Oleh : Dewi Ulfah Arini, S.Psi, MM, Psikolog, Dosen Fakultas Ekonomi Akuntansi Universitas Pamulang Psikolog pada Divisi Konseling & Pusat Karir – Universitas Pamulang
Kita berhak bahagia, menentukan kebahagiaan diri adalah kita bukan dia, kamu atau mereka. Disaat kondisi pandemik yang serasa tidak ada habisnya kita seringkali merasa gelisah, sediih, cemas dan panik akan kondisi ketidakpastian ini. Kita juga merasa khawatir berlebihan bahkan takut kalau akan tertular virus Covid-19 sehingga persenjataan kita sangat lengkap agar tidak tertular. Apakah kita bahagia dengan kondisi saat ini? Jawabannya pasti tidak, Lalu bagaimana menciptakan bahagia pada diri sendiri sehingga perasaan negatif yang ada disaat ini berubah menjadi aura positif dan menerima dengan lapang kondisi ini agar tetap produktif dan nyaman bagi diri dan oranglain.
Namun sudahkah kita menyadari bahwa kebahagiaan itu tidak ada tolok ukurnya. Salah satu rasa bahagia yang dilakukan dalam rutinitas kita adalah sebagai tanggungjawab, kita seperti bertemu klien, bersenda gurau dengan sesama teman dan menciptakan tawa lepas dan senyum panjang. Lalu, ketika ada hal yang lucu atau sepenggal cerita seru kita akan tertawa lepas dan bahkan menertawakan kebodohan yang kita atau oranglain lakukan. Namun, ketika itu sudah selesai maka kembali lagi hidup kita dengan aktivitas yang dilakukan dari hari ke hari.
Hidup itu unik dan menarik, terutama ketika kenyataan tidak sesuai harapan. Apalagi kondisi dan warna hidup kita yang berubah-ubah, pacaran lalu putus, memiliki suami atau istri yang tidak sesuai harapan, memiliki anak yang tidak berprestasi, rekan yang jutek, atasan yang subyektif, dan segudang alasan lainnya. Lalu, kita akan berbicara dalam hati, “Namanya juga hidup. Tuhan sudah mengendalikan semuanya dan kita hanya menjalani. “ Apakah demikian?
Pernahkan mendengarkan sebuah kalimat : “Bahagia, itu kita yang ciptakan sendiri, bukan dia, kamu atau mereka.” Apalagi ketika kita mendapatkan masalah terberat dalam hidup. Tapi sudahkah kita memaknai kalimat itu sebagai motivasi dalam hidup kita? Ada yang sudah tapi tidak jarang, banyak yang belum. Sejatinya, bahagia bagi setiap orang berbeda defenisinya dan memiliki indicator masing-masing. Tidak sama satu dengan lainnya karen kita punya tujuan untuk bahagia yang akan dicapai. Apalagi, bahagia itu adalah perasaan yang tidak bisa diukur oleh tiap-tiap individu.
Hanya kita sendiri yang bisa mengukur dan menentukan tolok ukurnya. Perasaan bahagia adalah perasaan yang muncul ketika seseorang dapat mencapai sesuai yang ingin diraih dalam hidup. Banyak faktor kebahagiaan individu antara lain, kecantikan, penerimaan social, status social, uang, kesehatan, usia, pernikahan, agama dan religiusitas, anak dan pendidikan yang tinggi. Perasaan bahagia menurut Pakar Psikologi Positif adalah perasaan atau pengalaman subyektif yang menyenangkan dan berkaitan dengan perasaan puas akan kehidupan diri secara menyeluruh. Didapatkan dengan emosi positif dengan melakukan aktivitas yang bersifat positif. Oleh karena itu, kebahagiaan wajib untuk dicari dan ditemukan untuk meningkatkan semangat dalam menjalani hidup. Sulit? Pasti karena kita masih belum menggabungkan kebahagiaan dari sikap menerima, kasih sayang dan jerih payah yang sudah didapatkan.
Sikap menerima oranglain dipengaruhi oleh sikap menerima diri sendiri dalam penyesuaian social dimana dalam penyesuaian social diperlukan adanya daya tarik fisik yang akan menimbulkan rasa cinta dan penerimaan dari oranglain. Sedangkan rasa cinta merupakan hasil sikap penerimaan oranglain didalam lingkungan. Selain itu, prestasi juga salah satu esensi kebahagiaan, yang timbul dari kerja keras, pengerobanan, kompetensi dan tujuan yang realistis. Ketiga esensi kebahagiaan ini harus dijalankan secara bersamaan. Kita tidak bisa memilah satu persatu karena ketika prestasi menjadi acuan dalam hidup kita, maka sikap khawatir, cemas, ambisi tinggi dan mengecilkan kompetensi oranglain akan timbul. Ini bisa menimbulkan rasa waswas dan panic ketika ada oranglain yang melebihi dari kita.
Perlukah dalam hidup berkompetisi, baikkah itu? Sangat perlu sekali, jiwa kompetisi didalam bidang kerja tertentu seperti marketing adalah yang utama namun tidak menjegal dan saling menjatuhkan. Akibat ambisi yang tinggi bisa menimbulkan sikap dan ucapan yang menjatuhkan, menghilangkan rasa kasih sayang dan penerimaan akan realita. Hal ini menimbulkan tekanan diri dan rasa tidak bahagia, curiga terhadap oranglain. Karena itu, dalam area kerja bidang marketing ditumbuhkan rasa kebersamaan, rasa saling mendukung, dan kerjasama yang tinggi agar bekerja dengan bahagia sehingga produktivitas meningkat.
Apa ciri utama bahwa kita bahagia dengan memahami tujuan hidup kita, punya pola fikir kreatif dan gagal sebagai pemicu diri untuk berhasil, Pribadi yang peduli dengan sesama dan merasa nyaman berada dalam kelompok sosialnya. Kedekatan yang dibangun adalah bukan sebatas pada unsur tertentu melainkan karena jalinan relasi itu sendiri. Hal yang terpenting adalah tidak memiliki rasa ketakutan dan cemas seperti kebanyakan orang dalam menjalani hidup meski pahit sekalipun.
Bagaimana menciptakan mindfullness dan rasa positif dalam diri agar bahagia? Tuhan sudah menciptakan semuanya sesuai kadar dan komposisi tiap manusia, karena itu bersyukurlah. Bersyukur atas hal yang didapat sekecil apapun. Rasa khawatir yang tinggi akan menghambat hormon kebahagiaan atau endorphine dalam otak sehingga mempengaruhi cara pandang dan sikap kita terhadap situasi. Karena itu, munculkan optimisme dalam diri dan berkumpul dengan pribadi-pribadi yang positif agar menular pada diri kita.
Kembalikan hobby kita menjadi kebiasaan sebagai penyaluran rasa negatif pada diri kita. Berbuatlah dan bertindaklan baik kepada semua oranglain, dan tidak mengharapkan kebaikan anda akan segera dibalas. Oleh karena itu, kebahagiaan menjadikan pikiran, jiwa, fisik lebih sehat dan berdampak pada cara kita bertindak dan berkomunikasi dengan oranglain menjadi positif.
(**)