SERANG – Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menegaskan pemungut zakat tak resmi dapat diancam dengan pidana. Bahkan tak tanggung-tanggung bagi pelaku pemungut zakat tak resmi dapat diancam hukuman kurungan penjara dan denda sebesar Rp500 juta. Baznas juga meminta masyarakat untuk lebih teliti dalam memilih lembaga zakat.
Ketua Baznas Banten, Prof. Syibli Sarjaya mengatakan, dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, pada Pasal 38 berbunyi bahwa orang yang memungut zakat diluar Baznas dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) itu akan dikenakan pidana dan denda.
“Jadi hanya Baznas dan LAZ yang berhak (memungut),” kata Syibli kepada wartawan, Minggu (18/4/2021).
Syibli menjelaskan, untuk LAZ sendiri adalah sebuah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat dalam membantu Baznas Banten untuk mengumpulkan zakat. Sedangkan Baznas Banten sendiri memiliki kepanjangan tangan yang disebut Unit Pengumpul Zakat (UPZ).
Saat ditanya apakah Baznas Banten juga melakukan oenertiban terhadap pelaku pemungut zakat tak resmi, Syibli mengaku, pihaknya masih perlu menunggu regulasi selanjutnya.
“Untuk saat ini belum, tapi suatu saat nanti, setelah Perda ini lahir dan mengatakan demikian, tidak mustahil kita akan kerjasama (dengan polisi),” katanya.
Untuk diketahui, saat ini DPRD Banten tengah mengusulkan revisi atas Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2004 tentang pengelolaan zakat dan saat ini revisi perda tersebut sudah masuk dalam pembahasan panitia khusus (Pansus).
Usulan revisi perda tersebut juga sempat mendapatkan pertentangan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten, yang meminta DPRD untuk mengkaji ulang sebelum dilanjutkan dalam pembahasan.
Terkait hal tersebut, sambung Syibli, revisi raperda tersebut perlu dilakukan karena sudah tidak sesuai dengan Undang-undang (UU) 23 Tahun 2011.
“Perda ini sudab out of date (kadaluarsa, red). Karena cantolan Perda itu kan UU 38 Tahun 1999, waktu zaman Presiden Pak Habibie, dan UU ini sudah ketinggalan zaman. Makanya lahirlah UU 23 Tahun 2011,” katanya.
Oleh karena itu, lanjur Syibli, perlu adanya revisi perda yang disesuaikan dengan UU 23 Tahun 2011.
“Kalau UU 33 kan sudah ketinggalan zaman. Makanya cantolannya juga harus mengikuti yang baru. Ditambah ada nomenklatur yg dulunya Bazda skrg dari pusat sampai kabupaten/kota semua Baznas, susunannya juga banyak dewan ini dewan itu, lalu ada komisi pengawas,” katanya.
(Mir/Red)