SERANG – Revrisond Baswir, seorang penulis buku berusaha mengungkap lebih jauh mengenai krisis ekonomi di Indonesia. Hal itu dicetuskannya lewat karya yang berjudul Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia.
Pada acara diskusi bertajuk ‘Membaca Banten episode #03’ kali ini, Kang Ajo dari komunitas Cempaka dan Kang Nuriman selaku penggiat literasi sekaligus pelaku perekonomian rakyat di Kota Serang mengupas serta membedah buku tersebut di Kedai Renjana Kota Serang pada Rabu (22/2/2023). Kegiatan ini juga bertujuan dapat menjadi inkubator bagi pemikir-pemikir kritis di Provinsi Banten.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari berbagai media yang ditulis oleh Revrisond Baswir. Isinya yang ringan dan padat menjadikan buku tersebut menyenangkan untuk dibaca.
Tulisan-tulisannya juga menjadikan pembaca merasakan pengalaman sebagai ekonom ketika membuka halaman demi halaman. Oleh karenanya disarankan untuk membacanya dengan perlahan.
Lewat karya yang digarapnya, Baswir mengungkapkan penyebab krisis ekonomi di Indonesia salah satunya adalah Mafia Berkeley yakni sekelompok ekonom Indonesia yang ‘dibina’ oleh pemerintah Amerika untuk membelokkan arah perekonomian Indonesia ke jalan ekonomi pasar neoliberal.
Ajo mengatakan Barkeley merupakan sebutan untuk para ekonom lulusan universitas Barkeley di California, Amerika. Julukan itu disematkan diantaranya untuk Soemitro, Nitisastro, Frans Seda, Emil Salim oleh David Ransom.
“Saya tidak anti dan menerima pemikiran dari Barkley. Saya bersikap tengah-tengah dalam arti saya jadikan sebagai bahan untuk analisis ekonomi,” ujar Ajo.
Dalam tulisannya, peringatan terhadap corak ekonomi neoliberal mendewakan pasar bebas sebagai solusi untuk negara. Meski demikian, orang-orang Barkeley turut mewarnai dan menorehkan sejarah dalam hal ekonomi di Indonesia.
Sementara itu Nuriman berpendapat bahwa untuk menjawab persoalan dampak dari neoliberalisme melalui Mafia Berkeley adalah dengan membangun mental mandiri dan berdaya. Kemandirian dan keberdayaan lahir dari sebuah pendidikan yang mandiri pula, seperti yang telah di contohkan oleh Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa, Saman Hudi dengan SDI-nya, HOS Cokro Aminoto sebagai Guru Bangsa dengan Syarikat Islamnya.
Menurutnya pula bisa dilihat Laweyan atau sebagian orang menyebut kampung merdeka di mana Serikat Dagang Islam lahir, lalu dari SDI berubah menjadi Sarikat Islam.
“Dari sini titik nol Zeleb Bestur (kehendak berpemerintahan sendiri) dan berekonomi sendiri (kemandirian finansial dan politik) ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisasi,” ucap Nuriman.
Nuriman menuturkan ada sebuah pepatah yang berbunyi mencaci kegelapan tidak ada gunanya, lebih baik kita nyalakan lilin. Hal itu senada dengan tindakan untuk melakukan link and match antara dunia pendidikan dengan dunia usaha yang harus terjalin baik. Dua-duanya seharusnya tumbuh di bidangnya serta terus berkolaborasi dengan semua elemen NGO yang berfokus mengenai pemberdayaan.
“Spirit kolaborasi antar lembaga pemerintahan, lembaga sosial pendidikan dan ekonomi harus terus disuntikkan,” kata Nuriman.
(Nin/Red)