Beranda Opini Aspek Sosiologis, Penghargaan Peduli HAM dan Demonstrasi Guru Madrasah Kota Cilegon

Aspek Sosiologis, Penghargaan Peduli HAM dan Demonstrasi Guru Madrasah Kota Cilegon

Pegiat Literasi, Moch. Nasir Rosyid SH. (doc.pribadi)

Oleh : Moch. Nasir Rosyid SH,
Pegiat Literasi

Rabu, 8 Januari 2025 lalu ada dua peristiwa menarik dan jadi perhatian masyarakat Cilegon. Pertama, penyerahan piagam penghargaan untuk Pemkot Cilegon sebagai Kota Peduli HAM. Kedua, demonstrasi ratusan guru madrasah, guru ngaji, guru PAUD, guru honorer, linmas, kader, RT RW dan lainnya di depan gerbang Kantor Walikota Cilegon.

Penyerahan penghargaan dilaksanakan di Pendopo Gubernur Banten yang diterima langsung oleh Walikota Cilegon Helldy Agustian, padahal di waktu bersamaan para guru madrasah, guru ngaji, guru PAUD, guru honorer, linmas, kader, RT RW sedang menuntut Walikota Cilegon agar hak-hak mereka berupa honor triwulan akhir tahun 2024 dibayarkan.

Tak lama setelah itu, terdapat postingan di akun resmi media sosial milik Pemkot Cilegon yang menampilkan visual Walikota Cilegon Helldy Agustian sedang menerima Piagam Penghargaan HAM. Tak ayal, akun ini diserbu netizen. Mungkin hanya satu-satunya pemerintah daerah di Indonesia yang didemo guru madrasah, guru ngaji dan lainnya yang menuntut haknya berupa pembayaran honor. Wajar jika para guru kemudian protes manakala mereka mengetahui bahwa honornya selama tiga bulan terakhir tahun 2024 tidak dibayar lantaran kas daerah kosong.

Penyebab situasi itu tak lain lantaran target pendapatan daerah yang tidak tercapai hingga akhirnya merembet kemana-mana. Proyek gagal bayar, honor-honor penyelenggara kegiatan seperti PPK, PPTK hangus. Demikian juga honor guru madrasah, guru ngaji, guru PAUD, guru honorer, linmas, kader, RT RW dan lainnya ikut hangus. Bahkan ada informasi terdapat 350 warga yang meninggal dunia, keluarganya tak dibayar santunan kematiannya.

Untuk menjelaskan dua peristiwa di atas, bisa dilihat dari aspek sosiologis melalui teori Dramaturgi dan teori Labelling. Teori Dramaturgi mendasari bahwa di dalam kegiatan interaksi satu sama lain, sama halnya dengan pertunjukan sebuah drama. Manusia merupakan aktor yang menampilkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu melalui drama yang dilakukannya.

Baca Juga :  Visual Kota Cilegon yang Mempesona

Teori Dramaturgi menyatakan Individu dapat menyajikan suatu “pertunjukan” apapun bagi orang lain, namun kesan (impression) yang diperoleh orang terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda. Seseorang bisa sangat yakin terhadap pertunjukan yang diperlihatkan kepadanya, tetapi bisa juga bersikap sebaliknya. Dalam teori Dramaturgi ada yang disebut panggung depan (frontstage) yakni sebuah panggung sandiwara yang menampilkan pertunjukan sisi baiknya. Di panggung inilah sang aktor harus menunjukkan aktingnya dengan baik agar lakon yang diperankan bisa membuat kagum.

Postingan media sosial Pemkot Cilegon terkait pemberian penghargaan Peduli HAM di atas adalah gambaran dari frontstage sebagai bentuk interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dengan harapan masyarakat bisa membanggakan Helldy Agustian sebagai Walikota yang berpihak pada persoalan HAM. Namun sebagaimana dikatakan dalam teori ini, bisa saja kesan (impression) yang muncul berbeda-beda, ada yang menganggap baik, ada juga yang sebaliknya. Jika kita melihat tanggapan masyarakat atas postingan penerimaan Penghargaan HAM itu, kesannya justru lebih banyak negatifnya.

“Lah warganya demo menyampaikan aspirasi, Walikotane milih nerime penghargaan HAM?, Ngising”. (Alah, warganya demo menyampaikan aspirasi, Walikotanya pilih menerima penghargaan HAM, Berak).

Jeh ting buating malah tuku penghargaan, HAM juga kuh bayaran guru honorer aje ditahan tahan”. (Idih, amit-amit malah beli penghargaan, HAM juga tuh bayaran guru honornya jangan ditahan-tahan).

Penghargaan dijunjung, hak honor diabaikan, ora kawawa”. (Penghargaan diagung-agungkan, hak honorer diabaikan, mana tahan).

Demikian di antara beberapa komentar netizen yang mengesankan sentimen negatif atas postingan pemberian penghargaan HAM di atas. Itu artinya bahwa lakon sandiwara yang dimainkan akun resmi Pemkot Cilegon tentang pemberian penghargaan Kota Peduli HAM itu gagal total lantaran kesan yang muncul justru sentimen negatif bila dikaitkan dengan situasi kondisi yang nyata dalam Pemerintahan Kota Cilegon.

Baca Juga :  Silaturahmi di Bulan Ramadan

Peran yang sesungguhnya dalam teori Dramaturgi disebut panggung belakang (backstage). Bisa dikatakan bahwa backstage merupakan gambaran situasi dan kondisi yang nyata. Adanya demonstrasi menuntut hak-hak rakyat yang dilalaikan oleh pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Helldy Agustian itulah yang dinamakan backstage yakni situasi yang berbanding terbalik dengan penghargaan sebagai kota yang peduli HAM, yang ada justru bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dengan menghilangkan hak-hak yang dimiliki orang (honor) yang melakukan demonstrasi itu.

Jadi berdasarkan teori Dramaturgi di atas, sangat jelas bahwa Pemkot Cilegon lebih mementingkan menampilkan lakon drama di panggung depan (piagam penghargaan) sebagai bentuk pencitraan dibandingkan dengan memperhatikan pemberian honor guru madrasah, guru ngaji, guru PAUD, guru honorer, linmas, kader, RT RW dan lainnya yang sudah menjadi hak rakyat sesuai keputusan sekaligus sudah menjadi kewajiban pemerintah.

Selain pendekatan teori Dramaturgi di atas, dua peristiwa inipun bisa juga disandingkan dengan teori labelling yang menjelaskan tentang reaksi sosial terhadap suatu peristiwa tertentu. Teori ini bersifat memberikan cap sosial (label) pada seseorang dan dapat mempengaruhi perilakunya. Gambaran dari teori ini misalnya kita ditemui seorang sales yang menawarkan suatu barang. Soal bagaimana kita memberikan label (cap) barang itu berkualitas atau tidak, tergantung penerimaan kita, tergantung reaksi kita, mau beli atau tidak, itu tergantung kita. Dalam konteks inilah, postingan tentang penerimaan penghargaan HAM di atas, merupakan bentuk penawaran, bentuk interaksi yang simbolik dengan masyarakat, harapannya masyarakat menerimanya dengan baik. Namun nyatanya justru caci maki yang didapat lantaran dianggap tidak manusiawi tersebab Walikota terkesan lebih memilih menerima penghargaan, dibandingkan menyelesaikan masalah hak-hak yang dituntut masyarakat.

Komentar-komentar negatif terhadap postingan penghargaan HAM di akun media sosial serta cacian di lapangan dari para demonstran lantaran honornya tak dibayarkan merupakan cap atau label sosial yang muncul dari reaksi sosial atas terjadinya situasi yang menghimpit para demonstran terutama guru madrasah, guru ngaji, guru PAUD, guru honorer, linmas, kader, RT RW. Label atau cap yang diterima dari reaksi sosial itu, sampai kapanpun akan selalu diingat oleh masyarakat utamanya yang sudah menjadi korban dari kas daerah yang kosong bin defisit anggaran.

Baca Juga :  Kepantasan Perempuan di Ranah Politik

Soal labelnya apa dan bagaimana, silakan buka akun media sosial Pemkot Cilegon yang memposting penghargaan HAM serta silakan dengarkan orasi para demonstran yang kini tersebar di media sosial atau dengarkan sebuah lagu parodi berjudul “Walikota Mana?” dengan syair begini;
Waktuku sulit aku tak tahu yang sempit-sempit
Kucubit-cubit kukira granit ternyata defisit
Waktuku lahir aku tak tahu yang lendir-lendir
Kupikir-pikir kukira air ternyata ngga cair
Walikota Walikota mana mana
Tem..k tem..k dor dor. (*)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News