Arip Senjaya, pengarang, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Saya tidak tahu bagaimana cara menuliskan condro ini, apakah ditulis candra dan dibaca condro atau memang ia ditulis condro saja. Yang penting di sini bukan cara menulisnya, tapi bagaimana saya pernah memahami kata tersebut.
Ketika saya S2 di UGM, teman saya bernama Marjaka menyebut saya memang pantas masuk Fakultas Filsafat, karena sudah ada condronya. Nama saya Arip menurut dia dari arif, dari bijaksana, dari wisdom, dan itu adalah ciri bahwa saya orang filsafat karena filsafat mengajarkan kebijaksanaan. Dia sendiri mengatakan bahwa memang sudah merupakan condro pula dia masuk filsafat karena namanya adalah Marjaka, S.E. (Sarjana Ekonomi) yang jika ditulis dengan cara lama, mengawali nama, maka akan terbaca sebagai Semarjaka (S.E., Marjaka). Semar itu sendiri adalah representasi dari kearifan Jawa dan karena itu tesisnya berjudul Ontologi Semar.
Atas nama condro, teman saya itu merasa mesti meninggalkan bidang S1-nya yang S.E. dan bahkan S.T. (Sarjana Teknik) dan banting setir ke arah ontologi. Saya sendiri mengambil judul Ontologi Bahasa dan bukan karena bahasa itu mengandung nama saya ‘Arip’ yang dari ‘arif’ itu tetapi karena panggilan linieritas karena saya mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Itu pun mungkin condro, atau bukan condro sama sekali!
Yang benar-benar bisa disebut condro mungkin minat saya pada Filsafat Ilmu. Dosen kami, Pak Zainal Abidin Bagir, mengingatkan saya pada berbagai pelajaran saat saya SMA. Saya belajar di kelas Biologi dan mengenal sains saat itu, khususnya biologi dan fisika. Maka, sudah menjadi condro saya masuk Biologi saat SMA karena kelak saya akan bertemu Pak Bagir. Jadi, condro tidak berkaitan dengan linieritas di masa depan seperti karier saya sebagai dosen pendidikan bahasa dan sastra. Beberapa hari yang lalu saya mendapat kiriman dari seorang teman, sebuah jadwal peluncuran buku karangan Habib Ali Al-Jufri Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan dan ternyata pembicara utamanya adalah Pak Haidar Bagir yang adalah kakaknya Pak Zainal. Lagi-lagi saya bertemu isu condro ketika menyadari pentingnya masa lalu sebagai penentu kemudian. Mungkin juga Pak Zainal itu meminati filsafat ilmu karena condro dari kakaknya yang mencintai teknologi (alumni ITB 1982 sebelum ke Harvard University tahun 1990).
Nah, suatu hari saya membeli buku Jaring-jaring Kehidupan Pritjof Capra, dan saya yakin karena di bawah sadar saya pernah tertanam gambar jaring-jaring kehidupan dalam pelajaran-pelajaran IPA, sehingga saya percaya bahwa buku tersebut pasti akan menggunakan kata ‘alam’, ‘hewan’, ‘tumbuhan’, ‘manusia’, ‘organisme’ dan berbagai kata selingkung ‘jaring-jaring’ lainnya. Membeli buku pun rupanya dorongan condro. Ketika saya pertama kali membacanya, saat itulah saya pertama kali membaca diskusi mendalam tentang ekologi pada bab-bab awalnya. Dan karena saya tidak pernah punya latar belakang belajar ekologi, maka tema ini tidak menantang saya untuk memikirkannya hingga buku Capra itu terbengkalai.
Tapi, ketika suatu hari saya masuk S3 di Unpad dan belajar dengan Prof Aquarini, berkali-kalilah saya mendengar kata ekofeminisme dari profesor bidang kajian gender tersebut yang membuat saya membuka lagi buku Capra yang sisi-sisinya mulai menghitam. Barulah saya sadar bahwa condro itu membimbing saya ke masa lalu sekaligus membantu saya memahami hari ini, dan hari ini akan menyiapkan condro buat masa depan. Ingin rasanya saya bertemu Marjaka dan memeluknya untuk mengucapkan terima kasih, bahwa ia pun merupakan condro saya untuk memahami condro itu sendiri pada jarak waktu yang begini jauhnya (kami kuliah tahun 2008 dan sekarang sudah tahun 2020—masya Allah, 12 tahun sudah saya belajar filsafat condro!).
Andai saja hari ini saya banyak menanam kebaikan, meski saya tidak benar-benar paham untuk apa, seperti membeli buku dan membacanya meski tidak segera mengerti, belajar bahasa Arab (meskipun di kelas online), menghapal ayat-ayat pilihan Al-Quran, menghapal hadist-hadist pendek, membaca berbagai kitab terjemahan, belajar kajian gender, dengan belajar pada condro ini saya percaya semua akan menjadi kebaikan di masa depan. Jadi, masa depan itu merupakan sebuah perwujudan dari aneka masa lalu dari lain-lain waktu dan jarak, yang terjalin sebagai kesadaran terhadap segala yang pernah kita lewati. Jika berbagai benih kebaikan tak semuanya tumbuh di kebun masa depan, mungkin ada condro yang disebabkan benih keburukan: saya malas di masa lalu, saya banyak iseng di masa lalu, saya tak serius di masa lalu.
Saya ingat waktu S2 itu, hampir setiap hari Marjaka menawarkan saya bepergian agar saya tahu Yogyakarta. Kini saya menyesal, saya tak pernah mau diajak ke mana pun kecuali dua tempat: Pantai Parangkusumo dan Makam Raja-raja Imogiri sehingga ketika suatu hari saya dipercaya teman-teman dosen di Untirta untuk memandu mereka berwisata di Yogyakarta, saya angkat tangan karena sumpah saya tidak sangat paham tempat-tempat penting dan menarik di Yogyakarta. Kemalasan berbuah ketidaktahuan sehingga teman-teman saya menertawakan saya seakan mengatakan “Buat apa kuliah di UGM kalau tidak tahu Yogyakarta!” sedangkan mereka tidak akan mengadakan kunjungan ke UGM.
Bersamaan dengan ingatan pada kemalasan saya pergi ke mana-mana sepanjang di Yogyakarta, saya ingat betapa rajinnya saya keluar-masuk perpustakaan Filsafat dan FIB, sampai-sampai rasanya dua perpustakaan itu seperti perpustakaan saya sendiri sehingga saya hapal tata letak buku dan aroma keduanya. Di kedua perpustakaan ini saya pernah menyiapkan segala kebaikan yang tidak semua saya rasakan sekarang. Saya percaya, benih itu akan tumbuh tapi buah yang manis tidak akan sebanyak daun kerajinan saya pada saat yang bersamaan. Buah itu akan selalu tiba pada saatnya, sedikit-sedikit, berpindah-pindah ranting. Esai ini adalah salah satu buah yang saya maksud.
Dan mungkin teori condro itu tidak sistematik tapi holistik dalam arti segala yang dirasa sebagai manisnya kesadaran tidak diawali melalui tahapan, tapi melalui keterjaringan keseluruhan, bahwa buah yang matang bukan datang sebagai tahapan dari benih-ke-buah, tapi dari suatu proses bersamaan. Buah adalah kenyataan benih, daun, pohon, ranting, akar, juga tanah yang ditinggalinya; hal yang sama berlaku pada daun sebagai kenyataan akar, dahan, dan lain-lain yang hadir bersamanya. Karenanya, condro itu tentang masa lalu tapi ia adalah masa lalu yang baru bermakna di saat terasa manisnya hidup. Dan ini membuktikan bahwa kepahitan lebih banyak saya rasakan. Bukan pahit sebagai pribadi, tapi pahit sebagai warga negara, sebagai umat beragama, sebagai pegawai pemerintah, dan hal-hal yang membuat saya lupa mengarang. Ketika saya mengarang esai, saya tahu saya sedang tersenyum manis. Cogito ergo senyum, atau tersenyum ergo sum mungkin benih pikiran saya untuk menghibur diri dari kangennya membicarakan Descartes lagi bersama teman-teman sejalan dan secondro.
(***)