[Sumber Gambar: Okezone]
Baru-baru ini, pemerintah sedang gencar untuk melaksanakan PTM atau Pembelajaran Tatap Muka, baik secara terbatas maupun secara penuh. Melalui, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), per 2022 sekolah sudah diwajibkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka dengan berbagai peraturan tentunya. Mulai dari zona yang sedang mengalami PPKM level 1 hingga 4 memiliki ketentuannya masing-masing. Akan tetapi, kesempatan untuk pembelajaran tatap muka tersebut malah disalahgunakan oleh para siswa. Mereka lebih rindu untuk tawuran dengan siswa sekolah lain, dibandingkan rindu dengan proses pembelajaran langsung di sekolah sebelum adanya pandemi Covid-19.
Sebenarnya tawuran antar sekolah seperti ini sudah biasa terjadi di Indonesia sebelum masa pandemi covid-19, sehingga banyak orang yang sudah tidak pernah terkejut lagi ketika mendengar berita tentang tawuran antar sekolah. Akan tetapi, sangat terkejut bukan, ketika Tuhan sudah memberikan pandemi Covid-19 sebagai waktu untuk kita merefleksikan diri dan mengubah perilaku buruk kita, namun kesempatan itu tidak digunakan baik oleh para siswa tersebut yang pada akhirnya, saat keadaan sudah mulai normal kembali, mereka melanjutkan kebiasaan buruk mereka saat pandemi Covid-19 belum ada, yaitu tawuran.
Sebenarnya, apa sih isi yang ada di otak mereka? Apakah nama-nama target sekolah yang siswanya harus dihajar habis-habisan? Bahkan, kalau kata orang, wanita sulit untuk dimengerti, sebenarnya para siswa seperti merekalah yang lebih sulit untuk dimengerti apa isi dari otak mereka tersebut.
Tetapi, mari kita berpikir sejenak. Apakah dengan adanya aksi tawuran seperti ini merupakan kesalahan murni dari para siswa tersebut? Tentu tidak, karena berbagai pihak juga harus bertanggung jawab dengan adanya aksi tersebut.
Pihak sekolah, orang tua, serta pemerintah harus bisa mengambil sikap dalam mengatasi masalah tawuran tersebut. Pihak sekolah seharusnya bisa mengubah sistem pendidikan serta peraturan yang dapat menimbulkan terjadinya aksi tawuran tersebut. Contoh sederhananya, yaitu dengan menghapus sistem senioritas dan menghukum tegas para pelaku yang menggunakan senioritas kepada adik kelasnya. Seperti yang kita tahu, masih banyak sekolah yang menggunakan sistem senioritas dalam masa orientasinya.
Seharusnya mereka tahu, senioritas seperti itu dapat menimbulkan jiwa premanisme dan menimbulkan bibit kekerasan terhadap adik kelas yang nantinya akan memicu niat mereka untuk melakukan tawuran. Sungguh disayangkan apabila siswa yang berpotensi untuk memajukan bangsa, namun terkena imbas dari adanya sistem senioritas tersebut.
Dalam hal ini, pemerintah seharusnya juga membuat peraturan disiplin kepada sekolah-sekolah agar tidak menerapkan sistem senioritas. Guru-guru, bahkan hingga kepala sekolah di setiap sekolah yang terbukti melanggar peraturan tersebut harus dievaluasi, dan jika perlu diberi hukuman berat.
Demikian juga dengan orang tua, aksi tawuran seperti ini menjadi bukti bahwa anak-anak mereka tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup sehingga akhirnya melakukan tindakan buruk. Sangat disayangkan bukan, jika anak yang sudah mereka besarkan dengan jerih payah, meninggal dengan sia-sia akibat tawuran.
Oleh karena itu, semua pihak sebenarnya berperan penting dalam mengatasi kejadian seperti ini. Satu hal yang perlu diingat, aksi tawuran bukan sepenuhnya kesalahan siswa karena niat dan isi dari otak mereka, tetapi juga merupakan kesalahan berbagai pihak di sekitar mereka yang menanamkan sifat, niat, dan isi dari otak yang salah tersebut. Jadi, marilah kita semua saling bahu-membahu untuk mencegah terjadinya aksi tawuran seperti ini demi masa depan Indonesia yang lebih baik.