SERANG – Ramadan identik dengan berbagai tradisi dan kuliner khas, salah satunya di Pandeglang, Banten. Ada Apem Barokah, kue tradisional legit yang wajib dicoba untuk buka puasa.
Apem Barokah sudah ada sejak 1970 dan kini dikelola oleh generasi keempat, yaitu Lina. Dibuat dari tepung beras dan tape, apem ini punya tekstur lembut dan rasa manis legit yang khas.
Proses pembuatannya tradisional, lho! Adonan difermentasi selama 8 jam, dikukus dengan tungku dan kayu bakar, dan dibungkus daun pisang. Tanpa pengawet, apem ini tahan 1-2 hari.
Rumah produksi pembuatan apem di Pandeglang sudah eksis sejak tahun 1970 yang dikelola oleh Hj Rumsah (70) berlokasi di Kampung Kadubungbang, Desa Kadubungbang, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang.
Kue tradisional yang satu ini sudah memasuki 4 generasi yang secara turun temurun tetap dilestarikan pada generasi berikutnya. Rumsah merupakan generasi ketiga dari mendiang orang tuanya yang melanjutkan usaha apem.
Penerus generasi ke empat kue apem saat ini sudah diturunkan pada anak Rumsah bernama Lina (30). Apem yang dibuat keluarga Rumsah memiliki nama “Apem barokah”.
Dalam proses pembuatannya, bahan dasar yang digunakan adalah tepung beras dan tape. Kemudian kedua adonan diuleni sampai bercampur rata, selanjutnya adonan dicampur air sambil diaduk sampai kental dan dicampur air kembali sampai adonan pas.
Tidak sampai disitu saja, adonan apem harus didiamkan terlebih dahulu selama 8 jam sambil ditutup sebagai proses fermentasi alami, karena apem barokah dalam pembuatannya tidak menggunakan pengawet sehingga apem hanya bisa tahan satu sampai dua hari asalkan penutup bungkus apem dari daun pisang tidak dilepas.
“Bahan utamanya tepung beras, tape, diuleni dan dikasih air terus didiamkan selama 8 jam sambil ditutup,” kata Rumsah.
Adonan apem ditutup agar ketika apem dikukus hasilnya mengembang dan tebal. “Ditutup adonannya supaya mengembang pas dikukus,” jelasnya.
Usaha keluarga ini sejak dulu sampai sekarang hanya dibuat di rumah Rumsah yang merupakan rumah peninggalan kedua orang tuanya. Bahkan, menurut Rumsah produksi apem di tempatnya tidak mengenal hari libur, terkecuali ada urusan mendesak.
“Tiap hari produksi, tidak ada liburnya kecuali ada keperluan, lebaran tetap buat,” jelasnya.
Setiap harinya, sebanyak 5 adonan besar dibuat di tempat ini, dengan jadwal produksi dari pukul 05.00 pagi sampai 12.00 WIB. Namun, jadwal tersebut berubah ketika bulan ramadan lantaran permintaan apem meningkat saat ramadan.
Sehingga jadwal pembuatan apem saat ramadan yaitu dari pukul 01.00 dini hari sampai pukul 18.00 WIB dengan jumlah adonan yang dihasilkan sebanyak 16 wadah besar atau setara dengan 4 karung beras setiap harinya.
“Produksinya dari jam 5 pagi sampe jam 12 siang kalo bukan bulan puasa. Kalo bulan puasa mulai bikinnya dari jam 01.00 sampai jam 18.00 WIB, bisa habis 4 karung beras,” ujarnya.
Setelah adonan selesai didiamkan selama 8 jam, proses berikutnya yaitu memasak apem. Adonan apem dituangkan dalam wadah atau takir yang terbuat dari daun pisang yang sudah dibentuk menyerupai mangkuk.
Cetakan apem diberi olesan minyak sayur agar tidak lengket setelah matang. Adapun penggunaan takir dilakukan agar apem memiliki aroma wangi khas.
Kemudian, adonan yang sudah di susun dalam dandang yang terbuat dari anyaman bambu dan daun dadap itu dimasukan ke dalam kuali besar yang sudah terisi air. Proses memasaknya menggunakan tungku tradisional. Pengukusan berlangsung 5 menit sampai apem matang.
“Adonan apem dimasukan ke dalam wadah atau takir untuk cetakan apem. Setelah tersusun adonan dalam wadah dan dandang dari bambu yang disangga oleh kayu dadap, lalu apem dimasak dalam kuali besar selama 5 menit,” jelasnya.
Proses memasak apem secara tradisional menggunakan tungku dan kayu bakar masih tetap dilestarikan. Lima menit setelah apem dikukus, kemudian apem siap diangkat dari kuali.
Sambil dibantu anaknya bernama Eno (45), Rumsah mengeluarkan apem dari wadah satu persatu sambil menggunakan minyak sayur agar tidak lengket di tangan. Setelah itu, apem dibungkus menggunakan kertas nasi yang dilapisi daun pisang.
Untuk penutup atas bungkusan apem, Rumsah kembali menggunakan daun pisang dan menghindari penggunaan plastik. Hal itu dilakukan agar apem awet sampai 2 hari. Tak heran jika setiap harinya Rumsah menghabiskan 1 karung daun pisang untuk pengukusan dan pembungkusan apem.
“Apem tahan selama seharian. Kalau mau dua hari tutup daunnya jangan dibuka. Ciri khas apem kita tutupnya pakai daun biar tidak berair, kalo daun pisang sehari bisa habis satu karung,” tuturnya.
Satu bungkus apem isi 10 buah, dijual dengan harga Rp10.000 per bungkus. Jika ingin tambahan gula aren, cukup merogoh kocek Rp5.000 saja maka pembeli akan mendapatkan 2 bungkus gula aren yang telah larut. “Satu bungkus isi 10, harganya Rp10.000, plus air gula Rp15.000 dapat 2 gula,” terangnya.
Para penikmat atau langganan apem barokah tersebar di Kabupaten Pandeglang, Lebak dan sekitarnya. Para konsumen apem barokah biasanya membeli apem untuk dikonsumsi pribadi, bersama keluarga, untuk oleh-oleh bahkan ada pula yang membeli apem untuk dijual kembali. “Pembelinya dari Pandeglang, Rangkas,” jelasnya.
Dulu, apem selalu ada dalam acara ulang tahun, pernikahan, selametan, haul, kudapan untuk tamu dan lain sebagainya.
Rumsah juga mengatakan yang membedakan apem Kadubungbanh dengan daerah lainnya yaitu cirinya bentuk apemnya tebam dan mengembang.
“Apem Kadubungbang tebel dan mengembang, ini apem pertama di Kadubungbang,” ujarnya.
(Dhe/Red)