah. Ketika satu pihak menjadi penengah kebenaran, maka akan muncul ketidakseimbangan kekuatan dan potensi jangkauan yang berlebihan.
“Dengan mempertimbangkan hal ini, kami mengandalkan pemeriksa fakta independen untuk mengidentifikasi dan meninjau potensi-potensi misinformasi, yang menjadi dasar bagi kami untuk mengambil tindakan,” Alice Budisatrijo.
Kata dia, Facebook telah bermitra dengan lebih dari 80 pemeriksa fakta pihak ketiga independen secara global dalam 60 bahasa. Di Asia Pasifik, ini termasuk pemeriksa fakta di Indonesia, Singapura, Malaysia, Hong Kong, Myanmar, Thailand, Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, Korea, Taiwan, India, Filipina, Australia, Selandia Baru, dan Kepulauan Pasifik.
“Dalam setahun terakhir, kami telah memperluas dukungan ke komunitas pemeriksa fakta, termasuk 2 juta USD dalam bentuk hibah dari Facebook dan WhatsApp – untuk pemeriksa fakta pihak ketiga di wilayah yang sangat terpengaruh untuk membantu mereka meningkatkan kapasitas saat mereka melakukan pekerjaan ini. Kami juga menandatangani kerjasama selama setahun dengan 10 organisasi pemeriksa fakta, termasuk beberapa dari wilayah ini, untuk mendatangkan anggota tim baru guna membantu membangun kapasitas di wilayah tersebut,” jelas Alice Budisatrijo.
Mitra Facebook telah tersertifikasi melalui lembaga independen dan non-partisan International Fact-Checking Network (Jaringan Pemeriksaan Fakta Internasional).
Menghapus
Facebook memiliki kebijakan terkait informasi yang salah (misinformasi) dan berbahaya, dan Facebook MENGHAPUS konten seperti ini segera ketika pihaknya menemukannya.
“Kami akan menghapus konten yang dapat menyebabkan bahaya atau kekerasan bagi masyarakat. Kami memiliki kebijakan yang melarang konten hasil manipulasi atau deepfake, yaitu konten yang telah diedit sedemikian rupa untuk menggiring opini,” Alice Budisatrijo.
Facebook juga melarang konten yang terkait dengan pembungkaman hak pilih.
Facebook menghapus misinformasi tentang COVID-19 yang dapat memicu cedera fisik termasuk klaim palsu tentang obat, perawatan, ketersediaan layanan penting, lokasi atau tingkat keparahan dari penyebaran COVID-19. Facebook juga menghapus klaim palsu sehubungan dengan vaksin COVID-19 yang telah dibantah atau tidak disertai dengan bukti, seperti klaim palsu tentang keamanan, kemanjuran, bahan, atau efek samping vaksin COVID-19. Hingga Agustus 2021, kami menghapus 20 juta konten misinformasi COVID-19.
Kebijakan iklan Facebook telah melarang klaim menyesatkan, dan kami juga telah mengimplementasikan kebijakan iklan baru terkait COVID-19. Kebijakan ini melarang seperti :
Iklan untuk barang atau produk terkait COVID-19 yang memanfaatkan krisis kesehatan publik ini untuk memicu rasa takut.
Iklan yang secara komersil mempromosikan suplai produk medis dan produk terkait COVID-19 yang sedang mengalami permintaan tinggi, karena hal tersebut dikaitkan dengan perilaku eksploitatif.
Iklan yang membuat klaim kesehatan yang menipu, salah, atau tidak berdasar, termasuk klaim bahwa ada produk atau jasa yang dapat memberikan 100% pencegahan atau imunitas, atau produk yang dapat menyembuhkan seseorang dari virus.
Facebook juga menghapus sejumlah opsi penargetan iklan, seperti “kontroversi vaksin”, yang mungkin telah digunakan untuk menyebarkan misinformasi.
Jika iklan tentang COVID-19 memiliki unsur politik, atau jika konten mengandung advokasi, debat, atau diskusi tentang isu sosial (di negara tertentu), maka pengiklan harus mendapatkan otorisasi dan menyertakan keterangan “Dibayar oleh” pada iklan ini untuk menjalankannya.
Untuk misinformasi atau informasi palsu yang tidak termasuk dalam kebijakan khusus ini, informasi tersebut mungkin dibagikan dengan cara lain, yang juga melanggar Standar Komunitas kami – misalnya ujaran kebencian, perundungan, dan pelecehan atau spam, dan Facebook akan menghapus apa pun yang diidentifikasi karena melanggar kebijakan ini.
Mengurangi
Saat pemeriksa fakta menilai sebuah konten sebagai konten yang salah, diubah, atau sebagian salah, kami secara signifikan MENGURANGI distribusinya di Kabar Beranda Facebook dan Instagram, sehingga lebih sedikit orang yang melihatnya. Di Instagram juga mempersulit pencarian dengan menyaringnya dari halaman Explore dan tagar.
Halaman dan domain yang berulang kali membagikan berita palsu juga akan mengalami pengurangan distribusi, dan hak mereka untuk memonetisasi konten dan beriklan juga dihapus.
“Kami juga mengurangi distribusi konten spam, sensasional seperti clickbait, dan engagement bait – yang serupa dengan misinformasi,” Alice Budisatrijo
Menginformasi
Facebook MENGINFORMASI orang-orang dengan memberi mereka lebih banyak konteks sehingga mereka dapat memutuskan apa yang harus dibaca, dipercaya, dan dibagikan.
Di Facebook dan Instagram
Ada sejumlah label berbeda yang dapat dipilih oleh pemeriksa fakta pihak ketiga kami saat menilai konten, termasuk Salah, Diubah, Sebagian Salah, Konteks Hilang, dan Satir.
Konten di Facebook dan Instagram yang telah dinilai salah atau diubah, akan diberi label yang jelas sehingga orang dapat memutuskan apa yang harus dibaca, dipercaya, dan dibagikan. Label-label ini ditampilkan di atas foto dan video palsu dan yang diubah, termasuk di atas konten Stories di Instagram dan ditautkan ke penilaian dari pemeriksa fakta. Untuk konten yang dinilai sebagian salah atau konteksnya hilang, platform akan menerapkan label peringatan yang lebih ringan.
Untuk membantu pekerjaan pemeriksa fakta pihak ketiga kami, kami menggunakan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi konten yang identik atau serupa dengan yang telah dinilai oleh pemeriksa fakta, dan secara otomatis menerapkan label atau mengurangi distribusi konten.
Tahun 2018, pihaknya meluncurkan sebuah tombol konteks (Context button), yang menyediakan informasi mengenai sumber artikel yang muncul di Kabar Beranda. Hal ini juga termasuk pula detail-detail penting, seperti kapan artikel tersebut pertama kali dibagikan, kapan penerbit terdaftar di Facebook, dan tautan ke artikel lainnya dari penerbit yang sama.
Pada Juni 2020, Facebook meluncurkan notifikasi baru untuk memberitahu pengguna jika artikel yang mereka bagikan berusia lebih dari 90 hari.
Pada Mei 2021, meluncurkan notifikasi pop-up untuk memberikan peringatan kepada orang yang hendak memberikan “like” pada Halaman yang terus membagikan klaim palsu di Facebook. Pada Agustus 2021, platform memperluas fitur ini dan meluncurkan notifikasi pop-up lain ketika pengguna hendak mencoba “membagikan” konten dari sebuah Halaman yang terus memposting klaim palsu di Facebook.
Akses ke informasi yang tepercaya
Facebook memiliki sejumlah langkah tambahan untuk membuat orang mendapat informasi tentang COVID-19.
“Pada bulan Maret 2020, kami meluncurkan Pusat Informasi COVID-19 yang terletak di bagian atas Kabar Beranda (News Feed), yang mencakup informasi terbaru dari otoritas kesehatan serta artikel terkait, video dan post tentang pentingnya menjaga jarak dan mencegah penyebaran COVID-19. Orang-orang juga dapat mengikuti Pusat Informasi COVID-19 untuk mendapat informasi dari otoritas kesehatan langsung di Kabar Beranda mereka. Melalui Pusat Informasi COVID-19, kami telah menghubungkan lebih dari 2 miliar orang ke sumber daya informasi yang berasal dari otoritas kesehatan,” ujar Alice Budisatrijo.
Pada April 2020, Facebook mulai memperlihatkan pesan di Kabar Beranda kepada orang-orang yang menyukai, bereaksi, atau memberikan komentar pada konten misinformasi yang berbahaya tentang COVID-19 yang telah kami hapus. Pesan-pesan ini menghubungkan orang dengan Organisasi Kesehatan Dunia untuk memperoleh informasi yang lebih akurat. Pada bulan April juga, kami memberikan label peringatan pada sekitar 50 juta konten terkait COVID-19 di Facebook, berdasarkan pada 7.500 artikel yang telah ditinjau oleh mitra pemeriksan fakta pihak ketiga.
Program literasi digital
Facebook berinvestasi dalam serangkaian program, dan bermitra dengan organisasi masyarakat sipil juga pelaku industri dalam beragam inisiatif untuk mengatasi isu mendasar dalam hal literasi digital.
Salah satu program unggulan adalah Asah Digital, yang merupakan bagian dari program global We Think Digital yang diusung oleh Facebook, dimana kontennya telah disesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia.
Asah Digital merupakan program literasi digital yang diluncurkan untuk memberikan keterampilan yang dibutuhkan agar masyarakat dapat tetap merasa aman dan nyaman di dunia online. Program pelatihan “Asah Digital” sendiri telah hadir di 12 provinsi di seluruh Indonesia sepanjang tahun 2020 hingga pertengahan 2021, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat—baik mereka yang baru pertama kali atau yang sudah paham menggunakan internet; mulai dari guru, pelajar, hingga para orangtua.
Kinerja Fcedi seluruh keluarga aplikasi
WhatsApp menggunakan teknologi machine learning yang mutakhir yang bekerja sepanjang waktu untuk mengidentifikasi dan memblokir akun yang terlibat dalam perpesanan otomatis atau dalam jumlah besar, sehingga akun-akun tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk menyebarkan misinformasi.
Perusahaan mengatasi misinformasi dengan tiga cara:
Mencegah pelanggaran dengan teknologi deteksi span dan pembaruan produk yang membatasi bagaimana pesan terkirim
Mengedukasi dan memberdayakan orang-orang tentang cara menggunakan WhatsApp secara aman dan bertanggung jawab
Bermitra dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan penegak hukum.
WhatsApp telah membuat sejumlah pembaruan pada produk untuk mengurangi dan mengatasi tingkat penyebaran di platform. Pada 2019 kami mengurangi jumlah orang yang dapat menerima pesan yang diteruskan menjadi maksimal lima percakapan, dan memperkenalkan label “Forwarded” (“Diteruskan”) dan “Highly Forwarded” (‘Diteruskan berkali-kali”) untuk memberikan pengguna konteks yang penting ketika mereka menerima sebuah pesan yang telah dibagikan berkali-kali.
“Sejak itu, kami semakin mengurangi jumlah orang yang dapat Anda kirimi pesan yang diteruskan berkali-kali menjadi hanya satu percakapan, yang mana hal ini telah menghasilkan pengurangan sebesar 70% dalam jumlah pesan yang diteruskan berkali-kali di WhatsApp,” kata Alice Budisatrijo.
Tidak seperti pesan teks, WhatsApp melarang pesan massal. Dimana perusahaan menggunakan machine learning untuk mengidentifikasi dan memblokir akun yang terlibat dalam perpesanan massal, dan telah memblokir 2 juta akun dalam sebulan melalui cara ini. Perusahaan juga mempublikasikan laporan resmi terkait dampak dari upaya ini.
“Kami membantu pengguna untuk menentukan siapa yang bisa menambahkan mereka ke dalam grup, yang mana hal ini memberikan orang-orang kemampuan untuk mengendalikan grup mana yang mengikutsertakan mereka. Perubahan signifikan ini meningkatkan privasi pengguna dan mencegah orang-orang untuk ditambahkan ke dalam grup yang tidak diinginkan,” Alice Budisatrijo.
Instagram menggunakan teknologi deteksi gambar untuk menemukan konten yang telah dibantah oleh program pemeriksa fakta pihak ketiga Facebook di Instagram. Ketika perusahaan menemukan konten ini, kemudian menyaringnya dari tagar dan Explore.
“Kami juga mengambil langkah-langkah tambahan untuk mengurangi misinformasi di Instagram, termasuk menampilkan konten ini kepada pemeriksa fakta pihak ketiga kami,” Alice Budisatrijo.
Cara misinformasi tersebar di Instagram berbeda dengan Facebook, mengingat tidak adanya tombol re-share dan kemampuan untuk membagikan tautan yang dapat diklik pada postingan Feed. Hal ini membantu mengurangi potensi sebuah konten menyebar secara cepat di platform tersebut.
Messenger
Pihaknya ingin Messenger menjadi platform yang aman dan tepercaya untuk terhubung dengan teman dan keluarga. Tahun lalu kami memperkenalkan fitur-fitur seperti notifikasi keamanan, autentikasi dua-faktor, dan cara-cara yang lebih mudah untuk memblokir dan melaporkan pesan-pesan yang tidak diinginkan. Fitur-fitur baru ini memberikan lapisan perlindungan dengan membatasi penyebaran misinformasi atau konten yang berbahaya, dan pihaknya percaya hal tersebut dapat membantu orang tetap aman di ranah online.
Pesan-pesan di dalam Messenger hanya bisa diteruskan kepada lima orang atau grup. Membatasi fitur meneruskan pesan adalah sebuah cara yang efektif untuk memperlambat laju penyebaran misinformasi dan konten berbahaya yang memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya di dunia nyata.
“Banyak dari upaya kami untuk mengatasi misinformasi di Facebook seperti menghapus konten yang berpotensi menciptakan bahaya di dunia nyata atau pemeriksa fakta pihak ketiga yang telah membantu mengurangi penyebaran misinformasi agar tidak dibagikan melalui Messenger,” pungkas Alice Budisatrijo.
(Red)