Beranda Opini Apa Agama Sepakbola?

Apa Agama Sepakbola?

Ilustrasi - foto istimewa The Eagle Online

Oleh Raden Audindra Kusuma 

Bola dan agama tentu merupakan dua entitas berbeda. Bola tak punya agama. Begitu juga, agama sejatinya laku spiritual transendental yang tak butuh bola. Tapi keduanya seringkali bertemu pada satu titik persinggahan: fanatisme!

Sebagai olaharaga dengan basis penggemar terbanyak di dunia, sepakbola kemudian tidak hanya sekadar menjadi olahraga. Bola yang berputar tiktak dari kaki Diego Maradona atau Pele bukan sekadar si kulit bundar. Begitu juga dengan bola yang sama di kaki Sadio Mane.

‘Gol Tangan Tuhan’ Diego Maradona salah satu contoh bagaimana bola punya sisi misterium yang melampaui soal-soal teknis penghitungan skor. Kulit bundar ini juga telah berbuah bangunan sekolah dan rumah ibadah di perkampungan kecil Senegal stelah berputar di kaki Sadio Mane.

Lebih dari itu dalam banyak negara, sepakbola menjadi bagian dari budaya dan bahkan menjadi simbol identitas nasional. Bahkan saking berpengaruhnya, walau tidak serupa sepakbola dalam beberapa sisi punya fanatisme laiknya agama.

Sepak bola butuh narasi, begitu juga dengan agama. Lantas apa keterkaitan antara sepak bola dan agama? Jika ditelisik lebih jauh, baik agama maupun sepakbola memiliki realita intersubjektif. Apa itu realita intersubjektif? Ringkasnya Realitas intersubjektif merujuk pada realitas yang dibentuk oleh persepsi, keyakinan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh sekelompok orang atau komunitas. Realitas ini tidak hanya dipengaruhi oleh persepsi individu, tetapi juga oleh pengalaman dan kepercayaan bersama.

Keduanya melibatkan persepsi, keyakinan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh sekelompok orang atau komunitas tertentu. Meskipun mungkin terlihat sangat berbeda dalam banyak hal, tetapi keduanya memiliki kemiripan dalam bentuk pemahaman bersama dan pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia.

Dalam agama, umat beriman memiliki keyakinan dan praktik-praktik yang dianut bersama, seperti doa, puasa, dan perayaan keagamaan. Mereka juga memiliki konsep tentang Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi, serta pandangan tentang moralitas dan kehidupan setelah mati. Persepsi-persepsi ini biasanya dibagikan oleh anggota komunitas yang sama, dan diteruskan dari generasi ke generasi.

Sedangkan dalam sepakbola, penggemar memiliki identitas dan loyalitas terhadap tim tertentu. Mereka memiliki simbol dan warna yang mewakili tim mereka, serta ritus dan tradisi tertentu, seperti chant dan ritual sebelum pertandingan. Selain itu, mereka juga memiliki nilai-nilai yang dibagikan, seperti semangat juang, keberanian, dan sportivitas.

Dalam kedua realitas ini, pengalaman subjektif individu berkontribusi pada pembentukan dan pemeliharaan realita intersubjektif. Dalam agama, kepercayaan dan pengalaman pribadi dapat memperkuat keyakinan dan identitas keagamaan seseorang. Sementara dalam sepakbola, pengalaman menyaksikan pertandingan atau menjadi bagian dari suporter untuk dapat memperkuat identitas sebagai penggemar tim tertentu. Di sisi lain, sepakbola memiliki pengaruh yang kuat pada identitas kelompok, loyalitas, dan keterikatan.

Lagi-lagi, meskipun sepakbola dan agama berbeda dalam banyak hal, keduanya memiliki kemiripan dalam hal kekuatan pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Baik agama maupun sepakbola membentuk identitas kelompok dan nilai-nilai yang dipegang oleh anggota komunitas yang sama. Keduanya dapat memperkuat keyakinan dan identitas pribadi melalui pengalaman dan partisipasi dalam komunitas.

Agama dan sepakbola adalah kemampuan keduanya untuk mempersatukan orang yang bahkan tidak saling kenal namun jika memiliki pandangan yang sama terkait fanatisme terhadap satu klub sepakbola yang sama. Orang yang tidak pernah bertemu sekalipun seumur hidupnya namun saat bertemu di stadion dan menyanyikan chants yang sama bersamaan akan merasa ‘saudara’, begitupun dengan pemeluk agama yang sama namun dari tempat yang berbeda saat keduanya dipertemukan di tanah suci, misalnya.

Hal inilah yang menjadikan agama dan sepakbola memiliki ‘kekuatan’ dalam mengumpulkan massa yang banyak, namun kemudian seperti sudah menjadi ‘hukum alam’ bahwa setiap hal di dunia pasti memiliki antitesa. Ya, antitesa dari ‘kekuatan’ mengumpulkan massa tadi bisa berubah menjadi chaos atau kehancuran.

Terlalu banyak contoh di mana agama atau pun sepakbola sering menjadi akar dari peristiwa yang melibatkan pertumpahan darah dalam skala besar. Terbaru tragedi kanjuruhan. Ratusan jiwa melayang karena fanatisme aksi pengamanan berlebihan dari pihak kepolisian.

Dalam kesimpulannya, realita intersubjektif dalam agama dan sepakbola menunjukkan bagaimana persepsi, keyakinan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh sekelompok orang dapat membentuk identitas kelompok dan pengalaman manusia. Meskipun keduanya berbeda dalam banyak hal, keduanya memiliki kemiripan dalam bentuk pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia.

Sebelum terlalu banyak cakap-cakap dalam tulisan singkat ini, izinkan saya bertanya apakah bola punya agama?

Penulis, Mahasiswa FH Untirta dan Jurnalis Warga Kota Serang 

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News