Oleh : Sulaiman Djaya
“Kota atau kawasan bukan susunan mekanistis, tapi kehidupan organis”, demikian ditegaskan salah-satu perencana kota terkenal, Patrick Geddes.
Dari kisruh masalah PIK 2 dan kasus pagar laut, sesungguhnya kita menghadapi tantangan pembangunan kawasan dan perkotaan yang berkelanjutan.
Lalu apa itu perkotaan dan pembangunan kawasan berkelanjutan? Secara singkat, pembangunan kawasan dan perkotaan yang berkelanjutan adalah yang adil, tidak melakukan penyingkiran kepada sejumlah masyarakat atau warga, memperhitungkan masa depan ekologi dan lingkungan.
Menciptakan bagi munculnya pekerjaan dan pendapatan bagi warga yang sesuai dengan potensi masing-masing daerah, yang pada akhirnya meniscayakan regulasi dan kebijakan yang tepat.
Pembangunan kawasan juga sesungguhnya harus memperhatikan kekhasan dan potensi serta keadaan geografi setiap daerah.
Di mana dalam hal ini kita harus memahami pembangunan kawasan atau pengembangan perkotaan berdasarkan pemahaman bahwa kota pada dasarnya adalah sebuah organisme yang hidup dan bukan entitas yang mekanistik.
Apalagi ketika segelintir kepentingan kelompok kecil yang berusaha menguasai kawasan atau kota diberikan keleluasaan untuk melakukan eksklusivisasi.
Sejalan dengan paradigma pembangunan kawasan dan pengembangan perkotaan yang berkelanjutan inilah, pada target atau tujuan jangka panjang (masa depan) akan tercipta kawasan dan perkotaan yang tertata secara holistik, menjadi penyokong dan pendorong utama pembangunan nasional.
Hingga menjadi tumpuan utama program nasional, memiliki mitigasi bencana yang baik dan terprediksi, membuat warganya produktif dan bahagia, tidak menciptakan peluang bagi kemiskinan dan kejahatan, dan dikelola oleh birokrasi yang tidak korup dan pemerintahan yang bersih.
Sebagai seorang perencana kota, ahli biologi, sosiolog, geographer sekaligus filantropis, Patrick Geddes memperkenalkan konsep ‘wilayah’ ke dalam arsitektur dan perencanaan, juga menciptakan istilah ‘konurbasi’.
Ia memperkenalkan pendekatan baru terhadap pendekatan regional dan kota berdasarkan integrasi masyarakat dan mata pencaharian mereka ke dalam lingkungan yang ada di tempat dan wilayah tertentu yang dihuni masyarakat.
Dalam hal demikian, perencanaan pengembangan kawasan dan atau pembangunan kota merupakan proses peningkatan kualitas berkelanjutan yang tidak terlepas dari kapasitas atau kemampuan para pemangku kebijakan atau para pemilik kepentingan dalam kesanggupan mereka menyelesaikan tantangan sosial, ekonomi dan lingkungan.
Dalam hal ini, para (seluruh) perencana kota merupakan para pemeran utama penyelesai persoalan secara efektif demi menciptakan kota yang layak huni, adil, tangguh dan tentu saja berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Secara ilmiah dan akademik, perencanaan pembangunan kota atau pengembangan kawasan akan selalu berhubungan dengan interaksi antara tren, ide dan pengembangan otoritas.
Kedua, perencanaan kota atau pengembangan kawasan akan selalu berhubungan dengan masalah-masalah umum yang akan tetap senantiasa ada bersamaan dengan berjalannya waktu atau masa.
Dan ketiga, perencanaan pembangunan kota atau pengembangan kawasan akan selalu berhubungan dengan bagaimana para pemangku kepentingan dan pemilik kebijakan memaknai konsep perubahan yang dapat didefinisikan secara beragam: apakah menuju ke arah yang lebih baik atau malah mengalami penurunan kualitas lingkungan.
Selain itu, para perencana kota juga sudah semestinya mampu berpikir dalam kerangka kesisteman. Sebab perencana dan perencanaan kota akan akan berhubungan atau berkaitan dengan sejumlah hal penting dalam berpraktik.
Semisal akan berhubungan langsung bagaimana perubahan fisik dan ekologi manusia terjadi atau tercipta karena adanya pembangunan, perluasan atau pun peninjauan kembali suatu rencana kota.
Begitu pun para perencana kota harus paham dengan tepat dan serta membuat atau menyusun rencananya dengan mempertimbangkan sistem dan perencanaan-perencanaan lainnya.
Para perencana kota juga harus memiliki pandangan sibernetik karena menstimulasi atau mengintervensi sistem melalui kebijakan rencana program yang disusun atau dibuat.
Sudah tentu pula harus mempertimbangkan keberlanjutan karena merencana sudah pasti bukan hanya sekedar untuk saat ini melainkan untuk masa yang akan datang.
Selanjutnya para perencana kota juga harus mampu mengidentifikasi para pemangku kepentingan berikut fungsi mereka masing-masing dan kemudian menggalang fungsi-fungsi tersebut untuk mewujudkan ekspektasi atau harapan masyarakat, sehingga berhasil menciptakan kondisi dan situasi kota atau kawasan yang lebih baik dari sebelumnya.
Bila kita kembali memperhatikan saran Patrick Geddes, sebagai contoh, keputusan perencanaan yang baik harus didasarkan pada survey regional terperinci yang menetapkan inventaris, hidrologi, geologi, flora, fauna, iklim dan topografi alam suatau wilayah atau kawasan, serta peluang dan tantangan sosial dan ekonominya.
Geddes memang menekankan kesatuan dan kesalingterkaitan yang akan saling menguatkan dan menopang. Ia menegaskan bahwa: “Kebutuhan terbesar kita saat ini adalah melihat kehidupan secara holistik, melihat berbagai sisinya dalam hubungan yang tepat, dan pada saat bersamaan kita harus memiliki minat praktis sekaligus filosofis dalam pandangan hidup yang terintegrasi seperti itu”.
Geddes berpandangan bahwa kita harus melihat hidup sebagai organisme yang saling terkait dan berhubungan yang akan saling menyokong satu sama lainnya, serupa dengan pandangannya Fritjof Capra dalam wawasan ekologi dan kehidupan. Menurut dua tokoh dan ilmuwan itu kita harus melihat hidup secara menyeluruh (holistik), yaitu memahami hidup sebagai proses ekologi, sosial, budaya, dan kognitif yang dinamis.
Di mana masyarakat berpartisipasi, meningkatkan kesadaran akan keterkaitan mendasar antara alam dan budaya. Geddes kemudian memperkenalkan seruan yang kini populer untuk pembangunan berkelanjutan: “Berpikir Global, Bertindak Lokal”.
Bercermin pada kasus pagar laut yang sempat viral cukup lama beberapa waktu lalu itu, adalah bukti ketidakkomprehensifan para pemangku kepentingan dan kebijakan dalam perencanaan pengembangan wilayah dan pembangunan kota. Yang ada adalah ‘berkuasanya’ elite korporat segelintir membajak kedaulatan Negara.
Kasus itu juga menunjukkan korupsi kebijakan dan tidak bersihnya birokrasi pemerintahan pusat dan daerah, sehingga tidak mungkin akan ada pagar laut tanpa keterlibatan pihak berwenang dan para pemilik kebijakan di birokrasi dan pemerintahan, di pusat dan daerah.
Tim Redaksi